Pagi itu, ketika matahari mulai menyinari jendela kamar, Nadia merasa tubuhnya begitu berat. Seolah ada beban tak kasat mata yang menahannya untuk bangun dari tempat tidur. Di sebelahnya, tempat tidur Indra sudah kosong. Ia tahu, suaminya pasti sudah berangkat kerja tanpa pamit lagi. Sudah menjadi rutinitas belakangan ini, Indra jarang sekali berpamitan. Nadia hanya bisa menghela napas, merasakan kelelahan mental yang kian hari semakin menumpuk.
Nadia berjalan ke kamar Reza, menemui anaknya yang masih tertidur pulas. Senyum tipis muncul di wajahnya ketika melihat Reza yang tidur dengan tenang, seolah tak ada masalah di dunia ini. Bagi Reza, dunia masih sederhana. Belum ada konflik, belum ada perasaan terluka. Nadia ingin sekali menjaga anaknya agar tetap seperti itu—tak terpapar oleh masalah rumah tangganya. Namun, realitas semakin sulit untuk dihindari.
Setelah menyiapkan sarapan dan membangunkan Reza, mereka duduk di meja makan bersama. Reza menatap ke kursi ko
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Nadia bangun lebih awal, berharap bisa menikmati sedikit ketenangan sebelum hari yang berat dimulai lagi. Namun, di dalam dirinya, perasaan itu tetap sama: lelah, terjebak, dan bingung. Indra masih tertidur di sampingnya, wajahnya terlihat damai saat terlelap, sangat bertolak belakang dengan sikap dingin yang kerap ia tunjukkan ketika terjaga.Nadia berjalan pelan ke dapur, mencoba untuk tidak membuat suara. Di meja makan, ia duduk dengan secangkir teh hangat di tangannya, merenungkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Selama beberapa bulan terakhir, ia merasa dirinya semakin hilang. Indra, yang dulu penuh perhatian dan peduli, sekarang menjadi sosok yang begitu asing. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti pisau yang menusuk hati Nadia.Namun, ia tak ingin menyerah begitu saja. Ada Reza—anaknya yang menjadi alasan ia tetap bertahan selama ini. Nadia tahu betul, jika ia memutuskan untuk pergi, Re
Pintu depan yang berderit membuat Nadia tersentak dari lamunannya. Indra muncul dari balik pintu, wajahnya lelah dan tampak lebih suram dari biasanya. Ia berdiri sejenak di ambang pintu, menatap Nadia yang duduk di sofa ruang tamu dengan wajah tak terbaca. Tidak ada senyuman, tidak ada sapa. Nadia tahu bahwa malam ini mungkin akan berakhir seperti malam-malam sebelumnya, di mana keheningan yang mencekam menggantikan percakapan.Namun, ada sesuatu dalam sikap Indra malam itu yang membuat Nadia merasa tidak nyaman. Sikapnya lebih kaku, dan tatapan matanya seolah membawa beban yang jauh lebih berat. Mungkinkah ini saatnya Indra akan bicara? Ataukah, seperti biasanya, ia hanya akan mengeluh tentang pekerjaannya dan mengabaikan perasaan Nadia?"Kenapa masih bangun?" suara Indra akhirnya memecah keheningan, namun nada suaranya tetap dingin.Nadia meneguk ludah, menyiapkan dirinya untuk menjawab dengan tenang meski hatinya bergejolak. “Aku menunggumu,” jawa
Pagi hari di rumah Nadia dimulai dengan keheningan. Reza sudah berangkat sekolah dengan wajah ceria, sementara Nadia masih merasa beban emosional dari percakapan malam sebelumnya dengan Indra. Suasana rumah yang sepi semakin menambah rasa sunyi dalam hatinya. Ia duduk di meja makan, memandang cangkir kopi yang belum disentuh.Nadia mendesah panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Meski begitu, kegelisahan tetap merayap, terutama setelah pembicaraan terakhirnya dengan Indra. Dingin dan jarak yang semakin terasa dari suaminya membuat Nadia semakin sulit bertahan. Namun, ia selalu memaksa dirinya untuk tidak menyerah, karena ia percaya bahwa demi Reza, keluarga ini harus tetap utuh.Saat ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan tugas rumah tangga, tiba-tiba ponselnya bergetar di atas meja. Ia meraih ponselnya dengan cepat, berharap itu pesan dari Indra—mungkin sebuah permintaan maaf atau sekadar kabar. Namun, ketika dilihatnya, nama di layar bukanlah Indra. Itu se
Keesokan paginya, Nadia bangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Setelah telepon dari Tika kemarin, hatinya masih diselimuti rasa tak nyaman yang begitu kuat. Di satu sisi, ia merasa ada sesuatu yang salah dengan pernikahannya, tapi di sisi lain, ia masih ingin percaya bahwa mungkin semua itu hanya kesalahpahaman.Nadia berjalan pelan menuju dapur, mencoba mengalihkan pikirannya dengan menyiapkan sarapan untuk Reza. Reza duduk di meja makan, menikmati sereal kesukaannya. Saat ia menatap anaknya, ada rasa sakit yang menusuk hati Nadia. Apa yang akan terjadi pada Reza jika rumah tangga ini benar-benar hancur? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya."Bu, kok diam aja? Aku mau susu," suara kecil Reza membuyarkan lamunannya.Nadia tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegelisahan dalam dirinya. "Iya, nak, ibu ambilin," jawabnya sambil mengambil kotak susu dari kulkas.Namun, di balik senyum itu, Nadia tahu bahwa ada keputusan besar yang harus ia buat
