Pria kecilku terus menyerang Jasen tanpa perhitungan. Tidak melihat sebesar apa perawakan yang tengah dihadapinya. Satu gerakan Jasen tentu mampu membuat tubuh Yoga terpelanting. Namun, nyatanya tidak seperti itu. Jasen tampak terkekeh menahan geram, sesekali meringis menahan sakit saat serangan lelaki kecil itu mengenai luka bekas jahitan pada tulang keringnya.Amel yang melihat kebrutalan sang abang kini beringsut berjalan perlahan ke arahku dan memelukku erat. Sangat terasa jika tubuhnya bergetar. Kupeluk putri kecilku sambil mengusap punggungnya agar reda ketakutannya."Bunda, Amel masuk saja mencari nenek dan Om Jupri." Amel berkata sambil melangkah mundur meninggalkan aku bersama perkelahian Yoga dan Jasen.Yoga masih meluapkan emosi yang terpendam lama, mungkin menurutnya ini lah saat yang tepat buat ungkap semua sakitnya penderitaanku masa silam. Putraku terlihat sangat emosi hingga sulit untuk aku cegah. Tetapi sepertinya, bukan itu yang menjadi hal paling menyakitkan di hati
Tiba-tiba Yoga menghentikan langkahnya membuat aku ikut berhenti. Kupandang wajah putraku penuh tanya, dia tersenyum. Kemudian perlahan terucap sebuah tanya yang sudah lama aku tunggu."Siapa itu Jupri, Bunda, apakah dia sangat berarti bagi Bunda?" tanya Yoga."Tidak, dia teman bunda. Berkat jasanya lah adik kamu terselamatkan dalam pelariannya kemarin," jawabku.Kulihat Yoga tersenyum penuh arti. Aku hanya mengangkat bahu. Kemudian kami pun melanjutkan perjalanan mencari keberadaan Amel dan Jupri. Terakhir kali aku melihat Amel melintas deretan meja penuh hidangan, jadi langkahku menuju meja tersebut. Namun, tangan Yoga menahan laju langkahku."Jangan ke sana, Bunda. Sepertinya adik ada di sudut sebelah sana, karena aku sempat melihat wanita itu baru saja dari sana," ucap Yoga.Aku pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Yoga, dan benar apa yang diperkirakan oleh putraku. Kulihat Amel sedang duduk di sudut ruangan, dahiku mengernyit melihat keadaan yang nyata. Putri kecilku sedang me
"Berikan putriku! Jangan pernah lancang menyentuh atau sekedar berniat menyakiti putriku!" ucap Rowena lantang.Aku sedikit terkejut oleh gelegar suara itu. Namun, keterkejutan tersebut memudar begitu menyadari siapa pemilik suara yang mencecar. Ternyata kelembutannya hanya sebagai kedok saja, semua sudah aku duga tetapi sudah terlanjur."Aku? Menyakiti makhluk kecil ini? Mampukah aku sekeji itu?" batinku.Namun, selembut apa pun perlakuan kami kepada Quinsa, tidak akan pernah terlihat demikian di mata pencuri yang ketakutan. Bayi kecil itu diambil paksa dari gendonganku. Seolah takut jika aku akan berlaku buruk pada putri kesayangannya. Sebagaimana teganya ia melakukan hal serupa kepadaku juga kepada putra-putriku.Cih! Kamu salah, Rowena! Aku tidak serendah itu! Sebenci apa pun aku kepada dirimu, juga suamimu, tidak mungkin memilih lawan yang tidak seimbang. Apalagi memilih korban yang tidak berdosa. Quinsa bukanlah alat untukku merebut segalanya darimu. Maka nikmatilah Jasen ha
