Hari-hari terus berlalu, namun keadaan tidak banyak berubah. Nadia tetap berusaha menjalani kehidupan rumah tangganya dengan penuh ketabahan. Ia berusaha mengabaikan setiap kekecewaan kecil yang ia rasakan dari sikap Indra. Setiap pagi, seperti biasa, Nadia akan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, mengurus Reza, dan menjalani rutinitas harian sebagai istri dan ibu. Namun, di balik semua itu, ada rasa sepi yang perlahan mulai menyelimuti hatinya.
Pagi itu, saat sedang menyiapkan sarapan, Nadia menatap jendela dapur. Langit tampak cerah, tapi di dalam dirinya, awan mendung terus menggantung. Nadia teringat masa-masa awal pernikahan mereka, ketika masih ada sedikit harapan bahwa semuanya akan membaik seiring waktu. Saat itu, Nadia masih percaya bahwa cinta bisa tumbuh di antara mereka meskipun pernikahan mereka bermula dari sebuah keterpaksaan. Namun sekarang, setelah beberapa tahun berlalu, ia mulai meragukan keyakinan itu.
Indra turun ke ruang makan, wajahnya se
Pagi kembali tiba, dengan matahari yang menyapa lembut melalui tirai jendela kamar. Di luar, kicauan burung terdengar, memberikan kehangatan alami. Tapi di dalam rumah, suasana tetap terasa dingin. Nadia sudah terbiasa dengan kesunyian ini. Meski dia terus berharap, entah sejak kapan harapan itu perlahan mulai menghilang, tenggelam dalam kenyataan yang tak seindah bayangannya.Di meja makan, Nadia duduk sambil menunggu Indra turun. Reza sudah selesai sarapan dan bermain di ruang tamu. Ada secangkir teh hangat di depannya, tapi ia tidak menyentuhnya. Pikirannya melayang pada percakapan malam sebelumnya. Indra seperti tembok, sulit untuk ditembus. Meski Nadia sudah berusaha membuka diri, mencoba berbicara, hasilnya selalu sama—jawaban yang singkat dan tanpa rasa.Langkah kaki Indra terdengar menuruni tangga. Nadia berusaha menguatkan dirinya, mencoba untuk tetap ramah seperti biasa."Mas, sarapannya sudah siap," ujar Nadia dengan nada lembut.Indra ha
Hari-hari berlalu, dan rutinitas dalam rumah tangga Nadia dan Indra tetap berjalan seperti biasanya, meski di dalam hatinya, Nadia mulai merasa ada sesuatu yang salah. Indra semakin sering tenggelam dalam pekerjaannya, dan meskipun sesekali ia menunjukkan perhatian terhadap Reza, hubungan mereka tetap terasa hampa dan jauh dari kehangatan yang Nadia dambakan. Nadia terus mencoba untuk mempertahankan rumah tangganya, berharap kehadiran Reza bisa mengubah semuanya.Pagi itu, Reza tampak lebih ceria dari biasanya. Nadia sedang menyiapkan sarapan ketika Reza berlari menghampirinya dengan tawa yang riang. "Bu, lihat! Aku udah bisa gambar mobil!" serunya dengan bangga sambil memperlihatkan gambar coretan mobil yang baru saja ia buat di buku gambarnya.Nadia tersenyum hangat. "Wah, bagus banget gambarnya, Nak. Nanti kasih lihat ke Ayah, ya," ucapnya sambil membelai lembut kepala anaknya. Di dalam hatinya, Nadia merasa bahagia melihat betapa cerdas dan cepat tumbuhnya Reza. Se
Waktu terus berjalan, namun hubungan antara Nadia dan Indra tidak membaik. Nadia semakin berusaha mempertahankan keluarganya demi Reza, tapi Indra kerap kali kehilangan kontrol atas emosinya. Hal ini mulai menjadi masalah besar dalam rumah tangga mereka. Jika sebelumnya Indra hanya menunjukkan sikap dingin dan acuh, kini amarahnya sering meledak tanpa alasan yang jelas. Ketegangan ini bahkan terjadi di depan Reza, membuat Nadia semakin tertekan.Pagi itu, suasana rumah kembali memanas. Indra pulang terlambat lagi semalam karena urusan kerja yang tak kunjung selesai. Nadia yang sudah lelah dengan rutinitas ini berusaha tetap tenang, tapi Indra sudah terlihat gelisah sejak bangun pagi. Ketika Nadia mencoba menanyakan apakah Indra ingin sarapan, ia langsung mengeluh.“Kenapa kamu selalu nanya hal-hal yang nggak penting kayak gitu? Aku lagi buru-buru, nggak sempat makan!” kata Indra dengan nada tinggi.Nadia menghela napas panjang, mencoba menahan emosin
Pagi itu, sinar matahari masuk menerobos tirai kamar Nadia dan Indra, namun tidak ada kehangatan yang menyertai. Nadia bangun lebih awal dari biasanya, menatap langit-langit kamar sembari merenungi apa yang sudah terjadi belakangan ini. Ia tahu, rumah tangganya tidak seperti yang ia harapkan ketika menikah dengan Indra. Meski sudah berusaha bertahan, terutama demi Reza, semakin hari, hati Nadia terasa semakin berat.Setelah percakapan mereka semalam, Nadia merasakan keputusasaan yang kian membesar. Indra masih tetap keras kepala, tak mau melihat masalah dari sudut pandangnya. Amarah Indra pun semakin sering meledak tanpa sebab yang jelas, kadang hanya karena hal-hal kecil. Nadia mulai merasa takut bahwa Reza akan tumbuh dengan menyaksikan semua ini—melihat sosok ayah yang pemarah dan ibu yang tak berdaya menghadapi keadaan.Indra keluar dari kamar mandi, mengenakan handuk di pinggangnya, terlihat terburu-buru. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Nadia, ia bergegas