Malam itu, setelah percakapan singkat mereka di meja makan, Nadia merasa seolah-olah ada dinding yang tidak terlihat memisahkan dirinya dan Indra. Setiap kali ia mencoba berbicara lebih dalam, Indra selalu menjawab dengan kata-kata singkat yang seolah mengakhiri percakapan sebelum sempat dimulai. Kesunyian itu terasa begitu menyesakkan, membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Setelah Reza tidur, Nadia duduk sendirian di ruang tamu. Pikirannya berkecamuk, tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang menghantui. Ia menggenggam ponselnya, jari-jarinya bergerak pelan seolah ingin menghubungi nomor yang ia catat dari ponsel Indra, namun ia ragu. Apakah ia benar-benar siap untuk tahu siapa pemilik nomor itu? Apakah ia siap mendengar kebenaran yang mungkin akan menghancurkan segala harapan yang ia bangun selama ini?Perlahan-lahan, Nadia menurunkan ponselnya dan menatap jendela ruang tamu. Angin malam berembus pelan, menggerakkan tirai dengan lembut. K
Matahari baru saja terbit, sinarnya perlahan menembus sela-sela tirai kamar, tetapi tidak ada kehangatan yang terasa di hati Nadia. Ia terbangun lebih awal dari biasanya, merasa perutnya seperti diikat simpul ketat, tak nyaman. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar, sementara di sebelahnya, Indra masih terlelap, wajahnya tampak damai seolah tak ada beban yang ia rasakan. Namun, Nadia tahu bahwa di balik kedamaian itu ada kekosongan yang menyelimuti rumah tangga mereka.Pagi ini, ia memutuskan untuk tidak membangunkan Indra seperti biasanya. Biarkan saja dia tidur, pikirnya. Nadia beranjak perlahan dari tempat tidur, mengenakan sandal rumah dan berjalan keluar kamar tanpa suara. Pikiran tentang pesan terakhir dari Tika semalam terus membayanginya, dan meski hatinya masih diliputi keraguan, ada dorongan kuat untuk segera mencari tahu lebih jauh.Di dapur, Nadia mulai menyiapkan sarapan. Tangannya dengan otomatis memotong roti dan menggoreng telur, meski pikiranny
Indra berdiri dengan tubuh tegap, raut wajahnya tampak enggan dan lelah. Sementara Nadia tetap berada di tempatnya, kedua tangannya menggenggam erat pinggiran kursi, berusaha menahan kegelisahan yang terus merayap dalam dirinya. Ia tahu malam ini sangat penting. Ini adalah kesempatan untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari rumah tangga mereka, atau setidaknya mencari kejelasan di tengah ketidakpastian yang semakin menyesakkan.Indra akhirnya menghela napas berat, seolah menyerah pada permintaan Nadia. “Baiklah, katakan apa yang mau kamu bicarakan,” ucapnya datar, tanpa menunjukkan ketertarikan lebih.Nadia menggeser duduknya sedikit, mengatur napasnya agar tidak tergesa. “Aku... aku hanya ingin kita bicara tentang apa yang sedang terjadi di antara kita, Mas,” ia mulai, suaranya bergetar namun tetap penuh usaha untuk terdengar tenang. "Kamu tahu sendiri kan, keadaan kita nggak seperti dulu. Kamu berubah, semuanya berubah.”Indra du
Pagi menjelang dengan cepat. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah-celah jendela kamar Reza memantulkan cahaya hangat, namun tidak mampu mengusir rasa dingin yang masih terasa di hati Nadia. Ia duduk diam di samping tempat tidur Reza, mata sembab karena kurang tidur dan menangis sepanjang malam. Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan rasa lelah dan putus asanya.Reza mulai menggeliat, matanya perlahan terbuka. Ia melihat ibunya duduk di sana, wajahnya pucat tapi tetap memberikan senyum lembut. Nadia mengusap lembut rambut anaknya, mencoba menyembunyikan semua kekhawatiran dan kesedihannya di balik senyum itu.“Selamat pagi, Sayang,” Nadia berbisik, nadanya selembut mungkin, meskipun suaranya terasa serak.Reza mengucek matanya dan tersenyum kecil. “Ibu nggak tidur semalam?”Nadia menggeleng pelan, berusaha tetap tenang. “Ibu cuma ingin memastikan kamu tidur nyenyak. Gimana tidurnya? Mimpi indah?”Re
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be