Tapi memang seperti itu keadaannya. Aku tidak bisa selalu memberi kebahagiaan dan kenyamanan terhadap orang lain dengan mengabaikan keadaanku sendiri. Tidak setelah semua upaya serta usaha untuk bangkit yang kulalui seorang diri.Aku masih harus berjuang untuk mendapatkan hakku di mata hukum. Namun, aku tidak mau semua terungkap saat ini. Biarlah nanti akan tahu pada saat yang tepat."Maafkan, aku, Cintya!" batinku."Sekarang kesibukannya apa, Kak?” Sorot mata Cintya meniti tampilanku secara menyeluruh. Lalu binarnya kembali membulat takjub. "Waah, penampilan Kak Anna terlihat jauh lebih baik dari beberapa tahun lalu. Bahkan saat masih bersama Kak Jasen," ungkap Cintya sambil menangkupkan tangan ke muka. Masih dengan mata membulat tak percaya."Benarkah?" Aku tidak tahu kalau Cintya sungguh memuji atau sekedar menggoda. Tapi kepalanya jelas terangguk-angguk.“Ehm!” Jupri berdehem. Lelaki itu seperti memberikan sinyal agar kami lebih bijak dalam membicarakan tema keluarga di depan Yo
"Apa maksud semua kalimat kamu ini, Nak?" tanyaku dengan suara bergetar.Sebuah jemari mungil menggenggam jemariku lembut, gadis kecilku mulai paham dengan kondisi tubuh dan hatiku. Amel menautkan jemarinya seakan memberiku semangat dan sinyal agar aku tidak terbawa emosi."Maafkan bunda, Yoga. Bunda belum bisa memenuhi semua inginmu, kemewahan ini, kenikmatan dan fasilitas ini tentunya belum bisa bunda penuhi untukmu. Maafkan, bunda!" ucapku sambil terisak perih.Perlahan Yoga berjalan maju, tangan nan kecil dan mulai berbentuk itu menangkup wajahku dengan berjinjit agar dia sampai. Aku pun sedikit menunduk, lalu berjongkok agar putraku bisa leluasa menyentuh wajahku. Aku terhanyut dalam sentuhan lembut putraku untuk pertama kali setelah tiga tahun yang lalu."Bukan, bukan itu maksud Yoga tinggal, Bunda. Bukan, percayalah!" tegas Yoga."Lalu, untuk apa?" tanyaku yang makin penasaran."Ketahuilah, Bunda. Aku inginkan harta dan tahta ayah. Aku ingin wanita itu tidak bisa mengambil semu
Aku tidak terkejut dengan cengkraman tangan kekar yang memegang kuat pergelangan tanganku. Iya Jasen, lelaki itu seakan belum puas dengan kejadian di dalam."Lepaskan!" Hentakku.Namun, Jensen tidak segera melepaskannya. Dia justru menarikku yang otomatis juga membuat Amelia ikut tertarik bersamaan. Reflek aku menghentakkan lengan hingga genggamannya bayang memang tidak begitu kuat itu bisa terlepas.''Aku harus membicarakan sesuatu denganmu!'' Ucapan Jensen terdengar seperti perintah bagiku dari pada sebuah permintaan.Aku mengangkat sebelah telapak tangan, memberitahukan padanya untuk berhenti berbicara ataupun bertindak lebih jauh. Aku merasakan genggaman Amelia mengeras, dia jelaslah cemas melihat kejadian ini, tampak dia bergerak mundur selangkah, seakan merasa terancam.''Amelia, kamu mau menunggu sejenak dengan Om Jupri? Bunda harus berbicara sedikit dengan Ayah.'' Aku memberikan senyuman terbaik pada Amelia.''Kamu mau menghindar?'' celetuk Jensen ketika melihatku hendak membi
