Keesokan paginya, suasana rumah terasa sama seperti sebelumnya, sunyi dan penuh ketegangan. Nadia bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Namun, kali ini ada kelelahan yang tak kasatmata yang terasa semakin menyesakkan dadanya. Malam tadi, meski dia berusaha memulai percakapan dengan Indra, hasilnya tetap nihil. Indra masih mengabaikannya, dan itu membuat Nadia semakin cemas tentang masa depan rumah tangga mereka.
Reza berlari kecil ke dapur, wajahnya ceria seperti biasa, tidak menyadari badai yang sedang berkecamuk di antara kedua orang tuanya. "Ma, aku lapar!" serunya sambil memeluk kaki Nadia.
Nadia tersenyum dan mengusap kepala anaknya. “Sarapan hampir siap, sayang. Kamu mau roti panggang atau nasi goreng?”
“Nasi goreng!” jawab Reza dengan mata berbinar.
Sementara Nadia menyiapkan makanan untuk Reza, Indra muncul dari kamar, masih terlihat lelah meskipun sudah tidur semalaman. Tanpa banyak bicara,
Keesokan harinya, Nadia terbangun dengan rasa lelah yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Matanya terasa berat, pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran tentang rumah tangganya. Di sampingnya, Indra masih tertidur lelap, wajahnya tampak damai seolah tidak ada hal yang mengganggu hidupnya. Nadia menghela napas panjang. Apa yang terjadi semalam terus terbayang di pikirannya—bentakan Indra pada Reza, kesunyian yang menutup percakapan mereka, dan jarak yang semakin terasa di antara mereka.Nadia menatap Reza yang masih tidur di kamar sebelah, hatinya terasa berat. Anak itu tidak pantas menjadi saksi dari ketegangan yang terus memanas di rumah ini. Ia bertekad untuk menjaga Reza dari semua kekacauan ini, meskipun itu berarti harus menahan perasaannya sendiri.Saat matahari mulai naik, Nadia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih awal dari biasanya. Dia berharap bahwa mungkin dengan sarapan pagi yang tenang, mereka bisa memulai hari dengan suasana yang lebih baik
Pagi itu, Nadia terbangun lebih awal. Ia memandangi wajah Reza yang masih tertidur pulas di sampingnya. Ada perasaan lega setiap kali melihat putranya tertidur damai, seolah dunia di luar tidak ada masalah. Namun, kenyataan berkata lain. Rumah tangganya dengan Indra semakin rapuh, dan semua itu semakin jelas terasa.Nadia menatap jendela kamar yang mulai diterangi sinar matahari pagi. Ia teringat kembali dengan kejadian malam sebelumnya, saat Indra meledak dalam kemarahannya di depan Reza. Rasa sakit itu masih membekas, bukan hanya karena bentakan yang ia terima, tetapi juga karena Reza yang menyaksikan semua itu. Dia tahu, Reza terlalu muda untuk mengerti apa yang terjadi antara orang tuanya, tetapi anak itu tidak sepantasnya menjadi saksi dari keretakan yang semakin lebar di rumah ini.Saat Indra keluar dari kamar, dia terlihat buru-buru. Ponselnya berdering beberapa kali, menandakan bahwa pekerjaan menunggu sejak pagi. Nadia memperhatikan Indra dari kejauhan. Dia in
Pagi berikutnya, suasana rumah terasa seperti selalu—sepi dan dingin. Indra sudah berangkat lebih awal, seperti biasanya. Tidak ada kata-kata perpisahan, tidak ada ciuman atau ucapan selamat pagi. Nadia terbangun dengan perasaan hampa, seolah-olah setiap hari hanyalah pengulangan dari hari sebelumnya—rutinitas yang sama tanpa adanya makna.Ia melangkah menuju kamar Reza, memastikan anaknya sudah siap untuk sekolah. Reza duduk di meja belajarnya, menggambar sesuatu dengan pensil warna kesayangannya. Wajahnya tampak serius, namun di balik keseriusan itu, Nadia bisa melihat kesedihan yang tersembunyi. Reza belum banyak bicara pagi itu, mungkin karena semalam ia merasa diabaikan oleh Indra.Nadia menghela napas panjang. "Reza, kamu sudah siap ke sekolah?" tanyanya lembut.Reza menoleh sebentar, lalu mengangguk pelan. "Iya, Bunda. Aku sudah siap."Nadia tersenyum tipis, lalu mendekati Reza, merapikan seragam sekolahnya. "Bagus. Nanti setelah pulang
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Nadia terjaga di tempat tidurnya, memandangi langit-langit kamar yang gelap. Di sampingnya, Indra tertidur dengan napas yang dalam, tampak begitu tenang. Namun, kedamaian itu terasa kontras dengan gejolak batin yang Nadia rasakan. Hatinya berat, dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran. Ia bertanya-tanya apakah semua ini masih ada artinya, apakah perjuangannya untuk mempertahankan keluarga ini layak?Ia tidak pernah membayangkan pernikahannya akan berakhir seperti ini—terjebak dalam siklus kesepian, kemarahan, dan kebisuan. Setiap kali ia mencoba mendekatkan diri kepada Indra, respons yang didapatkannya hanyalah dingin. Terkadang, di tengah kemarahan, Indra bahkan tidak segan mengeluarkan kata-kata tajam atau kontak fisik yang membuat Nadia merasa semakin kecil. Namun di lain waktu, ada momen-momen singkat di mana Indra menunjukkan kepedulian, meski hanya sebentar, membuat Nadia bingung dan terus berharap bahwa pernikahan ini mas
