Pagi kembali tiba, dengan matahari yang menyapa lembut melalui tirai jendela kamar. Di luar, kicauan burung terdengar, memberikan kehangatan alami. Tapi di dalam rumah, suasana tetap terasa dingin. Nadia sudah terbiasa dengan kesunyian ini. Meski dia terus berharap, entah sejak kapan harapan itu perlahan mulai menghilang, tenggelam dalam kenyataan yang tak seindah bayangannya.
Di meja makan, Nadia duduk sambil menunggu Indra turun. Reza sudah selesai sarapan dan bermain di ruang tamu. Ada secangkir teh hangat di depannya, tapi ia tidak menyentuhnya. Pikirannya melayang pada percakapan malam sebelumnya. Indra seperti tembok, sulit untuk ditembus. Meski Nadia sudah berusaha membuka diri, mencoba berbicara, hasilnya selalu sama—jawaban yang singkat dan tanpa rasa.
Langkah kaki Indra terdengar menuruni tangga. Nadia berusaha menguatkan dirinya, mencoba untuk tetap ramah seperti biasa.
"Mas, sarapannya sudah siap," ujar Nadia dengan nada lembut.
Indra ha
Hari-hari berlalu, dan rutinitas dalam rumah tangga Nadia dan Indra tetap berjalan seperti biasanya, meski di dalam hatinya, Nadia mulai merasa ada sesuatu yang salah. Indra semakin sering tenggelam dalam pekerjaannya, dan meskipun sesekali ia menunjukkan perhatian terhadap Reza, hubungan mereka tetap terasa hampa dan jauh dari kehangatan yang Nadia dambakan. Nadia terus mencoba untuk mempertahankan rumah tangganya, berharap kehadiran Reza bisa mengubah semuanya.Pagi itu, Reza tampak lebih ceria dari biasanya. Nadia sedang menyiapkan sarapan ketika Reza berlari menghampirinya dengan tawa yang riang. "Bu, lihat! Aku udah bisa gambar mobil!" serunya dengan bangga sambil memperlihatkan gambar coretan mobil yang baru saja ia buat di buku gambarnya.Nadia tersenyum hangat. "Wah, bagus banget gambarnya, Nak. Nanti kasih lihat ke Ayah, ya," ucapnya sambil membelai lembut kepala anaknya. Di dalam hatinya, Nadia merasa bahagia melihat betapa cerdas dan cepat tumbuhnya Reza. Se
Waktu terus berjalan, namun hubungan antara Nadia dan Indra tidak membaik. Nadia semakin berusaha mempertahankan keluarganya demi Reza, tapi Indra kerap kali kehilangan kontrol atas emosinya. Hal ini mulai menjadi masalah besar dalam rumah tangga mereka. Jika sebelumnya Indra hanya menunjukkan sikap dingin dan acuh, kini amarahnya sering meledak tanpa alasan yang jelas. Ketegangan ini bahkan terjadi di depan Reza, membuat Nadia semakin tertekan.Pagi itu, suasana rumah kembali memanas. Indra pulang terlambat lagi semalam karena urusan kerja yang tak kunjung selesai. Nadia yang sudah lelah dengan rutinitas ini berusaha tetap tenang, tapi Indra sudah terlihat gelisah sejak bangun pagi. Ketika Nadia mencoba menanyakan apakah Indra ingin sarapan, ia langsung mengeluh.“Kenapa kamu selalu nanya hal-hal yang nggak penting kayak gitu? Aku lagi buru-buru, nggak sempat makan!” kata Indra dengan nada tinggi.Nadia menghela napas panjang, mencoba menahan emosin
Pagi itu, sinar matahari masuk menerobos tirai kamar Nadia dan Indra, namun tidak ada kehangatan yang menyertai. Nadia bangun lebih awal dari biasanya, menatap langit-langit kamar sembari merenungi apa yang sudah terjadi belakangan ini. Ia tahu, rumah tangganya tidak seperti yang ia harapkan ketika menikah dengan Indra. Meski sudah berusaha bertahan, terutama demi Reza, semakin hari, hati Nadia terasa semakin berat.Setelah percakapan mereka semalam, Nadia merasakan keputusasaan yang kian membesar. Indra masih tetap keras kepala, tak mau melihat masalah dari sudut pandangnya. Amarah Indra pun semakin sering meledak tanpa sebab yang jelas, kadang hanya karena hal-hal kecil. Nadia mulai merasa takut bahwa Reza akan tumbuh dengan menyaksikan semua ini—melihat sosok ayah yang pemarah dan ibu yang tak berdaya menghadapi keadaan.Indra keluar dari kamar mandi, mengenakan handuk di pinggangnya, terlihat terburu-buru. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Nadia, ia bergegas
Pagi di rumah Nadia dan Indra selalu terasa hampa meski sinar matahari menerangi setiap sudut ruangan. Hari ini tidak ada pengecualian. Nadia sedang menyiapkan sarapan, tetapi pikirannya melayang entah kemana. Pikirannya kembali ke kejadian semalam ketika Indra meledak di depan Reza. Ia berusaha memulai hari dengan lebih tenang, namun bayang-bayang amarah Indra terus menghantuinya.Indra keluar dari kamar, masih dengan ekspresi dingin di wajahnya. Ia duduk di meja makan, mengambil secangkir kopi yang sudah disiapkan Nadia. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia mulai menyeruput kopi itu. Nadia, yang sedang menggoreng telur, mencuri pandang ke arahnya, berharap bisa membuka percakapan yang lebih lembut pagi ini."Mas, ada rencana apa hari ini?" tanya Nadia hati-hati, mencoba mencairkan suasana.Indra tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat bahu, pandangannya tidak beralih dari layar ponsel di tangannya. "Kerja seperti biasa. Banyak urusan di kantor," jawabny