Awalnya aku sedikit ternganga, meski tidak sepenuhnya kaget dengan ucaoan Jensen yang baru saja kudengar. Aku juga tidak menebaknya, hanya saja Jensen seperti sudah memberikan pertanda dengan kegigihannya sejak aku dan Amelia hendak meninggalkan pesta tadi. Juga tatapan matanya yang begitu dalam, meski caranya berbicara padaku masih belum berhasil menyentuh hatiku.''Kamu pasti sedang tidak sadar, Jensen.'' Aku berusaha mengelak dan hendak mengambil langkah untuk pergi, tapi lagi-lagi Jensen dengan sigap menahan lenganku.''Ann, please. Dengarkan aku,'' tahannya dengan nada melunak.''Jensen, semuanya sudah berakhir. Tepat sejak tiga tahun lalu," tegasku.Aku berusaha mengucapkan kata-kata itu tanpa terbawa perasaan. Aku yakin dan meyakinkan diri jika aku memang benar-benar sudah melupakan semuanya. Mimpiku sudah terkubur sejak kakiku melangkah keluar dari gerbang rumah tersebut.''Apa sebuah permintaan maaf tidak bisa diterima lagi?'' ucapnya penuh harap."Aku sudah memaafkan semua
Kulihat Jasen mengulas senyum tipis, menurutku lelaki itu sedang mengujiku. Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, masih ada harga diri yang harus kupertahankan. Percuma jika aku menyerah saat ini, sudah tiga tahun kubangun benteng kokoh untuk memperebutkan semua.''Aku yakin kamu bisa melihat hal itu pada diriku, saat ini," ucap jasen.''Baiklah. Aku tidak ingin memaksa, jika itu memang pilihanmu untuk saat ini," lanjutnya dan mulai mengendurkan cengkraman tangannya.Aku memutar bola mata, mendengar kakimat yang dia lontarkan, begitu penuh percaya diri. Seakan Jasen yakin aku akan mengubah pendirianku. Beberapa detik kemudian, lelaki itu mulai melangkah menjauh menjaga jarak.Aku menolak memberikan senyum dan hanya memasang wajah tidak berminat pada percakapan ini. Memang sama sekali tidak ada lagi hal yang kuharapkan dapat terjadi antara diriku dan Jensen selain kembali menjalani kehidupan kami masing-masing.''Kamu tampak begitu yakin, Ann." Nadanya terdengar meremehkan.''Why n
"Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau
Setelah menghabiskan satu roll roti gulung, Quinsa tertidur di sofa. Aku hanya memandang kasian pada anak tersebut. Sedangkan Yoga masih terlelap di pangkuanku. Sangat terlihat jika aura di wajahnya begitu lelah. Kusurai rambutnya yang sedikit panjang, jariku menelusuri setiap lekuk wajah putraku tersebut."Sungguh indah pahatan ini, satu kata untuk mengambarkan seluruhnya. Tampan!" lirihku."Tampan saja tidak akan cukup untuk menatap dunia, Bunda!" kata Yoga dengan mata masih terpejam.Seketika kutarik ujung jariku yang sudah menyusuri hidungnya yang tinggi. Sungguh hampir kesemua permukaan wajahnya menirukan Jasen. Mungkin hanya bentuk hidung dan bibir yang membedakan mereka. "Lalu dengan apa kamu tatap duniamu, Sayang?" tanyaku."Dengan agama dan ilmu, Bunda. Seperti yang selalu Bunda ajarkan pada kami," jawab Yoga sambil mencoba bangkit dan duduk.Mata cokelat terang yang indah itu kini menatapku sendu, aku hanya mampu membalas tatapannya penuh tanya. Kemudian kudengar napas pan
Siluet tubuhnya masih aku ingat, tetapi ini mengapa dia membawa seorang anak perempuan? Mungkinkah dia anaknya dengan Rowena, jika kuhitung usia anak itu saat ini berkisar di usia sepuluh tahun. Apakah itu sosok Quinsa, bayi imut yang dulu sempat aku timang.Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku, cobaan apa lagi yang Engkau hadirkan dalam hidupku kali ini. Sekuat apapun hati ini, jika bersangkutan dengan Mas Jasen pasti akan membawa luka. Meskipun terkadang rasa sepi melandaku tetapi jika dia datang bersama dengan yang lain, sakit itu kian terasa. Apakah ini maksud mimpiku beberpa hari yang lalu. Untuk apa Mas Jasen datang lagi dalam hidupku setelah sepuluh tahun tidak berhubungan dan apa maksudnya membawa Quinsa. Kemana Rowena? Berbagai pertanyaan muncul di otak kasarku. Sungguh rasanya aku tidak sanggup Tuhan."Bunda!" sapa lembut suara Quinsa.Naluriku sebagai ibu tidak dapat mengindahkan panggilan itu. Bagiku yang salah bukan anaknya melainkan kedua orang tuanya. Para karyawanku akhirnya pam