Pagi itu terasa lebih dingin, seolah cuaca di luar mencerminkan suasana hati Nadia. Ia bangun lebih awal dari biasanya, berharap bisa mempersiapkan segalanya untuk pagi yang lebih baik bagi keluarganya. Meskipun hatinya masih sakit karena perkataan Indra semalam, ia bertekad untuk tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu.Saat Indra keluar dari kamar mandi, Nadia sudah menyiapkan sarapan di meja. Nasi goreng hangat dengan telur mata sapi kesukaan Indra, ditemani segelas teh manis. Nadia ingin menunjukkan bahwa ia masih peduli, meskipun setiap hari terasa lebih sulit."Mas, sarapannya sudah siap," ucap Nadia lembut, mencoba mencairkan suasana yang dingin. Ia berharap bahwa, meski hanya sejenak, Indra bisa melihat usahanya dan merespons dengan lebih baik.Namun, Indra hanya melirik sekilas tanpa senyuman. Ia duduk di kursi meja makan, mengambil piring tanpa berkata apa-apa. Nadia merasakan perih di hatinya, tapi ia tetap tersenyum tipis dan duduk di sebera
Malam di rumah itu terasa begitu sunyi. Hanya suara jam dinding yang berdetak lembut, menjadi satu-satunya pengingat bahwa waktu terus berjalan, meskipun rasanya semua terhenti di antara mereka. Nadia duduk di sofa, memandang Reza yang telah tertidur di pangkuannya. Matanya yang letih menatap jam dinding, berharap waktu bisa memberinya sedikit keajaiban untuk memperbaiki semua kekacauan ini. Tetapi Indra, yang berada di dalam kamar, tidak juga keluar.Nadia tahu, setiap kali Indra merasa tertekan dari pekerjaan, suasana di rumah menjadi tegang. Masalah di kantor sering kali terbawa pulang, dan itu membuatnya semakin sulit untuk berbicara atau mendekati suaminya. Namun, malam ini, rasanya ada sesuatu yang lebih berat dari sekadar tekanan kerja. Sikap dingin dan emosional Indra akhir-akhir ini semakin parah, bahkan di depan Reza. Itu yang paling mengganggu Nadia. Jika dulu, Indra setidaknya menjaga emosinya di depan anak mereka, kini tidak lagi.Nadia menarik napas panja
Malam semakin larut ketika Nadia mendengar suara langkah mendekat ke kamar. Hatinya berdebar, berharap Indra yang datang untuk membicarakan apa yang sudah lama tersimpan di benaknya. Pikirannya berputar, merencanakan kata-kata yang akan diucapkan—tentang perasaan yang semakin sulit ia tahan, tentang harapan bahwa rumah tangga mereka bisa diperbaiki.Namun, ketika pintu kamar terbuka, yang muncul bukan Indra. Sosok kecil dengan wajah polos muncul dari balik pintu—Reza. Mata kecilnya tampak mengantuk, tetapi ada kegelisahan di wajahnya yang tidak biasa."Ibu... aku nggak bisa tidur," ucap Reza pelan, sambil mengusap matanya.Nadia langsung menghampiri putranya dan membungkuk agar sejajar dengannya. "Kenapa, Sayang? Ada mimpi buruk?" tanyanya lembut, menyentuh bahu Reza dengan penuh kasih sayang. Perasaannya langsung beralih dari kebingungan kepada putranya. Nadia tak ingin Reza merasakan kekecewaan yang ia rasakan selama ini, meskipun ia tahu bahwa Rez
Keesokan paginya, Nadia duduk diam di pinggir ranjang, tatapannya tertuju pada pesan singkat yang ditinggalkan Indra. "Aku butuh waktu sendiri." Hanya empat kata, tetapi dampaknya begitu besar, menghantam hati Nadia seperti gelombang dingin. Waktu sendiri? Setelah malam yang berat dan percakapan yang menggantung, kini Indra malah memilih untuk menjauh. Hatinya mencelos.Nadia meremas kertas itu, lalu perlahan membuka jendela kamar, membiarkan udara pagi yang sejuk masuk. Langit Jakarta yang biasanya menjadi penghiburan, kini terasa kelabu di matanya. Sejenak, Nadia menatap ke luar, membiarkan pikirannya berlarian mencoba menemukan jawaban—apa yang harus ia lakukan selanjutnya.Reza masih terlelap di kamarnya. Wajah tenangnya tampak begitu polos dan damai, tidak menyadari badai emosi yang terjadi antara kedua orang tuanya. Nadia berdiri di depan pintu kamar anaknya, berusaha menenangkan diri, merapal doa agar bisa tetap kuat demi Reza. Ia tahu, apapun yang terjadi