Pintu depan terbuka perlahan, menandakan kedatangan Indra. Nadia, yang duduk di meja makan dengan secangkir teh hangat di depannya, langsung menegakkan punggungnya. Ia belum menyentuh makan malam yang disiapkannya tadi, berharap Indra akan pulang tepat waktu dan mereka bisa duduk bersama seperti keluarga normal.
Indra masuk dengan langkah berat. Wajahnya tampak lelah, seperti beban dunia ada di pundaknya. Mata mereka bertemu sejenak, tetapi Indra hanya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa, lalu meletakkan tas kerjanya di kursi terdekat.
Nadia mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara, mencoba mencairkan suasana yang tegang. "Mas, kamu sudah makan? Aku masih simpan makanan di meja kalau kamu mau."
Indra hanya menggeleng, berjalan menuju ruang tengah tanpa menjawab. Nadia mengikuti dengan tatapan cemas. Suaminya duduk di sofa, membuka kancing kerah kemejanya, dan membaringkan kepala di sandaran, memejamkan mata.
"Capek banget, ya?" Nadia mencoba memul
Pertanyaan Reza menggantung di udara, menyelinap di antara detak jantung yang tiba-tiba terasa lambat bagi Nadia. Dia menahan napas, tak berani bergerak sedikit pun. Pemandangan di hadapannya, yang tadinya tampak seperti momen hangat antara ayah dan anak, berubah menjadi panggung drama yang mendebarkan.Indra terdiam sejenak, matanya memandangi Reza dengan sedikit kebingungan. “Apa maksudmu, Reza?” tanyanya, suaranya terdengar lebih tenang dari yang Nadia perkirakan.Reza, dengan polosnya, menggerakkan mainan mobilnya di lantai dan mengangkat wajah mungilnya. “Ayah sering marah sama Ibu. Reza dengar tadi malam, Ayah bilang Ibu bikin Ayah capek.”Nadia merasakan hatinya mencelos. Ia ingat kejadian malam itu. Memang benar, Indra sempat melontarkan kata-kata itu dengan suara keras ketika mereka berselisih soal hal-hal kecil. Tapi, Nadia tidak pernah menyangka bahwa Reza mendengar dan mencerna semuanya. Anak ini masih terlalu kecil untuk mema
Suara dering telepon yang tiba-tiba memecah keheningan rumah membuat Nadia terlonjak. Reza yang tengah tertidur di pangkuannya sedikit bergerak, namun ia dengan lembut menepuk-nepuk punggung anaknya hingga kembali tenang. Sementara itu, Indra yang duduk tak jauh darinya sudah lebih dulu bangkit, melangkah ke arah meja ruang tamu di mana telepon rumah berada.Nadia memperhatikan suaminya dengan hati-hati. Raut wajah Indra tampak tegang ketika ia mengangkat gagang telepon, dan seketika suasana hati Nadia berubah gelisah. Dalam beberapa detik, nadanya yang tegas terdengar."Indra Pratama di sini," kata Indra dengan suara berat, tanpa senyum sedikit pun.Nadia hanya bisa menduga-duga apa yang terjadi di seberang sana. Mungkin telepon itu dari seseorang di kantor Indra, atau mungkin... Dina? Pikiran itu membuat hatinya sedikit bergetar. Entah mengapa, perasaan khawatir itu sulit untuk dihindari belakangan ini. Indra seringkali pulang terlambat tanpa memberi penjelasa
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Nadia terbangun lebih awal dari biasanya. Dia menyelesaikan pekerjaan rumahnya dalam diam, sementara Indra masih tidur. Semenjak malam sebelumnya, dia terus memikirkan percakapan singkat mereka yang belum selesai. Ada banyak hal yang belum tersampaikan, tetapi seperti biasa, mereka selalu dihadapkan pada pengalihan—entah Reza, pekerjaan, atau masalah lain yang selalu menggeser fokus mereka dari satu sama lain.Nadia menyiapkan sarapan dengan hati yang penuh resah. Pikirannya terus berputar-putar, mencoba memahami bagaimana hubungan mereka sampai di titik ini. Setiap kali ia melihat Indra, seolah ada tembok yang tak terlihat di antara mereka, membatasi setiap percakapan dan setiap usaha untuk saling memahami.Saat Indra akhirnya keluar dari kamar dengan wajah kusut, Nadia mencoba menyapanya dengan senyum yang dipaksakan. “Mas, aku udah siapin sarapan. Nasi goreng kesukaanmu.”Indra hanya mengangguk tanpa s
Pagi itu, seperti biasa, Nadia bangun lebih awal dari Indra. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun dia sudah mulai beres-beres dan menyiapkan sarapan. Hari-hari mereka semakin terasa seperti rutinitas yang membosankan, tanpa percakapan yang bermakna, hanya menjalani hari demi hari dengan jeda panjang di antara mereka.Nadia merapikan meja makan dengan cermat, berharap mungkin hari ini akan ada perubahan. Dia tidak tahu harus memulai dari mana, tapi setidaknya dia berusaha, demi Reza, demi rumah tangga mereka. Meskipun hati kecilnya terus-menerus dihantui kekhawatiran, Nadia tetap teguh berpegang pada tekadnya. Dia ingin mempertahankan keluarganya. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk Reza yang masih sangat membutuhkan sosok ayah yang stabil di hidupnya.Ketika Indra keluar dari kamar dengan wajah lelah, Nadia mencoba menyapanya dengan nada yang lembut.“Mas, sarapannya sudah siap,” ujarnya pelan sambil tersenyum tipis.Indra hanya mengang
