Malam semakin larut ketika Nadia mendengar suara langkah mendekat ke kamar. Hatinya berdebar, berharap Indra yang datang untuk membicarakan apa yang sudah lama tersimpan di benaknya. Pikirannya berputar, merencanakan kata-kata yang akan diucapkan—tentang perasaan yang semakin sulit ia tahan, tentang harapan bahwa rumah tangga mereka bisa diperbaiki.
Namun, ketika pintu kamar terbuka, yang muncul bukan Indra. Sosok kecil dengan wajah polos muncul dari balik pintu—Reza. Mata kecilnya tampak mengantuk, tetapi ada kegelisahan di wajahnya yang tidak biasa.
"Ibu... aku nggak bisa tidur," ucap Reza pelan, sambil mengusap matanya.
Nadia langsung menghampiri putranya dan membungkuk agar sejajar dengannya. "Kenapa, Sayang? Ada mimpi buruk?" tanyanya lembut, menyentuh bahu Reza dengan penuh kasih sayang. Perasaannya langsung beralih dari kebingungan kepada putranya. Nadia tak ingin Reza merasakan kekecewaan yang ia rasakan selama ini, meskipun ia tahu bahwa Rez
Keesokan paginya, Nadia duduk diam di pinggir ranjang, tatapannya tertuju pada pesan singkat yang ditinggalkan Indra. "Aku butuh waktu sendiri." Hanya empat kata, tetapi dampaknya begitu besar, menghantam hati Nadia seperti gelombang dingin. Waktu sendiri? Setelah malam yang berat dan percakapan yang menggantung, kini Indra malah memilih untuk menjauh. Hatinya mencelos.Nadia meremas kertas itu, lalu perlahan membuka jendela kamar, membiarkan udara pagi yang sejuk masuk. Langit Jakarta yang biasanya menjadi penghiburan, kini terasa kelabu di matanya. Sejenak, Nadia menatap ke luar, membiarkan pikirannya berlarian mencoba menemukan jawaban—apa yang harus ia lakukan selanjutnya.Reza masih terlelap di kamarnya. Wajah tenangnya tampak begitu polos dan damai, tidak menyadari badai emosi yang terjadi antara kedua orang tuanya. Nadia berdiri di depan pintu kamar anaknya, berusaha menenangkan diri, merapal doa agar bisa tetap kuat demi Reza. Ia tahu, apapun yang terjadi
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Pesan singkat dari Indra yang baru saja diterima membuat dada Nadia semakin sesak. "Jangan tunggu aku malam ini." Lima kata yang menandai jarak yang semakin nyata di antara mereka. Sebuah jarak yang Nadia tak tahu bagaimana menjembataninya.Nadia meletakkan ponselnya dengan lelah, mencoba menenangkan pikirannya yang terus dipenuhi pertanyaan. Apa yang sedang terjadi dengan Indra? Apa yang membuatnya berubah menjadi begitu dingin, seolah-olah tidak ada lagi cinta yang tersisa di antara mereka? Rasa frustasi mulai menyelimuti dirinya. Setiap kali Nadia mencoba mendekat, Indra justru menjauh.Ia menutup mata sejenak, berharap lelahnya fisik bisa mengatasi lelahnya pikiran. Namun, sayangnya, pikirannya terus berputar tanpa henti. Di satu sisi, Nadia merasa tidak dihargai dan ditinggalkan begitu saja. Namun di sisi lain, ia merasa harus tetap berjuang. Setiap kali ia melihat Reza, hatinya tergerak untuk tetap bertahan. Demi anak m
Pagi datang tanpa kejutan berarti. Nadia terbangun lebih awal dari biasanya, dengan perasaan gundah yang tidak bisa diabaikan. Di sampingnya, Indra masih tertidur dengan wajah yang tampak lelah, tetapi dingin. Ia ingin membangunkannya, ingin melanjutkan percakapan yang tertunda tadi malam, tetapi keraguannya lebih besar. Apakah Indra benar-benar ingin mendiskusikan hubungan mereka, atau itu hanya sekadar janji yang takkan ditepati?Dengan perasaan tertekan, Nadia memilih untuk bangun pelan-pelan, berusaha agar tidak membangunkan Indra. Dia berjalan menuju dapur, mulai menyiapkan sarapan. Roti panggang, telur, dan segelas susu untuk Reza yang sebentar lagi akan bangun. Suasana pagi itu terasa lengang, meskipun di luar, dunia terus berputar seperti biasa.Saat Nadia sedang sibuk dengan dapur, terdengar suara langkah kaki kecil dari arah tangga. Reza muncul dengan rambut acak-acakan dan mata yang masih mengantuk. Ia berjalan menuju ibunya dan memeluk pinggang Nadia erat.
