Pagi datang dengan sinar matahari yang perlahan mengintip dari celah-celah jendela kamar. Nadia membuka matanya dengan perasaan yang sama seperti kemarin—berat dan penuh kecemasan. Ia menatap langit-langit kamar, berpikir tentang percakapan singkatnya dengan Indra malam sebelumnya. Hatinya terasa sakit, tetapi ia mencoba bangkit dari tempat tidur untuk memulai hari yang baru. Reza masih tidur di kamar sebelah, sementara Indra sudah berangkat ke kantor, seperti biasanya, tanpa kata-kata, tanpa perhatian.
Nadia duduk di tepi tempat tidur, memijat keningnya yang terasa sedikit pusing. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Apakah masih ada jalan untuk memperbaiki pernikahannya? Bagaimana ia bisa bertahan jika setiap usahanya untuk berkomunikasi dengan Indra selalu berakhir dengan dinding dingin yang tak bisa ditembus? Namun, di sisi lain, Nadia masih ingin mempertahankan keluarganya. Ia tak ingin Reza tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah.
"Reza butuh
Nadia Putri menatap papan tulis di depannya dengan tatapan hampa, meskipun di sana tertulis materi ujian akhir yang seharusnya menarik perhatiannya. Sekilas ia mendengar suara gurunya berbicara, namun pikirannya sudah jauh melayang, membayangkan hari besar yang tak lama lagi tiba. Kelulusan. Hanya tinggal beberapa hari, dan masa-masa SMA yang penuh dengan kenangan akan berakhir.Di luar jendela, cahaya matahari pagi menembus daun-daun pohon mangga di halaman sekolah. Udara terasa lebih hangat dari biasanya, seakan menyambut masa depan yang sudah begitu dekat. Nadia tersenyum kecil, mencoba menenangkan dirinya dari rasa tegang akan ujian, dan mulai berkhayal tentang rencana-rencana sederhana yang telah ia susun."Kamu mau daftar ke universitas mana, Nad?" tanya Sarah, teman sebangkunya, yang tiba-tiba menyadarkan Nadia dari lamunannya.Nadia menoleh sambil tersenyum lembut. "Aku mau coba di Universitas Jakarta, dekat rumah. Biar tetap bisa bantu Mama sama Ayah di rumah. Kamu?""Univers
Udara di rumah sakit terasa pengap bagi Nadia, meskipun AC berhembus lembut di sudut ruangan. Suara mesin medis yang berdengung seolah membekukan waktu. Jantung Nadia berdebar kencang, tangannya masih gemetar setelah mendengar pengakuan pria yang berdiri di hadapannya. Indra Pratama, nama itu terdengar asing, tapi rasa penyesalan yang terpancar dari sorot matanya membuat Nadia tak bisa segera mengeluarkan kata-kata. Yang ada di pikirannya hanyalah ayahnya—Pak Amir—sedang terbaring tak berdaya, melawan maut di dalam ruang ICU.Bu Ningsih, yang berdiri di samping Nadia, tak kuasa menahan tangisnya. Sesekali isakannya terdengar di antara keheningan. Nadia mencoba menenangkan ibunya, meski dalam dirinya sendiri rasa cemas dan takut seakan menghimpit. Dia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bereaksi. Semua terjadi begitu cepat.Indra, yang terlihat tak kalah tegang, berusaha menyampaikan lebih banyak. "Saya... tidak sengaja. Mobil saya lepas kendali saat menghindari motor yan
Setelah beberapa hari yang penuh ketidakpastian, Nadia merasa seperti hidupnya berada di atas tebing yang rapuh. Setiap langkah bisa membuatnya jatuh ke dalam jurang yang dalam. Ayahnya masih berada dalam kondisi kritis di ruang ICU, dan tidak banyak yang bisa dilakukan selain menunggu perkembangan dari dokter. Sementara itu, sosok Indra Pratama terus hadir di rumah sakit, mengawasi dari jauh dengan wajah penuh rasa bersalah.Nadia tidak bisa menghindari pria itu. Setiap kali melihat Indra, hatinya terbakar amarah, tetapi juga terselip rasa kebingungan. Indra memang telah mengakibatkan kecelakaan yang merenggut kesejahteraan keluarganya, namun ia juga satu-satunya yang sekarang berdiri di sisi mereka, mencoba memperbaiki kesalahannya. Apapun yang dia rasakan, Nadia tahu bahwa Indra juga membawa beban yang besar atas apa yang terjadi.Suatu siang, ketika suasana rumah sakit sedikit lengang, Indra menghampiri Nadia yang sedang duduk di samping ibunya di ruang tunggu. Kali ini, ekspresi
Pagi itu, langit Jakarta berwarna abu-abu, seolah mencerminkan suasana hati Nadia yang masih kalut. Duduk di tepi tempat tidur rumah sakit, dia memandangi ayahnya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Mesin-mesin di sekitar ranjangnya berdetak pelan, seakan-akan setiap bunyi adalah peringatan bahwa hidupnya bisa berubah dalam sekejap.Semalaman Nadia tak bisa tidur. Tawaran Indra terus menghantuinya, berputar dalam pikirannya seperti lingkaran yang tak kunjung usai. Apakah ini benar-benar satu-satunya jalan keluar? Menikah dengan pria yang hampir tak dikenalnya, hanya karena kesalahan tragis yang telah ia buat? Nadia meremas-remas jemarinya, menahan kegelisahan yang semakin memburuk.Di sisi lain, ibunya tampak lebih tenang pagi ini. Bu Ningsih duduk di sebelah ranjang suaminya, memegang tangan suaminya yang lemah. Meski kelelahan terlihat jelas di wajahnya, ada semacam kelegaan yang samar-samar mulai muncul. Mungkin bagi Bu Ningsih, tawaran Indra bukan hanya soal tanggung jawab, ta