Pagi berikutnya di rumah mereka tidak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Suasana dingin dan tegang terus menghantui setiap sudut rumah. Nadia menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali melihat ke arah Reza, yang sedang bermain sendirian di ruang tamu. Anak itu terlihat ceria seperti biasa, tidak menyadari ketegangan yang membara di antara kedua orang tuanya.Indra keluar dari kamar, mengenakan pakaian kerja. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia langsung duduk di meja makan, mengambil secangkir kopi yang disediakan Nadia. Wajahnya masih dingin, tidak ada ekspresi yang bisa Nadia baca. Suasana di meja makan begitu hening, hanya terdengar dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring.Nadia mencoba untuk mengalihkan perasaan resahnya. Ia ingin menjaga keluarganya, terutama demi Reza. Dia selalu berharap bahwa kehadiran Reza akan melunakkan hati Indra. Namun, semakin hari, harapan itu terasa semakin jauh dari kenyataan. Indra tetap bersikap acuh dan sering kali
Hari-hari terus bergulir dengan keheningan yang semakin menyesakkan. Nadia tetap pada pendiriannya, berusaha mempertahankan rumah tangga yang kini terasa seperti lautan badai. Ia selalu membayangkan, dengan sedikit usaha, dengan kesabaran yang tak bertepi, suatu saat Indra akan berubah. Bahwa Indra akan kembali menjadi sosok suami yang penuh perhatian seperti yang pernah ia harapkan, terutama saat Reza lahir.Setiap pagi, Nadia bangun lebih awal dari biasanya. Ia memastikan semua kebutuhan Indra siap sebelum suaminya berangkat kerja. Sarapan selalu tersedia di meja makan, pakaian kerja rapi, dan sepatu yang sudah disemir mengkilap. Semua dilakukannya dengan harapan kecil bahwa Indra akan menyadari usahanya, akan menyadari cinta yang masih ia miliki untuk keluarga ini.Namun, upayanya jarang mendapat respons. Indra sering kali keluar dari rumah tanpa mengucapkan terima kasih atau sekadar berpamitan dengan hangat. Paling-paling, ia hanya memberi anggukan kecil yang dingi
Pagi itu, suasana rumah masih sama seperti biasanya. Indra sudah berangkat lebih pagi dari biasanya, tak ada sapaan atau ciuman perpisahan untuk Nadia. Dia hanya mendengar suara pintu depan terbuka dan tertutup dengan keras, meninggalkan kesunyian yang semakin mencekam di dalam rumah mereka.Nadia duduk di ruang tamu sambil menatap jam dinding yang bergerak lambat. Reza sedang bermain di karpet, tak jauh dari tempatnya duduk. Suara tawa kecil anaknya yang polos menjadi satu-satunya penghiburan yang ia miliki. Sesekali, Nadia menoleh ke arah Reza dan tersenyum. Anak itu benar-benar menjadi alasan satu-satunya untuk bertahan dalam semua ini.Namun, Nadia tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ada bagian dari dirinya yang semakin rapuh. Setiap kali Indra pulang tanpa bicara banyak, setiap kali amarahnya meluap tanpa alasan yang jelas, dan setiap kali ia merasa tak dihargai, hati Nadia perlahan-lahan retak. Meskipun dia telah berusaha keras untuk menghindari konflik, se
Pagi yang baru dimulai seperti biasanya, dengan rutinitas yang sudah tidak asing lagi. Nadia menyiapkan sarapan untuk keluarganya, sementara Indra bersiap-siap di kamar, mengganti pakaian kerjanya. Suasana di antara mereka masih sama—dingin, nyaris tak ada percakapan yang berarti. Namun, pagi ini, Nadia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan cemas yang menggelayuti hatinya sejak semalam, seolah-olah sesuatu yang buruk akan terjadi, meski ia tak tahu apa.Reza, dengan senyumnya yang ceria, duduk di meja makan sambil memainkan sendoknya, memanggil-manggil ayahnya, berharap mendapat perhatian yang lebih hangat. Tapi Indra tetap seperti biasanya, fokus pada ponselnya bahkan saat ia duduk di meja makan."Ayah, lihat! Aku gambar Ayah lagi kerja di kantor," seru Reza sambil menunjukkan kertas dengan gambar coretan sederhana yang penuh warna. Gambar itu memperlihatkan sosok seorang pria yang duduk di meja dengan komputer di depannya—gambaran polos dari seora