Malam itu terasa panjang bagi Nadia. Setelah mengantar Reza tidur di kamarnya, ia kembali duduk di tepi ranjang, merenungi situasi yang semakin tidak menentu. Indra sudah berada di kamar mereka, namun ia terlihat sibuk dengan laptopnya. Bunyi ketikan dari keyboard terus terdengar, seolah membentuk penghalang tak terlihat antara mereka berdua. Nadia menghela napas pelan, merasa perasaannya semakin terjebak dalam kehampaan.Dia menatap suaminya dari sisi tempat tidur, berharap ada sedikit momen di mana mereka bisa berbicara, sekadar bertukar pikiran tentang hari-hari mereka yang semakin dipenuhi jarak. Tapi, Indra tak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti dari kesibukannya. Ketegangan yang menggantung di udara semakin terasa berat bagi Nadia."Indra...," suara Nadia terdengar pelan, hampir seperti bisikan.Indra tidak langsung menoleh, masih fokus pada layar laptop di depannya. Nadia menunggu, berharap bahwa kali ini suaminya akan merespons lebih baik. Akhirnya,
Keesokan paginya, Nadia terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya terasa berat karena kurang tidur, tetapi pikirannya tak mau diam. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran tentang masa depan rumah tangganya. Seperti biasa, dia menyiapkan sarapan untuk Reza dan Indra. Namun, kali ini, suasana hatinya semakin gelisah. Ada rasa takut yang perlahan merayap di dalam hatinya—takut bahwa semua perjuangan ini akan sia-sia.Ketika Nadia menata meja makan, Reza datang dengan langkah kecil dan senyum di wajahnya, meskipun matanya terlihat sedikit sayu. Sejak tadi malam, Nadia tahu bahwa Reza merasakan ketegangan di antara dirinya dan Indra, meskipun anak itu belum bisa sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Nadia memaksakan senyum, menatap wajah anaknya yang penuh harapan."Selamat pagi, Sayang. Mau sarapan apa hari ini?" tanya Nadia, berusaha mencairkan suasana.Reza hanya mengangguk, lalu duduk di kursinya tanpa berkata-kata. Nadia tahu Reza sedang berpikir, mungkin
Malam semakin larut, dan angin di luar terdengar berdesir pelan. Nadia masih duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong, memandangi langit-langit kamar. Setelah percakapan singkat dengan Indra, suasana menjadi lebih tegang. Ia tidak mengharapkan banyak dari pembicaraan tadi, tapi keheningan dan dinginnya sikap suaminya membuatnya merasa semakin terasing. Nadia tahu, semakin lama mereka seperti ini, semakin sulit baginya untuk mempertahankan hubungan ini.Indra sudah berbaring di sisi lain tempat tidur, punggungnya membelakangi Nadia. Tidak ada kata-kata lagi di antara mereka malam itu. Kesunyian menjadi semakin nyata ketika lampu kamar dimatikan, menyisakan hanya kegelapan dan ketegangan di antara mereka.Pagi harinya, Nadia bangun lebih awal dari Indra, seperti biasanya. Rutinitas pagi ini tetap sama, namun hati Nadia terasa lebih berat dari hari-hari sebelumnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan semalam. Ia melangkah ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan u
Pagi itu, setelah Indra berangkat kerja, Nadia merasakan kekosongan yang familiar. Udara di rumah terasa dingin meski matahari sudah naik tinggi. Ia menatap piring-piring kotor di meja makan, bukti bisu dari sarapan yang tak mengandung kehangatan. Reza sudah berangkat sekolah, dan Nadia kembali sendirian dengan pikirannya yang tak menentu.Semua terasa berat, seolah waktu berjalan lambat, menghantarkan beban yang sama setiap harinya. Nadia menatap dinding rumah yang terasa semakin sempit. Keadaan rumah tangganya semakin sulit dipertahankan, namun di hatinya ada perasaan yang tak mau menyerah. Ia tetap ingin mempertahankan keluarganya, demi Reza. Nadia tahu, anak itu membutuhkan ayahnya, meskipun Indra kerap kali menunjukkan sikap dingin dan tidak peduli.Siang menjelang, dan Nadia memutuskan untuk pergi ke pasar. Aktivitas sederhana seperti ini memberinya sedikit ruang untuk bernapas, meski hanya sementara. Namun, di tengah keramaian pasar, pikirannya tetap saja tidak
Keesokan harinya, suasana rumah masih terasa sunyi, seolah tak ada yang berubah setelah percakapan singkat semalam. Nadia bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk Reza sebelum anaknya berangkat ke sekolah. Pikirannya masih melayang-layang memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki rumah tangganya.Pagi ini, Nadia berharap suasana akan sedikit berbeda, mungkin lebih hangat. Namun, Indra tetap sama—diam dan dingin. Ketika mereka bertemu di ruang makan, hanya ada anggukan singkat dari Indra sebelum ia kembali tenggelam dalam pekerjaannya melalui layar ponsel. Nadia melirik Reza yang duduk di sampingnya. Anak itu tampak terdiam, tidak seperti biasanya. Biasanya Reza akan penuh semangat berbicara tentang rencana harinya di sekolah, tapi pagi ini, ia hanya bermain-main dengan sendok di piringnya tanpa bersuara."Reza, kamu nggak makan?" tanya Nadia pelan, mencoba membuyarkan kebisuan itu.Reza hanya menggelengkan kepala, matanya ti
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be