Tiba-tiba Yoga menghentikan langkahnya membuat aku ikut berhenti. Kupandang wajah putraku penuh tanya, dia tersenyum. Kemudian perlahan terucap sebuah tanya yang sudah lama aku tunggu."Siapa itu Jupri, Bunda, apakah dia sangat berarti bagi Bunda?" tanya Yoga."Tidak, dia teman bunda. Berkat jasanya lah adik kamu terselamatkan dalam pelariannya kemarin," jawabku.Kulihat Yoga tersenyum penuh arti. Aku hanya mengangkat bahu. Kemudian kami pun melanjutkan perjalanan mencari keberadaan Amel dan Jupri. Terakhir kali aku melihat Amel melintas deretan meja penuh hidangan, jadi langkahku menuju meja tersebut. Namun, tangan Yoga menahan laju langkahku."Jangan ke sana, Bunda. Sepertinya adik ada di sudut sebelah sana, karena aku sempat melihat wanita itu baru saja dari sana," ucap Yoga.Aku pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Yoga, dan benar apa yang diperkirakan oleh putraku. Kulihat Amel sedang duduk di sudut ruangan, dahiku mengernyit melihat keadaan yang nyata. Putri kecilku sedang me
"Berikan putriku! Jangan pernah lancang menyentuh atau sekedar berniat menyakiti putriku!" ucap Rowena lantang.Aku sedikit terkejut oleh gelegar suara itu. Namun, keterkejutan tersebut memudar begitu menyadari siapa pemilik suara yang mencecar. Ternyata kelembutannya hanya sebagai kedok saja, semua sudah aku duga tetapi sudah terlanjur."Aku? Menyakiti makhluk kecil ini? Mampukah aku sekeji itu?" batinku.Namun, selembut apa pun perlakuan kami kepada Quinsa, tidak akan pernah terlihat demikian di mata pencuri yang ketakutan. Bayi kecil itu diambil paksa dari gendonganku. Seolah takut jika aku akan berlaku buruk pada putri kesayangannya. Sebagaimana teganya ia melakukan hal serupa kepadaku juga kepada putra-putriku.Cih! Kamu salah, Rowena! Aku tidak serendah itu! Sebenci apa pun aku kepada dirimu, juga suamimu, tidak mungkin memilih lawan yang tidak seimbang. Apalagi memilih korban yang tidak berdosa. Quinsa bukanlah alat untukku merebut segalanya darimu. Maka nikmatilah Jasen ha
Tapi memang seperti itu keadaannya. Aku tidak bisa selalu memberi kebahagiaan dan kenyamanan terhadap orang lain dengan mengabaikan keadaanku sendiri. Tidak setelah semua upaya serta usaha untuk bangkit yang kulalui seorang diri.Aku masih harus berjuang untuk mendapatkan hakku di mata hukum. Namun, aku tidak mau semua terungkap saat ini. Biarlah nanti akan tahu pada saat yang tepat."Maafkan, aku, Cintya!" batinku."Sekarang kesibukannya apa, Kak?” Sorot mata Cintya meniti tampilanku secara menyeluruh. Lalu binarnya kembali membulat takjub. "Waah, penampilan Kak Anna terlihat jauh lebih baik dari beberapa tahun lalu. Bahkan saat masih bersama Kak Jasen," ungkap Cintya sambil menangkupkan tangan ke muka. Masih dengan mata membulat tak percaya."Benarkah?" Aku tidak tahu kalau Cintya sungguh memuji atau sekedar menggoda. Tapi kepalanya jelas terangguk-angguk.“Ehm!” Jupri berdehem. Lelaki itu seperti memberikan sinyal agar kami lebih bijak dalam membicarakan tema keluarga di depan Yo
"Apa maksud semua kalimat kamu ini, Nak?" tanyaku dengan suara bergetar.Sebuah jemari mungil menggenggam jemariku lembut, gadis kecilku mulai paham dengan kondisi tubuh dan hatiku. Amel menautkan jemarinya seakan memberiku semangat dan sinyal agar aku tidak terbawa emosi."Maafkan bunda, Yoga. Bunda belum bisa memenuhi semua inginmu, kemewahan ini, kenikmatan dan fasilitas ini tentunya belum bisa bunda penuhi untukmu. Maafkan, bunda!" ucapku sambil terisak perih.Perlahan Yoga berjalan maju, tangan nan kecil dan mulai berbentuk itu menangkup wajahku dengan berjinjit agar dia sampai. Aku pun sedikit menunduk, lalu berjongkok agar putraku bisa leluasa menyentuh wajahku. Aku terhanyut dalam sentuhan lembut putraku untuk pertama kali setelah tiga tahun yang lalu."Bukan, bukan itu maksud Yoga tinggal, Bunda. Bukan, percayalah!" tegas Yoga."Lalu, untuk apa?" tanyaku yang makin penasaran."Ketahuilah, Bunda. Aku inginkan harta dan tahta ayah. Aku ingin wanita itu tidak bisa mengambil semu