Sore semilir angin menerpa wajahku. Bayangan Jupri bersama Halimah masih nyata di pelupuk mata. Entah mengapa hati ini terasa sakit dan kecewa. Apakah aku sempat jatuh hati pada Jupri? Sejak mula semua rasa ini aku tolak. Namun, saat kulihat lelaki itu datang ke toko dengan membawa wanita hamil, hatiku sakit. Aku sendiri juga bingung dengan rasaku ini. Bagaimana bisa aku memupuk rasa yang belum tentu ada pada diri Jupri. Saat itu memang dia tidak ada cerita sedang dekat dengan seorang wanita manapun. Namun, pernah satu kali lelaki itu kelepasan bertanya mode baju syari terbaik dan berapa harganya. Hal ini sempat membuatku penasaran. Mungkin aku harus berusaha menepis segala rasa pada lelaki itu. Sejak kunjungan pertama Jupri dam istri menjadi sering datang dengan alasan Halimah susah makan nasi jadi dia lebih memilih kue basah ataupun roti bolu. "Aku harus segera pupus rasa ini dan lupakan semua. Kamu sudah mendapatkan bidadari yang terbaik, Jupri. Selamat!" batinku saat kulihat se
"Tadi Gibran sudah bilang lho, Nenek. Hanya itu Onty Dahlia," jawab Gibran."Iya, Sayang. Onty kan lama tidak jumpa Adik. Mungkin dia lebih senang menggoda, jadi maafkan Onty nya dong?" kataku pada Gibran sambil kuangkat dia ke pangkuanku.Namun, lelaki kecil menggeleng tanda dia tidak mau memaafkan Dahlia. Aku tersenyum melihat tingkah cucuku itu, dia sangat menggemaskan apalagi jika pipinya menggembung dengan bola mata yang berputar. Pasti bikin semua yang ada di sana ingin mencubit pipinya."Nenek, besok jika onty Dahlia pulang tidak usah dimasakin opor ayam, Ya. Biar tahu rasa!" dengusnya geram.Kulihat sejak tadi Dahlia hanya diam menatap Gibran, wanita muda itu menahan tawanya agar tidak terdengar oleh ponakannya yang lucu itu. Sementara Andin sejak tadi hanya berdiri, kini dia berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian Andin sudah kembali dengan membawa piring berisi nasi opor ayam. "Ayo turun dari pangkuan nenek, Adik makan dulu!" ajak Andin."Lho Adik belum makan, sini bi
Dahlia dan Amelia terlihat semakin kompak dan solid. Aku sangat bahagia melihat perkembangan mereka berdua. Setelah makan siang aku pun ngobrol dengan keduanya untuk sesaat sebelum aku kembali lagi ke toko. O ya, toko kue ku sekarang sudah maju pesat dan dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan setiap Dahlia pulang, ada saja temannya yang nitip buat oleh-oleh.Sedangkan Amelia, dia terkadang ikut membantu di toko bila sedang senggang. Aku juga sangat bahagia karena sudah di panggil nenek oleh anaknya si Andin. Gadis itu sekarang sudah bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang ibu muda dengan anak satu."Bund, si ucrit bagaimana kabarnya?" tanya Dahlia."Jangan bilang ucrit, anak itu punya nama, Lho! Nanti jika Mbak kamu tiba-tiba dengar kamu yang akan kena omelannya," kataku."Hehe, iya ini Mbak Lia parah!" kelakar Amelia.Aku geleng kepala melihat keakraban mereka berdua. Aku dan kedua putriku selalu berbincang akrab seperti ini dalam menunggu waktu untuk memulai aktifitas kemba