Keesokan paginya, suasana rumah terasa sama seperti sebelumnya, sunyi dan penuh ketegangan. Nadia bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Namun, kali ini ada kelelahan yang tak kasatmata yang terasa semakin menyesakkan dadanya. Malam tadi, meski dia berusaha memulai percakapan dengan Indra, hasilnya tetap nihil. Indra masih mengabaikannya, dan itu membuat Nadia semakin cemas tentang masa depan rumah tangga mereka.Reza berlari kecil ke dapur, wajahnya ceria seperti biasa, tidak menyadari badai yang sedang berkecamuk di antara kedua orang tuanya. "Ma, aku lapar!" serunya sambil memeluk kaki Nadia.Nadia tersenyum dan mengusap kepala anaknya. “Sarapan hampir siap, sayang. Kamu mau roti panggang atau nasi goreng?”“Nasi goreng!” jawab Reza dengan mata berbinar.Sementara Nadia menyiapkan makanan untuk Reza, Indra muncul dari kamar, masih terlihat lelah meskipun sudah tidur semalaman. Tanpa banyak bicara,
Keesokan harinya, Nadia terbangun dengan rasa lelah yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Matanya terasa berat, pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran tentang rumah tangganya. Di sampingnya, Indra masih tertidur lelap, wajahnya tampak damai seolah tidak ada hal yang mengganggu hidupnya. Nadia menghela napas panjang. Apa yang terjadi semalam terus terbayang di pikirannya—bentakan Indra pada Reza, kesunyian yang menutup percakapan mereka, dan jarak yang semakin terasa di antara mereka.Nadia menatap Reza yang masih tidur di kamar sebelah, hatinya terasa berat. Anak itu tidak pantas menjadi saksi dari ketegangan yang terus memanas di rumah ini. Ia bertekad untuk menjaga Reza dari semua kekacauan ini, meskipun itu berarti harus menahan perasaannya sendiri.Saat matahari mulai naik, Nadia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih awal dari biasanya. Dia berharap bahwa mungkin dengan sarapan pagi yang tenang, mereka bisa memulai hari dengan suasana yang lebih baik
Pagi itu, Nadia terbangun lebih awal. Ia memandangi wajah Reza yang masih tertidur pulas di sampingnya. Ada perasaan lega setiap kali melihat putranya tertidur damai, seolah dunia di luar tidak ada masalah. Namun, kenyataan berkata lain. Rumah tangganya dengan Indra semakin rapuh, dan semua itu semakin jelas terasa.Nadia menatap jendela kamar yang mulai diterangi sinar matahari pagi. Ia teringat kembali dengan kejadian malam sebelumnya, saat Indra meledak dalam kemarahannya di depan Reza. Rasa sakit itu masih membekas, bukan hanya karena bentakan yang ia terima, tetapi juga karena Reza yang menyaksikan semua itu. Dia tahu, Reza terlalu muda untuk mengerti apa yang terjadi antara orang tuanya, tetapi anak itu tidak sepantasnya menjadi saksi dari keretakan yang semakin lebar di rumah ini.Saat Indra keluar dari kamar, dia terlihat buru-buru. Ponselnya berdering beberapa kali, menandakan bahwa pekerjaan menunggu sejak pagi. Nadia memperhatikan Indra dari kejauhan. Dia in
Pagi berikutnya, suasana rumah terasa seperti selalu—sepi dan dingin. Indra sudah berangkat lebih awal, seperti biasanya. Tidak ada kata-kata perpisahan, tidak ada ciuman atau ucapan selamat pagi. Nadia terbangun dengan perasaan hampa, seolah-olah setiap hari hanyalah pengulangan dari hari sebelumnya—rutinitas yang sama tanpa adanya makna.Ia melangkah menuju kamar Reza, memastikan anaknya sudah siap untuk sekolah. Reza duduk di meja belajarnya, menggambar sesuatu dengan pensil warna kesayangannya. Wajahnya tampak serius, namun di balik keseriusan itu, Nadia bisa melihat kesedihan yang tersembunyi. Reza belum banyak bicara pagi itu, mungkin karena semalam ia merasa diabaikan oleh Indra.Nadia menghela napas panjang. "Reza, kamu sudah siap ke sekolah?" tanyanya lembut.Reza menoleh sebentar, lalu mengangguk pelan. "Iya, Bunda. Aku sudah siap."Nadia tersenyum tipis, lalu mendekati Reza, merapikan seragam sekolahnya. "Bagus. Nanti setelah pulang
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be