Pagi di rumah Nadia dan Indra selalu terasa hampa meski sinar matahari menerangi setiap sudut ruangan. Hari ini tidak ada pengecualian. Nadia sedang menyiapkan sarapan, tetapi pikirannya melayang entah kemana. Pikirannya kembali ke kejadian semalam ketika Indra meledak di depan Reza. Ia berusaha memulai hari dengan lebih tenang, namun bayang-bayang amarah Indra terus menghantuinya.
Indra keluar dari kamar, masih dengan ekspresi dingin di wajahnya. Ia duduk di meja makan, mengambil secangkir kopi yang sudah disiapkan Nadia. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia mulai menyeruput kopi itu. Nadia, yang sedang menggoreng telur, mencuri pandang ke arahnya, berharap bisa membuka percakapan yang lebih lembut pagi ini.
"Mas, ada rencana apa hari ini?" tanya Nadia hati-hati, mencoba mencairkan suasana.
Indra tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat bahu, pandangannya tidak beralih dari layar ponsel di tangannya. "Kerja seperti biasa. Banyak urusan di kantor," jawabny
Pagi berikutnya di rumah mereka tidak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Suasana dingin dan tegang terus menghantui setiap sudut rumah. Nadia menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali melihat ke arah Reza, yang sedang bermain sendirian di ruang tamu. Anak itu terlihat ceria seperti biasa, tidak menyadari ketegangan yang membara di antara kedua orang tuanya.Indra keluar dari kamar, mengenakan pakaian kerja. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia langsung duduk di meja makan, mengambil secangkir kopi yang disediakan Nadia. Wajahnya masih dingin, tidak ada ekspresi yang bisa Nadia baca. Suasana di meja makan begitu hening, hanya terdengar dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring.Nadia mencoba untuk mengalihkan perasaan resahnya. Ia ingin menjaga keluarganya, terutama demi Reza. Dia selalu berharap bahwa kehadiran Reza akan melunakkan hati Indra. Namun, semakin hari, harapan itu terasa semakin jauh dari kenyataan. Indra tetap bersikap acuh dan sering kali
Hari-hari terus bergulir dengan keheningan yang semakin menyesakkan. Nadia tetap pada pendiriannya, berusaha mempertahankan rumah tangga yang kini terasa seperti lautan badai. Ia selalu membayangkan, dengan sedikit usaha, dengan kesabaran yang tak bertepi, suatu saat Indra akan berubah. Bahwa Indra akan kembali menjadi sosok suami yang penuh perhatian seperti yang pernah ia harapkan, terutama saat Reza lahir.Setiap pagi, Nadia bangun lebih awal dari biasanya. Ia memastikan semua kebutuhan Indra siap sebelum suaminya berangkat kerja. Sarapan selalu tersedia di meja makan, pakaian kerja rapi, dan sepatu yang sudah disemir mengkilap. Semua dilakukannya dengan harapan kecil bahwa Indra akan menyadari usahanya, akan menyadari cinta yang masih ia miliki untuk keluarga ini.Namun, upayanya jarang mendapat respons. Indra sering kali keluar dari rumah tanpa mengucapkan terima kasih atau sekadar berpamitan dengan hangat. Paling-paling, ia hanya memberi anggukan kecil yang dingi
Pagi itu, suasana rumah masih sama seperti biasanya. Indra sudah berangkat lebih pagi dari biasanya, tak ada sapaan atau ciuman perpisahan untuk Nadia. Dia hanya mendengar suara pintu depan terbuka dan tertutup dengan keras, meninggalkan kesunyian yang semakin mencekam di dalam rumah mereka.Nadia duduk di ruang tamu sambil menatap jam dinding yang bergerak lambat. Reza sedang bermain di karpet, tak jauh dari tempatnya duduk. Suara tawa kecil anaknya yang polos menjadi satu-satunya penghiburan yang ia miliki. Sesekali, Nadia menoleh ke arah Reza dan tersenyum. Anak itu benar-benar menjadi alasan satu-satunya untuk bertahan dalam semua ini.Namun, Nadia tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ada bagian dari dirinya yang semakin rapuh. Setiap kali Indra pulang tanpa bicara banyak, setiap kali amarahnya meluap tanpa alasan yang jelas, dan setiap kali ia merasa tak dihargai, hati Nadia perlahan-lahan retak. Meskipun dia telah berusaha keras untuk menghindari konflik, se