Akhirnya aku mendapatkan bis tepat di jam empat sore. Kali ini aku naik bis cepat antar kota jurusan Jogyakarta. Bis yang terkenal dengan kecepatannya melebihi bis yang lain. Bis ini paling banyak peminatnya. Aku pun merasa bahwa pelayanan kondektur bis juga sangat ramah dan sopan.Bis melaju dengan kecepatan rata-rata. Mungkin bila dilihat dari kuar kecepatan bis itu tinggi. Tetapi bagi kami para penumpang terasa nyaman, hal ini terbukti para penumpang bisa tidur dengan lelap termasuk aku. Tanpa tetasa waktu terus berjalan hingga terdengar suara kondektur memberitahukan pada kami bahwa sebentar lagi bis akan memasuki kawasan Madiun."Madiun terakhir, terminal Madiun terakhir." Terdengar wakil kondektur berteriak memberitahukan pada para penumpang agar bersiap-siap. Aku pun segera terbangun dari tidurku. Perjalanan Surabaya - Madiun hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam dengan bis antar kota."Bunda pulang, Sayang!" batinku.Sungguh aku sangat rindu dengan putriku itu. Hampir
"Andin, apakah kamu masih di sana?" tanyaku.Hening, lambat laun kudengar isak tangis lirih. Mendengar suaranya aku semakin bingung dan resah. Memangnya sedang ada apa hingga membuat Andin sampai terisak. Aku semakin penasaran."Andin, katakan pada Mbak. Apa yang terjadi pada kalian?" tanyaku."Selamat ya, Mbak Ann. Semua sudah selesai hingga sesuai dengan angannya Mbak. Dan satu lagi semua keperluan toko aman dan terkendali, Kok!" balas Andin."Lalu mengenai gaji? Dan apa yang menyebabkan kamu tadi terisak, Lho?" tanyaku beruntun."Nanti lah, tunggu Mbak pulang," balas Andin.Lama aku berbincang dengan Andin. Meski aku berusaha mengorek keterangan mengenai gaji karyawan, Andin tidak mau cerita. Dia masih kekeh menunggu kepulanganku. Karena ini aku menjadi tidak nyaman dan ingin segera pulang. Kemudian aku mendengar suara klakson sebuah mobil yang berhenti. Seketika aku tersadar dan pamit pada Andin menyudahi panggilan."Lagi asyik menelepon siapa lho, Ann?" tanya Irene saat aku sudah
Aku menoleh pada sosok itu, mataku seketika membelalak. Sebuah nama yang aku ingat pada sosok itu, Jupri. Iya dia adalah Jupri. Tetapi siapakah dua sosok itu? "Ibu Ann, maaf bisakah kita mulai sekarang?" "oh, ya. Silahkan, Pak!" jawabku."Ini surat janda dan ini semua yang menyangkut persidangan kemarin, Ibu Ann. Saya mengucapkan terima kasih atas undangan Anda," kata pengacaraku."Saya juga berterim kasih atas bantuan Bapak. Untuk fee sudah saya transfer ke rekening Anda, Pak. Saya terima kasih," kataku sambil menjabat tangan si pengacara.Akhirnya kami melanjutkan makan siang bersama. Saat di sela makan siang kulihat sekeliling mencari sosok yang tadi sempat aku lihat. Rupanya Jupri ada di sudut kanan ruangan ini pada meja nomer lima puluh. Di sana dia sedang bersama seorang Kyai dan seorang gadis yang cantik. "Apakah dia istrinya?" lirihku."Siapa yang Anda maksud, Ibu Ann?" tanya Pengacaraku."Seorang sahabat lama, Pak. Eeh, maaf, silahkan dilanjut!" ucapku.Beberapa saat kemud