Hari itu, matahari sudah tinggi ketika Nadia berjalan keluar dari rumah sakit, mencoba menarik napas panjang untuk meredakan kekalutan dalam pikirannya. Tawaran pernikahan dari Indra masih terngiang di telinganya, mengguncang perasaannya dari dalam. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban besar yang menggantung di pundaknya.Nadia ingin lari, melarikan diri dari semua yang terjadi, tapi kenyataan memaksanya tetap berdiri tegak. Keluarganya sedang dalam kondisi yang teramat sulit, dan masa depan mereka kini berada di tangannya. Keputusan yang harus diambilnya bukan lagi hanya soal dirinya sendiri—ada ibunya, ada ayahnya, dan mungkin juga kelangsungan hidup keluarganya yang dipertaruhkan.Saat tiba di luar, dia mendapati sepupunya, Dini, sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Dini sudah menunggu dengan wajah penuh simpati. Mereka memang tidak terlalu dekat selama ini, tetapi dalam masa-masa sulit seperti sekarang, Dini adalah satu-satunya tempat Nadia bisa berbicara dengan b
Pagi itu, suasana di rumah Nadia terasa tegang. Bu Ningsih berusaha sibuk dengan rutinitasnya, menyiapkan sarapan sederhana, namun jelas terlihat bahwa pikirannya tidak fokus. Sejak berita kecelakaan suaminya dan tawaran pernikahan dari Indra disampaikan, hari-hari mereka dipenuhi kecemasan. Ayah Nadia masih terbaring di rumah sakit, kondisinya belum membaik, dan tagihan biaya rumah sakit semakin menumpuk.Nadia duduk di ruang makan, diam. Di depannya, secangkir teh yang sudah dingin tetap tak tersentuh. Wajahnya menampakkan kelelahan emosional yang selama ini coba disembunyikannya. Tawaran pernikahan dari Indra, sebuah solusi untuk masalah keluarganya, terasa bagai beban yang semakin berat di pundaknya. Dia tahu keputusan besar harus segera diambil."Nadia, makan dulu. Ibu tahu kamu tidak lapar, tapi kamu harus tetap kuat, Nak," kata Bu Ningsih lembut, mencoba memecah suasana yang sunyi itu.Nadia hanya menggelengkan kepala pelan, masih menatap kosong ke arah piring di depannya. "Aku
Setelah pertemuan itu berakhir, suasana rumah Nadia terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Bu Ningsih tampak berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya, meski sesekali ia terlihat menghela napas panjang di sudut dapur, memandang kosong ke arah jendela. Sementara itu, Nadia duduk di kamarnya, tatapannya kosong menatap dinding. Keputusan yang baru saja diambil terasa seperti beban yang menghimpit dadanya.Pikirannya tak henti-hentinya melayang kepada Indra. Pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat. Sejak pertemuan pertama di rumah sakit hingga saat ini, Nadia masih tidak sepenuhnya bisa memahami bagaimana perasaannya terhadap Indra. Dia tidak membencinya, namun juga tak bisa mengatakan bahwa dia menyukainya. Perasaan itu berada di tengah—begitu ambigu dan tak terdefinisi."Kenapa semua harus jadi seperti ini?" bisiknya pelan. Pernikahan yang semula dianggapnya sebagai impian indah, kini terasa seperti kurungan tanpa pintu keluar.Sementara itu, di ruangan lain, Bu Ningsih berbic
Hari pernikahan semakin dekat, dan persiapan terus berjalan tanpa henti. Setiap sudut rumah keluarga Pratama tampak sibuk, penuh dengan hiruk-pikuk orang-orang yang menyiapkan segala sesuatu sesuai keinginan Bu Yuni. Nadia, yang masih merasa terasing dalam kehidupannya sendiri, mulai pasrah pada kenyataan yang tidak bisa ia ubah. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ini benar-benar keputusan terbaik. Namun setiap kali keraguan itu muncul, ia teringat kembali pada kondisi ayahnya yang sedang kritis di rumah sakit. Setiap senyum lemah ayahnya, setiap helaan napas berat yang ia dengar ketika menengoknya, membuat Nadia menguatkan hatinya.“Ini semua demi Ayah,” gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun rasa gundah tak pernah benar-benar hilang.Di rumah sakit, ayahnya masih terbaring dengan berbagai alat medis yang menopang hidupnya. Wajahnya semakin pucat, dan suara desis alat pernapasan terdengar nyaring di ruangan itu. Setiap kali Nadia mengunjunginya, ia mer