Pagi yang baru dimulai seperti biasanya, dengan rutinitas yang sudah tidak asing lagi. Nadia menyiapkan sarapan untuk keluarganya, sementara Indra bersiap-siap di kamar, mengganti pakaian kerjanya. Suasana di antara mereka masih sama—dingin, nyaris tak ada percakapan yang berarti. Namun, pagi ini, Nadia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan cemas yang menggelayuti hatinya sejak semalam, seolah-olah sesuatu yang buruk akan terjadi, meski ia tak tahu apa.Reza, dengan senyumnya yang ceria, duduk di meja makan sambil memainkan sendoknya, memanggil-manggil ayahnya, berharap mendapat perhatian yang lebih hangat. Tapi Indra tetap seperti biasanya, fokus pada ponselnya bahkan saat ia duduk di meja makan."Ayah, lihat! Aku gambar Ayah lagi kerja di kantor," seru Reza sambil menunjukkan kertas dengan gambar coretan sederhana yang penuh warna. Gambar itu memperlihatkan sosok seorang pria yang duduk di meja dengan komputer di depannya—gambaran polos dari seora
Malam-malam berikutnya di rumah Nadia dan Indra terasa semakin dingin. Meskipun mereka hidup di bawah atap yang sama, kebersamaan itu terasa jauh dari apa yang disebut sebagai sebuah keluarga. Kesunyian menjadi teman akrab Nadia setiap kali Indra pulang larut malam, tanpa banyak bicara. Dalam pikirannya, Nadia terus bergumul dengan perasaan yang semakin terfragmentasi—harapan dan kekecewaan yang saling bertubrukan, seolah menghantam hatinya bertubi-tubi.Reza, yang selalu berusaha mencari perhatian ayahnya, kini mulai menunjukkan perubahan. Ia lebih banyak diam ketika Indra ada di rumah. Nadia melihat dengan jelas bagaimana anaknya mulai menutup diri dari sosok yang seharusnya menjadi panutannya. Namun, Reza masih tetap setia menunggu, berharap ayahnya mau memberikan perhatian lebih. Di momen-momen tertentu, Nadia mendapati Reza duduk di kamar, memegang mainan sambil menatap kosong ke arah pintu, seakan menanti ayahnya masuk dan bermain bersa
Pagi datang dengan keheningan yang sama. Nadia duduk di meja makan sambil menyiapkan sarapan, meski ia tahu Indra mungkin tak akan menyentuhnya. Kebiasaan Indra yang semakin sering terburu-buru pergi ke kantor dan pulang larut malam membuat sarapan yang ia siapkan terasa sia-sia. Namun, Nadia terus melakukannya—barangkali sebuah usaha kecil untuk mempertahankan apa yang tersisa dari hubungan mereka.Reza, yang sudah terbangun, duduk di kursinya sambil memainkan sendoknya. Wajah kecilnya tampak murung. "Ayah nggak sarapan lagi, ya, Bunda?" tanyanya polos.Nadia tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaannya. "Mungkin Ayah sibuk, Sayang. Nanti kalau Ayah pulang, kita bisa makan malam bareng."Reza hanya mengangguk kecil, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan kekecewaan. Nadia tahu, anaknya sudah mulai merasa kehilangan sosok ayahnya, meskipun Indra masih ada di rumah secara fisik. Kehadiran yang kosong—itulah yang dirasakan Reza, dan
Nadia melangkah pelan keluar dari kamar menuju ruang tamu, hatinya berdebar kencang. Dalam pikirannya berkecamuk berbagai perasaan—rasa takut, cemas, dan sedikit harapan. Ia berharap kali ini Indra akan bersikap berbeda, mungkin ingin bicara atau bahkan memeluknya seperti dulu. Namun, ketika sampai di ambang pintu, apa yang dilihatnya membuat harapannya pupus.Indra duduk di sofa dengan wajah kusut, tangannya memegang ponsel, dan tatapannya dingin. Nadia merasa udara malam itu semakin dingin, seolah ruangan itu menolak kehadirannya. Ia ragu sejenak, tapi memutuskan untuk mendekat."Mas... baru pulang?" Nadia mencoba menyapa dengan lembut, berharap Indra akan menanggapinya.Indra menghela napas panjang, lalu meletakkan ponselnya di meja. "Iya. Capek. Kerjaan banyak," jawabnya singkat, tanpa menoleh.Nadia menggigit bibirnya. Ini sudah biasa terjadi. Indra sering pulang larut malam dengan sikap seperti ini, seolah-olah rumah bukanlah tempat yang nyama
Malam semakin larut, namun pikiran Nadia tak kunjung tenang. Pesan di ponselnya masih terpampang di layar, seolah menuntut perhatian lebih dari dirinya. Pesan itu dari Dina, seorang wanita yang entah mengapa sering kali membuat Nadia merasa cemas. Isinya sederhana namun penuh misteri."Kamu baik-baik saja, Nad?"Nadia menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dina tidak pernah menghubunginya secara langsung sebelumnya, apalagi dengan nada seperti ini. Ia mengerutkan kening, mencoba mencerna maksud pesan tersebut. Satu pertanyaan terlintas di benaknya: Kenapa Dina tiba-tiba peduli padanya?Meski hati kecilnya mengatakan untuk tidak membalas, jari-jarinya bergerak di luar kendali, mengetik balasan singkat."Baik. Ada apa?"Ia menunggu dengan perasaan campur aduk, namun tak ada balasan. Waktu berlalu dan kesunyian rumah makin terasa mencekam. Pikiran Nadia berkecamuk, menduga-duga apa yang mungkin seda