Pagi itu, setelah Indra berangkat kerja, Nadia merasakan kekosongan yang familiar. Udara di rumah terasa dingin meski matahari sudah naik tinggi. Ia menatap piring-piring kotor di meja makan, bukti bisu dari sarapan yang tak mengandung kehangatan. Reza sudah berangkat sekolah, dan Nadia kembali sendirian dengan pikirannya yang tak menentu.
Semua terasa berat, seolah waktu berjalan lambat, menghantarkan beban yang sama setiap harinya. Nadia menatap dinding rumah yang terasa semakin sempit. Keadaan rumah tangganya semakin sulit dipertahankan, namun di hatinya ada perasaan yang tak mau menyerah. Ia tetap ingin mempertahankan keluarganya, demi Reza. Nadia tahu, anak itu membutuhkan ayahnya, meskipun Indra kerap kali menunjukkan sikap dingin dan tidak peduli.
Siang menjelang, dan Nadia memutuskan untuk pergi ke pasar. Aktivitas sederhana seperti ini memberinya sedikit ruang untuk bernapas, meski hanya sementara. Namun, di tengah keramaian pasar, pikirannya tetap saja tidak
Keesokan harinya, suasana rumah masih terasa sunyi, seolah tak ada yang berubah setelah percakapan singkat semalam. Nadia bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk Reza sebelum anaknya berangkat ke sekolah. Pikirannya masih melayang-layang memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki rumah tangganya.Pagi ini, Nadia berharap suasana akan sedikit berbeda, mungkin lebih hangat. Namun, Indra tetap sama—diam dan dingin. Ketika mereka bertemu di ruang makan, hanya ada anggukan singkat dari Indra sebelum ia kembali tenggelam dalam pekerjaannya melalui layar ponsel. Nadia melirik Reza yang duduk di sampingnya. Anak itu tampak terdiam, tidak seperti biasanya. Biasanya Reza akan penuh semangat berbicara tentang rencana harinya di sekolah, tapi pagi ini, ia hanya bermain-main dengan sendok di piringnya tanpa bersuara."Reza, kamu nggak makan?" tanya Nadia pelan, mencoba membuyarkan kebisuan itu.Reza hanya menggelengkan kepala, matanya ti
Keesokan harinya, kehidupan di rumah kembali berjalan dengan ritme yang sama—ritme sunyi yang seolah menenggelamkan Nadia dalam perasaan hampa. Setelah malam penuh ketegangan dengan Indra, suasana semakin tegang, tapi Nadia tetap mencoba bersikap normal di hadapan Reza. Nadia sadar betul, meskipun Reza tidak selalu mengungkapkan perasaannya, anak itu bisa merasakan setiap ketegangan yang muncul di antara kedua orang tuanya.Pagi itu, seperti biasa, Nadia menyiapkan sarapan. Indra duduk di meja makan dengan wajah lelah, matanya terfokus pada layar ponsel tanpa sedikit pun menoleh ke arah Reza atau Nadia. Sebuah kebisuan yang sudah begitu akrab kini menggantung di antara mereka bertiga."Reza, kamu mau sarapan apa hari ini?" tanya Nadia dengan lembut, berusaha membuat suasana sedikit lebih cerah."Aku mau roti sama susu aja, Bu," jawab Reza dengan suara kecil. Matanya tidak bertemu dengan Indra, hanya tertuju ke arah piringnya.Nadia menyajikan roti d
Malam itu berlalu dengan sangat lambat bagi Nadia. Waktu seolah berhenti bergerak, dan suara jarum jam yang berdetak di dinding terdengar begitu nyaring di telinganya. Nadia duduk di ruang tamu, menunggu. Mata Nadia tak lepas dari ponselnya, berharap ada pesan dari Indra yang memberitahu bahwa dia akan segera pulang, atau mungkin pesan sederhana yang mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Namun, hingga tengah malam, layar ponselnya tetap sunyi.Reza sudah tertidur sejak pukul sembilan, wajah mungilnya tenang dan damai, seolah tak ada yang salah dalam hidupnya. Melihat Reza tidur membuat hati Nadia sedikit tenang, setidaknya anak itu masih bisa merasakan kedamaian yang tak lagi ia miliki. Namun, di sisi lain, hal itu juga membuat hatinya semakin terluka. Apa yang akan terjadi jika pernikahannya dengan Indra benar-benar hancur? Bagaimana ia akan menjelaskan semua ini kepada Reza, seorang anak yang begitu polos dan tak berdosa?Nadia tahu bahwa dia tak bisa terus seperti in
Pagi itu, Nadia terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya terasa berat karena kurang tidur. Pikirannya terus berputar semalam, mengulang-ulang percakapan yang ia dan Indra lakukan. Meski lelah, Nadia memaksakan diri bangun untuk memulai hari seperti biasa. Ia tak ingin Reza merasakan kecanggungan antara dirinya dan Indra.Di dapur, Nadia menyiapkan sarapan sambil melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul enam pagi. Biasanya, pada waktu seperti ini, Indra sudah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, pagi itu rumah masih sunyi. Nadia tahu, Indra pasti masih tidur setelah pulang larut malam.Reza keluar dari kamarnya dengan wajah cerah seperti biasa. Anak itu tidak menyadari pergolakan batin yang sedang dialami ibunya. Dia duduk di meja makan, memandang ibunya yang sibuk memasak.“Ibu, nanti aku boleh main ke rumah teman?” tanya Reza sambil menyuap nasi goreng yang baru saja diletakkan Nadia di depannya.Nadia tersenyum tipis. "Boleh,
