Malam itu berlalu dengan sangat lambat bagi Nadia. Waktu seolah berhenti bergerak, dan suara jarum jam yang berdetak di dinding terdengar begitu nyaring di telinganya. Nadia duduk di ruang tamu, menunggu. Mata Nadia tak lepas dari ponselnya, berharap ada pesan dari Indra yang memberitahu bahwa dia akan segera pulang, atau mungkin pesan sederhana yang mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Namun, hingga tengah malam, layar ponselnya tetap sunyi.
Reza sudah tertidur sejak pukul sembilan, wajah mungilnya tenang dan damai, seolah tak ada yang salah dalam hidupnya. Melihat Reza tidur membuat hati Nadia sedikit tenang, setidaknya anak itu masih bisa merasakan kedamaian yang tak lagi ia miliki. Namun, di sisi lain, hal itu juga membuat hatinya semakin terluka. Apa yang akan terjadi jika pernikahannya dengan Indra benar-benar hancur? Bagaimana ia akan menjelaskan semua ini kepada Reza, seorang anak yang begitu polos dan tak berdosa?
Nadia tahu bahwa dia tak bisa terus seperti in
Pagi itu, Nadia terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya terasa berat karena kurang tidur. Pikirannya terus berputar semalam, mengulang-ulang percakapan yang ia dan Indra lakukan. Meski lelah, Nadia memaksakan diri bangun untuk memulai hari seperti biasa. Ia tak ingin Reza merasakan kecanggungan antara dirinya dan Indra.Di dapur, Nadia menyiapkan sarapan sambil melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul enam pagi. Biasanya, pada waktu seperti ini, Indra sudah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, pagi itu rumah masih sunyi. Nadia tahu, Indra pasti masih tidur setelah pulang larut malam.Reza keluar dari kamarnya dengan wajah cerah seperti biasa. Anak itu tidak menyadari pergolakan batin yang sedang dialami ibunya. Dia duduk di meja makan, memandang ibunya yang sibuk memasak.“Ibu, nanti aku boleh main ke rumah teman?” tanya Reza sambil menyuap nasi goreng yang baru saja diletakkan Nadia di depannya.Nadia tersenyum tipis. "Boleh,
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah konflik yang terjadi sore tadi, pikirannya terus berputar. Indra tak lagi berkata apa-apa sejak keluar dari ruang tamu, dan keheningan di rumah membuat Nadia semakin merasa terasing dalam dunianya sendiri. Di sebelahnya, Reza tertidur pulas, wajah polosnya tampak tenang, seakan tak menyadari apa pun yang terjadi di sekelilingnya. Nadia membelai rambut anaknya dengan lembut, menghela napas panjang untuk menenangkan hatinya yang gelisah.Keinginan untuk mempertahankan keluarganya semakin besar, tetapi pertanyaan tentang bagaimana melakukannya semakin sulit dijawab. Nadia menyadari bahwa meskipun ia terus mencoba untuk memperbaiki keadaan, Indra semakin sulit dijangkau. Perubahan sikapnya—dari pria yang bertanggung jawab menjadi sosok yang dingin dan penuh emosi—adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. Indra seolah bukan lagi pria yang dulu dinikahinya.Keesokan paginya, Nadia mencoba beraktivitas seperti
Pagi datang dengan sinar matahari yang perlahan mengintip dari celah-celah jendela kamar. Nadia membuka matanya dengan perasaan yang sama seperti kemarin—berat dan penuh kecemasan. Ia menatap langit-langit kamar, berpikir tentang percakapan singkatnya dengan Indra malam sebelumnya. Hatinya terasa sakit, tetapi ia mencoba bangkit dari tempat tidur untuk memulai hari yang baru. Reza masih tidur di kamar sebelah, sementara Indra sudah berangkat ke kantor, seperti biasanya, tanpa kata-kata, tanpa perhatian.Nadia duduk di tepi tempat tidur, memijat keningnya yang terasa sedikit pusing. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Apakah masih ada jalan untuk memperbaiki pernikahannya? Bagaimana ia bisa bertahan jika setiap usahanya untuk berkomunikasi dengan Indra selalu berakhir dengan dinding dingin yang tak bisa ditembus? Namun, di sisi lain, Nadia masih ingin mempertahankan keluarganya. Ia tak ingin Reza tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah."Reza butuh
Nadia Putri menatap papan tulis di depannya dengan tatapan hampa, meskipun di sana tertulis materi ujian akhir yang seharusnya menarik perhatiannya. Sekilas ia mendengar suara gurunya berbicara, namun pikirannya sudah jauh melayang, membayangkan hari besar yang tak lama lagi tiba. Kelulusan. Hanya tinggal beberapa hari, dan masa-masa SMA yang penuh dengan kenangan akan berakhir.Di luar jendela, cahaya matahari pagi menembus daun-daun pohon mangga di halaman sekolah. Udara terasa lebih hangat dari biasanya, seakan menyambut masa depan yang sudah begitu dekat. Nadia tersenyum kecil, mencoba menenangkan dirinya dari rasa tegang akan ujian, dan mulai berkhayal tentang rencana-rencana sederhana yang telah ia susun."Kamu mau daftar ke universitas mana, Nad?" tanya Sarah, teman sebangkunya, yang tiba-tiba menyadarkan Nadia dari lamunannya.Nadia menoleh sambil tersenyum lembut. "Aku mau coba di Universitas Jakarta, dekat rumah. Biar tetap bisa bantu Mama sama Ayah di rumah. Kamu?""Univers