Aku tidak terkejut dengan cengkraman tangan kekar yang memegang kuat pergelangan tanganku. Iya Jasen, lelaki itu seakan belum puas dengan kejadian di dalam."Lepaskan!" Hentakku.Namun, Jensen tidak segera melepaskannya. Dia justru menarikku yang otomatis juga membuat Amelia ikut tertarik bersamaan. Reflek aku menghentakkan lengan hingga genggamannya bayang memang tidak begitu kuat itu bisa terlepas.''Aku harus membicarakan sesuatu denganmu!'' Ucapan Jensen terdengar seperti perintah bagiku dari pada sebuah permintaan.Aku mengangkat sebelah telapak tangan, memberitahukan padanya untuk berhenti berbicara ataupun bertindak lebih jauh. Aku merasakan genggaman Amelia mengeras, dia jelaslah cemas melihat kejadian ini, tampak dia bergerak mundur selangkah, seakan merasa terancam.''Amelia, kamu mau menunggu sejenak dengan Om Jupri? Bunda harus berbicara sedikit dengan Ayah.'' Aku memberikan senyuman terbaik pada Amelia.''Kamu mau menghindar?'' celetuk Jensen ketika melihatku hendak membi
Awalnya aku sedikit ternganga, meski tidak sepenuhnya kaget dengan ucaoan Jensen yang baru saja kudengar. Aku juga tidak menebaknya, hanya saja Jensen seperti sudah memberikan pertanda dengan kegigihannya sejak aku dan Amelia hendak meninggalkan pesta tadi. Juga tatapan matanya yang begitu dalam, meski caranya berbicara padaku masih belum berhasil menyentuh hatiku.''Kamu pasti sedang tidak sadar, Jensen.'' Aku berusaha mengelak dan hendak mengambil langkah untuk pergi, tapi lagi-lagi Jensen dengan sigap menahan lenganku.''Ann, please. Dengarkan aku,'' tahannya dengan nada melunak.''Jensen, semuanya sudah berakhir. Tepat sejak tiga tahun lalu," tegasku.Aku berusaha mengucapkan kata-kata itu tanpa terbawa perasaan. Aku yakin dan meyakinkan diri jika aku memang benar-benar sudah melupakan semuanya. Mimpiku sudah terkubur sejak kakiku melangkah keluar dari gerbang rumah tersebut.''Apa sebuah permintaan maaf tidak bisa diterima lagi?'' ucapnya penuh harap."Aku sudah memaafkan semua
Kulihat Jasen mengulas senyum tipis, menurutku lelaki itu sedang mengujiku. Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, masih ada harga diri yang harus kupertahankan. Percuma jika aku menyerah saat ini, sudah tiga tahun kubangun benteng kokoh untuk memperebutkan semua.''Aku yakin kamu bisa melihat hal itu pada diriku, saat ini," ucap jasen.''Baiklah. Aku tidak ingin memaksa, jika itu memang pilihanmu untuk saat ini," lanjutnya dan mulai mengendurkan cengkraman tangannya.Aku memutar bola mata, mendengar kakimat yang dia lontarkan, begitu penuh percaya diri. Seakan Jasen yakin aku akan mengubah pendirianku. Beberapa detik kemudian, lelaki itu mulai melangkah menjauh menjaga jarak.Aku menolak memberikan senyum dan hanya memasang wajah tidak berminat pada percakapan ini. Memang sama sekali tidak ada lagi hal yang kuharapkan dapat terjadi antara diriku dan Jensen selain kembali menjalani kehidupan kami masing-masing.''Kamu tampak begitu yakin, Ann." Nadanya terdengar meremehkan.''Why n
Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan pulang ke Madiun saat itu juga. Kulihat Amel semakin lelap dalam tidurnya. Sedangkan aku belum bisa memejamkan mata. Aku masih ingat akan semua kalimat Jasen, lelaki itu bersumpah akan mempersulitku dalam kehidupan hanya karena aku tidak mau menerima ajakan rujuknya."Ann, ada apa? Jujurlah!" ucap Jupri penuh makna."Menurut kamu, apakah aku harus segera mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama, Jup?" tanyaku ragu.Jupri diam, lelaki itu seperti sedang berpikir keras untuk meyampaikan pendapatnya. Aku menunggu jawaban darinya dengan sabar. Lalu lelaki itu mulai mengeluarkan suara."Coba kamu tanya pada hati kecilmu, Ann. Apakah sudah yakin? Apa kamu sudah benar-benar bisa melupakan Jensen?'' Suara Jupri yang masih kudengar meskipun sangat rendah.''Aku yakin, Jup. Aku tidak akan bisa memberikan kesempatan lagi padanya. Tidak ingin hal itu hanya akan membuat hatiku kembali terluka untuk kedua kalinya. Dilukai berulang kali oleh orang yang sa