Pertanyaan Reza menggantung di udara, menyelinap di antara detak jantung yang tiba-tiba terasa lambat bagi Nadia. Dia menahan napas, tak berani bergerak sedikit pun. Pemandangan di hadapannya, yang tadinya tampak seperti momen hangat antara ayah dan anak, berubah menjadi panggung drama yang mendebarkan.
Indra terdiam sejenak, matanya memandangi Reza dengan sedikit kebingungan. “Apa maksudmu, Reza?” tanyanya, suaranya terdengar lebih tenang dari yang Nadia perkirakan.
Reza, dengan polosnya, menggerakkan mainan mobilnya di lantai dan mengangkat wajah mungilnya. “Ayah sering marah sama Ibu. Reza dengar tadi malam, Ayah bilang Ibu bikin Ayah capek.”
Nadia merasakan hatinya mencelos. Ia ingat kejadian malam itu. Memang benar, Indra sempat melontarkan kata-kata itu dengan suara keras ketika mereka berselisih soal hal-hal kecil. Tapi, Nadia tidak pernah menyangka bahwa Reza mendengar dan mencerna semuanya. Anak ini masih terlalu kecil untuk mema
Suara dering telepon yang tiba-tiba memecah keheningan rumah membuat Nadia terlonjak. Reza yang tengah tertidur di pangkuannya sedikit bergerak, namun ia dengan lembut menepuk-nepuk punggung anaknya hingga kembali tenang. Sementara itu, Indra yang duduk tak jauh darinya sudah lebih dulu bangkit, melangkah ke arah meja ruang tamu di mana telepon rumah berada.Nadia memperhatikan suaminya dengan hati-hati. Raut wajah Indra tampak tegang ketika ia mengangkat gagang telepon, dan seketika suasana hati Nadia berubah gelisah. Dalam beberapa detik, nadanya yang tegas terdengar."Indra Pratama di sini," kata Indra dengan suara berat, tanpa senyum sedikit pun.Nadia hanya bisa menduga-duga apa yang terjadi di seberang sana. Mungkin telepon itu dari seseorang di kantor Indra, atau mungkin... Dina? Pikiran itu membuat hatinya sedikit bergetar. Entah mengapa, perasaan khawatir itu sulit untuk dihindari belakangan ini. Indra seringkali pulang terlambat tanpa memberi penjelasa
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Nadia terbangun lebih awal dari biasanya. Dia menyelesaikan pekerjaan rumahnya dalam diam, sementara Indra masih tidur. Semenjak malam sebelumnya, dia terus memikirkan percakapan singkat mereka yang belum selesai. Ada banyak hal yang belum tersampaikan, tetapi seperti biasa, mereka selalu dihadapkan pada pengalihan—entah Reza, pekerjaan, atau masalah lain yang selalu menggeser fokus mereka dari satu sama lain.Nadia menyiapkan sarapan dengan hati yang penuh resah. Pikirannya terus berputar-putar, mencoba memahami bagaimana hubungan mereka sampai di titik ini. Setiap kali ia melihat Indra, seolah ada tembok yang tak terlihat di antara mereka, membatasi setiap percakapan dan setiap usaha untuk saling memahami.Saat Indra akhirnya keluar dari kamar dengan wajah kusut, Nadia mencoba menyapanya dengan senyum yang dipaksakan. “Mas, aku udah siapin sarapan. Nasi goreng kesukaanmu.”Indra hanya mengangguk tanpa s
Pagi itu, seperti biasa, Nadia bangun lebih awal dari Indra. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun dia sudah mulai beres-beres dan menyiapkan sarapan. Hari-hari mereka semakin terasa seperti rutinitas yang membosankan, tanpa percakapan yang bermakna, hanya menjalani hari demi hari dengan jeda panjang di antara mereka.Nadia merapikan meja makan dengan cermat, berharap mungkin hari ini akan ada perubahan. Dia tidak tahu harus memulai dari mana, tapi setidaknya dia berusaha, demi Reza, demi rumah tangga mereka. Meskipun hati kecilnya terus-menerus dihantui kekhawatiran, Nadia tetap teguh berpegang pada tekadnya. Dia ingin mempertahankan keluarganya. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk Reza yang masih sangat membutuhkan sosok ayah yang stabil di hidupnya.Ketika Indra keluar dari kamar dengan wajah lelah, Nadia mencoba menyapanya dengan nada yang lembut.“Mas, sarapannya sudah siap,” ujarnya pelan sambil tersenyum tipis.Indra hanya mengang
Keesokan paginya, suasana rumah terasa sama seperti sebelumnya, sunyi dan penuh ketegangan. Nadia bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Namun, kali ini ada kelelahan yang tak kasatmata yang terasa semakin menyesakkan dadanya. Malam tadi, meski dia berusaha memulai percakapan dengan Indra, hasilnya tetap nihil. Indra masih mengabaikannya, dan itu membuat Nadia semakin cemas tentang masa depan rumah tangga mereka.Reza berlari kecil ke dapur, wajahnya ceria seperti biasa, tidak menyadari badai yang sedang berkecamuk di antara kedua orang tuanya. "Ma, aku lapar!" serunya sambil memeluk kaki Nadia.Nadia tersenyum dan mengusap kepala anaknya. “Sarapan hampir siap, sayang. Kamu mau roti panggang atau nasi goreng?”“Nasi goreng!” jawab Reza dengan mata berbinar.Sementara Nadia menyiapkan makanan untuk Reza, Indra muncul dari kamar, masih terlihat lelah meskipun sudah tidur semalaman. Tanpa banyak bicara,
