"Apa maksud semua kalimat kamu ini, Nak?" tanyaku dengan suara bergetar.Sebuah jemari mungil menggenggam jemariku lembut, gadis kecilku mulai paham dengan kondisi tubuh dan hatiku. Amel menautkan jemarinya seakan memberiku semangat dan sinyal agar aku tidak terbawa emosi."Maafkan bunda, Yoga. Bunda belum bisa memenuhi semua inginmu, kemewahan ini, kenikmatan dan fasilitas ini tentunya belum bisa bunda penuhi untukmu. Maafkan, bunda!" ucapku sambil terisak perih.Perlahan Yoga berjalan maju, tangan nan kecil dan mulai berbentuk itu menangkup wajahku dengan berjinjit agar dia sampai. Aku pun sedikit menunduk, lalu berjongkok agar putraku bisa leluasa menyentuh wajahku. Aku terhanyut dalam sentuhan lembut putraku untuk pertama kali setelah tiga tahun yang lalu."Bukan, bukan itu maksud Yoga tinggal, Bunda. Bukan, percayalah!" tegas Yoga."Lalu, untuk apa?" tanyaku yang makin penasaran."Ketahuilah, Bunda. Aku inginkan harta dan tahta ayah. Aku ingin wanita itu tidak bisa mengambil semu
Aku tidak terkejut dengan cengkraman tangan kekar yang memegang kuat pergelangan tanganku. Iya Jasen, lelaki itu seakan belum puas dengan kejadian di dalam."Lepaskan!" Hentakku.Namun, Jensen tidak segera melepaskannya. Dia justru menarikku yang otomatis juga membuat Amelia ikut tertarik bersamaan. Reflek aku menghentakkan lengan hingga genggamannya bayang memang tidak begitu kuat itu bisa terlepas.''Aku harus membicarakan sesuatu denganmu!'' Ucapan Jensen terdengar seperti perintah bagiku dari pada sebuah permintaan.Aku mengangkat sebelah telapak tangan, memberitahukan padanya untuk berhenti berbicara ataupun bertindak lebih jauh. Aku merasakan genggaman Amelia mengeras, dia jelaslah cemas melihat kejadian ini, tampak dia bergerak mundur selangkah, seakan merasa terancam.''Amelia, kamu mau menunggu sejenak dengan Om Jupri? Bunda harus berbicara sedikit dengan Ayah.'' Aku memberikan senyuman terbaik pada Amelia.''Kamu mau menghindar?'' celetuk Jensen ketika melihatku hendak membi
Awalnya aku sedikit ternganga, meski tidak sepenuhnya kaget dengan ucaoan Jensen yang baru saja kudengar. Aku juga tidak menebaknya, hanya saja Jensen seperti sudah memberikan pertanda dengan kegigihannya sejak aku dan Amelia hendak meninggalkan pesta tadi. Juga tatapan matanya yang begitu dalam, meski caranya berbicara padaku masih belum berhasil menyentuh hatiku.''Kamu pasti sedang tidak sadar, Jensen.'' Aku berusaha mengelak dan hendak mengambil langkah untuk pergi, tapi lagi-lagi Jensen dengan sigap menahan lenganku.''Ann, please. Dengarkan aku,'' tahannya dengan nada melunak.''Jensen, semuanya sudah berakhir. Tepat sejak tiga tahun lalu," tegasku.Aku berusaha mengucapkan kata-kata itu tanpa terbawa perasaan. Aku yakin dan meyakinkan diri jika aku memang benar-benar sudah melupakan semuanya. Mimpiku sudah terkubur sejak kakiku melangkah keluar dari gerbang rumah tersebut.''Apa sebuah permintaan maaf tidak bisa diterima lagi?'' ucapnya penuh harap."Aku sudah memaafkan semua
Kulihat Jasen mengulas senyum tipis, menurutku lelaki itu sedang mengujiku. Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, masih ada harga diri yang harus kupertahankan. Percuma jika aku menyerah saat ini, sudah tiga tahun kubangun benteng kokoh untuk memperebutkan semua.''Aku yakin kamu bisa melihat hal itu pada diriku, saat ini," ucap jasen.''Baiklah. Aku tidak ingin memaksa, jika itu memang pilihanmu untuk saat ini," lanjutnya dan mulai mengendurkan cengkraman tangannya.Aku memutar bola mata, mendengar kakimat yang dia lontarkan, begitu penuh percaya diri. Seakan Jasen yakin aku akan mengubah pendirianku. Beberapa detik kemudian, lelaki itu mulai melangkah menjauh menjaga jarak.Aku menolak memberikan senyum dan hanya memasang wajah tidak berminat pada percakapan ini. Memang sama sekali tidak ada lagi hal yang kuharapkan dapat terjadi antara diriku dan Jensen selain kembali menjalani kehidupan kami masing-masing.''Kamu tampak begitu yakin, Ann." Nadanya terdengar meremehkan.''Why n
Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan pulang ke Madiun saat itu juga. Kulihat Amel semakin lelap dalam tidurnya. Sedangkan aku belum bisa memejamkan mata. Aku masih ingat akan semua kalimat Jasen, lelaki itu bersumpah akan mempersulitku dalam kehidupan hanya karena aku tidak mau menerima ajakan rujuknya."Ann, ada apa? Jujurlah!" ucap Jupri penuh makna."Menurut kamu, apakah aku harus segera mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama, Jup?" tanyaku ragu.Jupri diam, lelaki itu seperti sedang berpikir keras untuk meyampaikan pendapatnya. Aku menunggu jawaban darinya dengan sabar. Lalu lelaki itu mulai mengeluarkan suara."Coba kamu tanya pada hati kecilmu, Ann. Apakah sudah yakin? Apa kamu sudah benar-benar bisa melupakan Jensen?'' Suara Jupri yang masih kudengar meskipun sangat rendah.''Aku yakin, Jup. Aku tidak akan bisa memberikan kesempatan lagi padanya. Tidak ingin hal itu hanya akan membuat hatiku kembali terluka untuk kedua kalinya. Dilukai berulang kali oleh orang yang sa
Ann, bangun. Kita sudah sampai." Jupri menggoyang tubuhku pelan. Aku merasa ia melepas _sealt belt_ yang terpasang di tubuhku."Sudah di Madiun kita, Jup?" tanyaku mengusap sebelah mata.Aku tidak bisa menggerakan tangan kananku karena ada Amel yang setia menggenggam lenganku.Jupri terkekeh, "nggak, Ann. Kita di depan rumahmu."Aku mengangguk, tidak _nggeh_ dengan candaannya.Segera kupinta Jupri mengangkat Amel dari tubuhku. Setelah itu sedikit melakukan perenggangan, aku mencoba menggerakan kaki kananku serta tangan.Dirasa bisa berjalan, aku lekas keluar dari mobil, menyusul Jupri yang mengantar Amel di kamarnya.Berjalan sedikit limbung karena mengantuk, aku mempertahankan kesadaranku sekuat mungkin."Bisa jalan, Ann?" Suara Jupri menginstrupsi.Aku mengiyakan. "Makasih, Jup. Hati-hati di jalan."Jupri terkekeh mendengar ucapanku, ia mengusap puncak kepalaku sebelum kurasa ia menutup pintu depan bahkan menguncinya.Setelah itu aku hanya menikmati empuknya kasurku dan hangatnya s
"Terima kasih, Pak!" ucapku oada petugas tersebut."Iya, Bu. Mohon segera diisi agar prosesnya cepat semoga sesuai dengan inginnya Anda, Bu!" "Aamiin," balasku tulus."Berhubung tugas sudah selesai, saya pamit undur diri," pamitnya.Aku hanya mengangguk lalu berbalik badan untuk kembali ke ruanganku. Aku terkikik geli tatkala wajah Dahlia, Amel serta Andin tampak penasaran seiring langkahku melewati keduanya. Enam pasang mata itu menyorot tepat ke arah amplop coklat yang ada dalam genggaman tanganku, tingkah mereka membuatku tidak berhenti tersenyum.Akibat tidak tahan, mereka menghampiriku seperti kucing meminta majikannya makanan. "Bunda bawa amplop apa?" tanya si kecil Amel dengan kepala meneleng ke kiri. Ia menelisik lebih dekat kertas itu.Aku menggeleng, menjawab rasa penasaran ketiganya dengan menggantung. Tidak kukatakan yang sebenarnya pada mereka."Serius bukan apa-apa, Mbk?" tanya Andin sekali lagi untuk memastikan aku tidak menyembunyikan sesuatu dibalik tanganku.Aku me
"Iya, Bun. Ada apa, ya?" Suara Dahlia menyapa gendang telingaku.Aku balik menyapanya, segera kuutarakan maksudku memanggilnya kala dia sedang asyik belajar. Aku meminta tolong Dahlia untuk menjaga Amel selama aku pergi karena pasti gadis kecil itu enggan bersama siapapun kecuali orang terdekatnya."Tenang aja, Bun. Amel aman sama aku, memangnya Bunda hendak kemana?" tanyanya membuatku tersenyum."Bunda akan ke Surabaya, mengurus sesuatu yang penting untuk kelanjutam hidup Amel. Apakah bunda bisa percayakan semua pada Dahlia?" tegasku."Siap, Bun. Sebagai kakak aku akan jaga Amel dimana pun dia bermain," jawab Dahlia tegas."Pergilah, Nak. Kan ada bi Ijah, jadi tidak perlu khawatir. Nanti biar bibi yang antar jemput sekolah kedua anak ini," papar Bi Ijah.Aku terharu sekali dengan semua anggota keluarga sambungku ini. Meskipun mereka tidak ada pertalian darah, mereka sangat menyayangi Amel dan aku. Sungguh suatu keberkahan mendapat perhatian mereka bertiga."Makasih banyak, ya. Sudah