Pagi di rumah Nadia dan Indra selalu terasa hampa meski sinar matahari menerangi setiap sudut ruangan. Hari ini tidak ada pengecualian. Nadia sedang menyiapkan sarapan, tetapi pikirannya melayang entah kemana. Pikirannya kembali ke kejadian semalam ketika Indra meledak di depan Reza. Ia berusaha memulai hari dengan lebih tenang, namun bayang-bayang amarah Indra terus menghantuinya.Indra keluar dari kamar, masih dengan ekspresi dingin di wajahnya. Ia duduk di meja makan, mengambil secangkir kopi yang sudah disiapkan Nadia. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia mulai menyeruput kopi itu. Nadia, yang sedang menggoreng telur, mencuri pandang ke arahnya, berharap bisa membuka percakapan yang lebih lembut pagi ini."Mas, ada rencana apa hari ini?" tanya Nadia hati-hati, mencoba mencairkan suasana.Indra tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat bahu, pandangannya tidak beralih dari layar ponsel di tangannya. "Kerja seperti biasa. Banyak urusan di kantor," jawabny
Pagi berikutnya di rumah mereka tidak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Suasana dingin dan tegang terus menghantui setiap sudut rumah. Nadia menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali melihat ke arah Reza, yang sedang bermain sendirian di ruang tamu. Anak itu terlihat ceria seperti biasa, tidak menyadari ketegangan yang membara di antara kedua orang tuanya.Indra keluar dari kamar, mengenakan pakaian kerja. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia langsung duduk di meja makan, mengambil secangkir kopi yang disediakan Nadia. Wajahnya masih dingin, tidak ada ekspresi yang bisa Nadia baca. Suasana di meja makan begitu hening, hanya terdengar dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring.Nadia mencoba untuk mengalihkan perasaan resahnya. Ia ingin menjaga keluarganya, terutama demi Reza. Dia selalu berharap bahwa kehadiran Reza akan melunakkan hati Indra. Namun, semakin hari, harapan itu terasa semakin jauh dari kenyataan. Indra tetap bersikap acuh dan sering kali
Hari-hari terus bergulir dengan keheningan yang semakin menyesakkan. Nadia tetap pada pendiriannya, berusaha mempertahankan rumah tangga yang kini terasa seperti lautan badai. Ia selalu membayangkan, dengan sedikit usaha, dengan kesabaran yang tak bertepi, suatu saat Indra akan berubah. Bahwa Indra akan kembali menjadi sosok suami yang penuh perhatian seperti yang pernah ia harapkan, terutama saat Reza lahir.Setiap pagi, Nadia bangun lebih awal dari biasanya. Ia memastikan semua kebutuhan Indra siap sebelum suaminya berangkat kerja. Sarapan selalu tersedia di meja makan, pakaian kerja rapi, dan sepatu yang sudah disemir mengkilap. Semua dilakukannya dengan harapan kecil bahwa Indra akan menyadari usahanya, akan menyadari cinta yang masih ia miliki untuk keluarga ini.Namun, upayanya jarang mendapat respons. Indra sering kali keluar dari rumah tanpa mengucapkan terima kasih atau sekadar berpamitan dengan hangat. Paling-paling, ia hanya memberi anggukan kecil yang dingi
Pagi itu, suasana rumah masih sama seperti biasanya. Indra sudah berangkat lebih pagi dari biasanya, tak ada sapaan atau ciuman perpisahan untuk Nadia. Dia hanya mendengar suara pintu depan terbuka dan tertutup dengan keras, meninggalkan kesunyian yang semakin mencekam di dalam rumah mereka.Nadia duduk di ruang tamu sambil menatap jam dinding yang bergerak lambat. Reza sedang bermain di karpet, tak jauh dari tempatnya duduk. Suara tawa kecil anaknya yang polos menjadi satu-satunya penghiburan yang ia miliki. Sesekali, Nadia menoleh ke arah Reza dan tersenyum. Anak itu benar-benar menjadi alasan satu-satunya untuk bertahan dalam semua ini.Namun, Nadia tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ada bagian dari dirinya yang semakin rapuh. Setiap kali Indra pulang tanpa bicara banyak, setiap kali amarahnya meluap tanpa alasan yang jelas, dan setiap kali ia merasa tak dihargai, hati Nadia perlahan-lahan retak. Meskipun dia telah berusaha keras untuk menghindari konflik, se
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be