Keesokan harinya, Nadia terbangun dengan rasa lelah yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Matanya terasa berat, pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran tentang rumah tangganya. Di sampingnya, Indra masih tertidur lelap, wajahnya tampak damai seolah tidak ada hal yang mengganggu hidupnya. Nadia menghela napas panjang. Apa yang terjadi semalam terus terbayang di pikirannya—bentakan Indra pada Reza, kesunyian yang menutup percakapan mereka, dan jarak yang semakin terasa di antara mereka.Nadia menatap Reza yang masih tidur di kamar sebelah, hatinya terasa berat. Anak itu tidak pantas menjadi saksi dari ketegangan yang terus memanas di rumah ini. Ia bertekad untuk menjaga Reza dari semua kekacauan ini, meskipun itu berarti harus menahan perasaannya sendiri.Saat matahari mulai naik, Nadia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih awal dari biasanya. Dia berharap bahwa mungkin dengan sarapan pagi yang tenang, mereka bisa memulai hari dengan suasana yang lebih baik
Pagi itu, Nadia terbangun lebih awal. Ia memandangi wajah Reza yang masih tertidur pulas di sampingnya. Ada perasaan lega setiap kali melihat putranya tertidur damai, seolah dunia di luar tidak ada masalah. Namun, kenyataan berkata lain. Rumah tangganya dengan Indra semakin rapuh, dan semua itu semakin jelas terasa.Nadia menatap jendela kamar yang mulai diterangi sinar matahari pagi. Ia teringat kembali dengan kejadian malam sebelumnya, saat Indra meledak dalam kemarahannya di depan Reza. Rasa sakit itu masih membekas, bukan hanya karena bentakan yang ia terima, tetapi juga karena Reza yang menyaksikan semua itu. Dia tahu, Reza terlalu muda untuk mengerti apa yang terjadi antara orang tuanya, tetapi anak itu tidak sepantasnya menjadi saksi dari keretakan yang semakin lebar di rumah ini.Saat Indra keluar dari kamar, dia terlihat buru-buru. Ponselnya berdering beberapa kali, menandakan bahwa pekerjaan menunggu sejak pagi. Nadia memperhatikan Indra dari kejauhan. Dia in
Pagi berikutnya, suasana rumah terasa seperti selalu—sepi dan dingin. Indra sudah berangkat lebih awal, seperti biasanya. Tidak ada kata-kata perpisahan, tidak ada ciuman atau ucapan selamat pagi. Nadia terbangun dengan perasaan hampa, seolah-olah setiap hari hanyalah pengulangan dari hari sebelumnya—rutinitas yang sama tanpa adanya makna.Ia melangkah menuju kamar Reza, memastikan anaknya sudah siap untuk sekolah. Reza duduk di meja belajarnya, menggambar sesuatu dengan pensil warna kesayangannya. Wajahnya tampak serius, namun di balik keseriusan itu, Nadia bisa melihat kesedihan yang tersembunyi. Reza belum banyak bicara pagi itu, mungkin karena semalam ia merasa diabaikan oleh Indra.Nadia menghela napas panjang. "Reza, kamu sudah siap ke sekolah?" tanyanya lembut.Reza menoleh sebentar, lalu mengangguk pelan. "Iya, Bunda. Aku sudah siap."Nadia tersenyum tipis, lalu mendekati Reza, merapikan seragam sekolahnya. "Bagus. Nanti setelah pulang
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Nadia terjaga di tempat tidurnya, memandangi langit-langit kamar yang gelap. Di sampingnya, Indra tertidur dengan napas yang dalam, tampak begitu tenang. Namun, kedamaian itu terasa kontras dengan gejolak batin yang Nadia rasakan. Hatinya berat, dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran. Ia bertanya-tanya apakah semua ini masih ada artinya, apakah perjuangannya untuk mempertahankan keluarga ini layak?Ia tidak pernah membayangkan pernikahannya akan berakhir seperti ini—terjebak dalam siklus kesepian, kemarahan, dan kebisuan. Setiap kali ia mencoba mendekatkan diri kepada Indra, respons yang didapatkannya hanyalah dingin. Terkadang, di tengah kemarahan, Indra bahkan tidak segan mengeluarkan kata-kata tajam atau kontak fisik yang membuat Nadia merasa semakin kecil. Namun di lain waktu, ada momen-momen singkat di mana Indra menunjukkan kepedulian, meski hanya sebentar, membuat Nadia bingung dan terus berharap bahwa pernikahan ini mas