Udara di rumah sakit terasa pengap bagi Nadia, meskipun AC berhembus lembut di sudut ruangan. Suara mesin medis yang berdengung seolah membekukan waktu. Jantung Nadia berdebar kencang, tangannya masih gemetar setelah mendengar pengakuan pria yang berdiri di hadapannya. Indra Pratama, nama itu terdengar asing, tapi rasa penyesalan yang terpancar dari sorot matanya membuat Nadia tak bisa segera mengeluarkan kata-kata. Yang ada di pikirannya hanyalah ayahnya—Pak Amir—sedang terbaring tak berdaya, melawan maut di dalam ruang ICU.Bu Ningsih, yang berdiri di samping Nadia, tak kuasa menahan tangisnya. Sesekali isakannya terdengar di antara keheningan. Nadia mencoba menenangkan ibunya, meski dalam dirinya sendiri rasa cemas dan takut seakan menghimpit. Dia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bereaksi. Semua terjadi begitu cepat.Indra, yang terlihat tak kalah tegang, berusaha menyampaikan lebih banyak. "Saya... tidak sengaja. Mobil saya lepas kendali saat menghindari motor yan
Setelah beberapa hari yang penuh ketidakpastian, Nadia merasa seperti hidupnya berada di atas tebing yang rapuh. Setiap langkah bisa membuatnya jatuh ke dalam jurang yang dalam. Ayahnya masih berada dalam kondisi kritis di ruang ICU, dan tidak banyak yang bisa dilakukan selain menunggu perkembangan dari dokter. Sementara itu, sosok Indra Pratama terus hadir di rumah sakit, mengawasi dari jauh dengan wajah penuh rasa bersalah.Nadia tidak bisa menghindari pria itu. Setiap kali melihat Indra, hatinya terbakar amarah, tetapi juga terselip rasa kebingungan. Indra memang telah mengakibatkan kecelakaan yang merenggut kesejahteraan keluarganya, namun ia juga satu-satunya yang sekarang berdiri di sisi mereka, mencoba memperbaiki kesalahannya. Apapun yang dia rasakan, Nadia tahu bahwa Indra juga membawa beban yang besar atas apa yang terjadi.Suatu siang, ketika suasana rumah sakit sedikit lengang, Indra menghampiri Nadia yang sedang duduk di samping ibunya di ruang tunggu. Kali ini, ekspresi
Pagi itu, langit Jakarta berwarna abu-abu, seolah mencerminkan suasana hati Nadia yang masih kalut. Duduk di tepi tempat tidur rumah sakit, dia memandangi ayahnya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Mesin-mesin di sekitar ranjangnya berdetak pelan, seakan-akan setiap bunyi adalah peringatan bahwa hidupnya bisa berubah dalam sekejap.Semalaman Nadia tak bisa tidur. Tawaran Indra terus menghantuinya, berputar dalam pikirannya seperti lingkaran yang tak kunjung usai. Apakah ini benar-benar satu-satunya jalan keluar? Menikah dengan pria yang hampir tak dikenalnya, hanya karena kesalahan tragis yang telah ia buat? Nadia meremas-remas jemarinya, menahan kegelisahan yang semakin memburuk.Di sisi lain, ibunya tampak lebih tenang pagi ini. Bu Ningsih duduk di sebelah ranjang suaminya, memegang tangan suaminya yang lemah. Meski kelelahan terlihat jelas di wajahnya, ada semacam kelegaan yang samar-samar mulai muncul. Mungkin bagi Bu Ningsih, tawaran Indra bukan hanya soal tanggung jawab, ta
Hari itu, matahari sudah tinggi ketika Nadia berjalan keluar dari rumah sakit, mencoba menarik napas panjang untuk meredakan kekalutan dalam pikirannya. Tawaran pernikahan dari Indra masih terngiang di telinganya, mengguncang perasaannya dari dalam. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban besar yang menggantung di pundaknya.Nadia ingin lari, melarikan diri dari semua yang terjadi, tapi kenyataan memaksanya tetap berdiri tegak. Keluarganya sedang dalam kondisi yang teramat sulit, dan masa depan mereka kini berada di tangannya. Keputusan yang harus diambilnya bukan lagi hanya soal dirinya sendiri—ada ibunya, ada ayahnya, dan mungkin juga kelangsungan hidup keluarganya yang dipertaruhkan.Saat tiba di luar, dia mendapati sepupunya, Dini, sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Dini sudah menunggu dengan wajah penuh simpati. Mereka memang tidak terlalu dekat selama ini, tetapi dalam masa-masa sulit seperti sekarang, Dini adalah satu-satunya tempat Nadia bisa berbicara dengan b