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah konflik yang terjadi sore tadi, pikirannya terus berputar. Indra tak lagi berkata apa-apa sejak keluar dari ruang tamu, dan keheningan di rumah membuat Nadia semakin merasa terasing dalam dunianya sendiri. Di sebelahnya, Reza tertidur pulas, wajah polosnya tampak tenang, seakan tak menyadari apa pun yang terjadi di sekelilingnya. Nadia membelai rambut anaknya dengan lembut, menghela napas panjang untuk menenangkan hatinya yang gelisah.Keinginan untuk mempertahankan keluarganya semakin besar, tetapi pertanyaan tentang bagaimana melakukannya semakin sulit dijawab. Nadia menyadari bahwa meskipun ia terus mencoba untuk memperbaiki keadaan, Indra semakin sulit dijangkau. Perubahan sikapnya—dari pria yang bertanggung jawab menjadi sosok yang dingin dan penuh emosi—adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. Indra seolah bukan lagi pria yang dulu dinikahinya.Keesokan paginya, Nadia mencoba beraktivitas seperti
Pagi datang dengan sinar matahari yang perlahan mengintip dari celah-celah jendela kamar. Nadia membuka matanya dengan perasaan yang sama seperti kemarin—berat dan penuh kecemasan. Ia menatap langit-langit kamar, berpikir tentang percakapan singkatnya dengan Indra malam sebelumnya. Hatinya terasa sakit, tetapi ia mencoba bangkit dari tempat tidur untuk memulai hari yang baru. Reza masih tidur di kamar sebelah, sementara Indra sudah berangkat ke kantor, seperti biasanya, tanpa kata-kata, tanpa perhatian.Nadia duduk di tepi tempat tidur, memijat keningnya yang terasa sedikit pusing. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Apakah masih ada jalan untuk memperbaiki pernikahannya? Bagaimana ia bisa bertahan jika setiap usahanya untuk berkomunikasi dengan Indra selalu berakhir dengan dinding dingin yang tak bisa ditembus? Namun, di sisi lain, Nadia masih ingin mempertahankan keluarganya. Ia tak ingin Reza tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah."Reza butuh
Nadia Putri menatap papan tulis di depannya dengan tatapan hampa, meskipun di sana tertulis materi ujian akhir yang seharusnya menarik perhatiannya. Sekilas ia mendengar suara gurunya berbicara, namun pikirannya sudah jauh melayang, membayangkan hari besar yang tak lama lagi tiba. Kelulusan. Hanya tinggal beberapa hari, dan masa-masa SMA yang penuh dengan kenangan akan berakhir.Di luar jendela, cahaya matahari pagi menembus daun-daun pohon mangga di halaman sekolah. Udara terasa lebih hangat dari biasanya, seakan menyambut masa depan yang sudah begitu dekat. Nadia tersenyum kecil, mencoba menenangkan dirinya dari rasa tegang akan ujian, dan mulai berkhayal tentang rencana-rencana sederhana yang telah ia susun."Kamu mau daftar ke universitas mana, Nad?" tanya Sarah, teman sebangkunya, yang tiba-tiba menyadarkan Nadia dari lamunannya.Nadia menoleh sambil tersenyum lembut. "Aku mau coba di Universitas Jakarta, dekat rumah. Biar tetap bisa bantu Mama sama Ayah di rumah. Kamu?""Univers
Udara di rumah sakit terasa pengap bagi Nadia, meskipun AC berhembus lembut di sudut ruangan. Suara mesin medis yang berdengung seolah membekukan waktu. Jantung Nadia berdebar kencang, tangannya masih gemetar setelah mendengar pengakuan pria yang berdiri di hadapannya. Indra Pratama, nama itu terdengar asing, tapi rasa penyesalan yang terpancar dari sorot matanya membuat Nadia tak bisa segera mengeluarkan kata-kata. Yang ada di pikirannya hanyalah ayahnya—Pak Amir—sedang terbaring tak berdaya, melawan maut di dalam ruang ICU.Bu Ningsih, yang berdiri di samping Nadia, tak kuasa menahan tangisnya. Sesekali isakannya terdengar di antara keheningan. Nadia mencoba menenangkan ibunya, meski dalam dirinya sendiri rasa cemas dan takut seakan menghimpit. Dia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bereaksi. Semua terjadi begitu cepat.Indra, yang terlihat tak kalah tegang, berusaha menyampaikan lebih banyak. "Saya... tidak sengaja. Mobil saya lepas kendali saat menghindari motor yan