Nadia melangkah pelan keluar dari kamar menuju ruang tamu, hatinya berdebar kencang. Dalam pikirannya berkecamuk berbagai perasaan—rasa takut, cemas, dan sedikit harapan. Ia berharap kali ini Indra akan bersikap berbeda, mungkin ingin bicara atau bahkan memeluknya seperti dulu. Namun, ketika sampai di ambang pintu, apa yang dilihatnya membuat harapannya pupus.
Indra duduk di sofa dengan wajah kusut, tangannya memegang ponsel, dan tatapannya dingin. Nadia merasa udara malam itu semakin dingin, seolah ruangan itu menolak kehadirannya. Ia ragu sejenak, tapi memutuskan untuk mendekat.
"Mas... baru pulang?" Nadia mencoba menyapa dengan lembut, berharap Indra akan menanggapinya.
Indra menghela napas panjang, lalu meletakkan ponselnya di meja. "Iya. Capek. Kerjaan banyak," jawabnya singkat, tanpa menoleh.
Nadia menggigit bibirnya. Ini sudah biasa terjadi. Indra sering pulang larut malam dengan sikap seperti ini, seolah-olah rumah bukanlah tempat yang nyama
Malam semakin larut, namun pikiran Nadia tak kunjung tenang. Pesan di ponselnya masih terpampang di layar, seolah menuntut perhatian lebih dari dirinya. Pesan itu dari Dina, seorang wanita yang entah mengapa sering kali membuat Nadia merasa cemas. Isinya sederhana namun penuh misteri."Kamu baik-baik saja, Nad?"Nadia menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dina tidak pernah menghubunginya secara langsung sebelumnya, apalagi dengan nada seperti ini. Ia mengerutkan kening, mencoba mencerna maksud pesan tersebut. Satu pertanyaan terlintas di benaknya: Kenapa Dina tiba-tiba peduli padanya?Meski hati kecilnya mengatakan untuk tidak membalas, jari-jarinya bergerak di luar kendali, mengetik balasan singkat."Baik. Ada apa?"Ia menunggu dengan perasaan campur aduk, namun tak ada balasan. Waktu berlalu dan kesunyian rumah makin terasa mencekam. Pikiran Nadia berkecamuk, menduga-duga apa yang mungkin seda
Matahari perlahan naik, sinarnya menyinari jendela kamar Nadia yang terbuka. Suara burung di luar terdengar samar, menandakan pagi yang baru. Namun bagi Nadia, harapan yang sama tidak ada dalam dirinya. Ia bangun lebih awal dari biasanya, merasa ada banyak hal yang menghantui pikirannya. Terlebih, pesan dari Dina yang datang malam itu masih belum ia balas.Nadia menarik napas dalam, merapikan selimut Reza yang masih terlelap di sampingnya. Seiring waktu berjalan, Nadia semakin merasa sendiri meskipun Indra ada di dekatnya. Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya, penuh dengan kekhawatiran dan ketidakpastian. Hubungannya dengan Indra terasa kian berjarak, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang terus tumbuh di antara mereka.Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Nadia turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia selalu berharap ada satu momen kecil yang bisa memperbaiki hubungan mereka. Sering kali ia merasa mungkin kehadiran Reza dapat menjadi titik perubahan bagi ru
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Nadia duduk di sudut kamar, memandangi Reza yang tertidur pulas di atas ranjang kecilnya. Di luar kamar, suara televisi dari ruang tengah terdengar samar, tapi Nadia tahu Indra hanya duduk di sana sendirian, tenggelam dalam pikirannya. Sejak kejadian tadi sore, ada jarak yang semakin terasa nyata antara mereka, dan setiap hari jarak itu terasa semakin sulit untuk dijembatani.Nadia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. Ia teringat pesan dari Dina yang tadi sore belum sempat ia baca. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan itu, seolah takut apa yang akan ia temukan di dalamnya."Nad, aku sebenarnya sudah lama ingin bilang, tapi aku takut kamu salah paham. Aku tahu Indra kesulitan di rumah, dan aku nggak ingin kamu merasa terpojok. Kalau kamu butuh bantuan atau cuma mau curhat, aku di sini, kok."Nadia menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai bercampur. Pesan itu terdengar seperti niat baik
Pintu depan terbuka perlahan, menandakan kedatangan Indra. Nadia, yang duduk di meja makan dengan secangkir teh hangat di depannya, langsung menegakkan punggungnya. Ia belum menyentuh makan malam yang disiapkannya tadi, berharap Indra akan pulang tepat waktu dan mereka bisa duduk bersama seperti keluarga normal.Indra masuk dengan langkah berat. Wajahnya tampak lelah, seperti beban dunia ada di pundaknya. Mata mereka bertemu sejenak, tetapi Indra hanya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa, lalu meletakkan tas kerjanya di kursi terdekat.Nadia mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara, mencoba mencairkan suasana yang tegang. "Mas, kamu sudah makan? Aku masih simpan makanan di meja kalau kamu mau."Indra hanya menggeleng, berjalan menuju ruang tengah tanpa menjawab. Nadia mengikuti dengan tatapan cemas. Suaminya duduk di sofa, membuka kancing kerah kemejanya, dan membaringkan kepala di sandaran, memejamkan mata."Capek banget, ya?" Nadia mencoba memul
Pertanyaan Reza menggantung di udara, menyelinap di antara detak jantung yang tiba-tiba terasa lambat bagi Nadia. Dia menahan napas, tak berani bergerak sedikit pun. Pemandangan di hadapannya, yang tadinya tampak seperti momen hangat antara ayah dan anak, berubah menjadi panggung drama yang mendebarkan.Indra terdiam sejenak, matanya memandangi Reza dengan sedikit kebingungan. “Apa maksudmu, Reza?” tanyanya, suaranya terdengar lebih tenang dari yang Nadia perkirakan.Reza, dengan polosnya, menggerakkan mainan mobilnya di lantai dan mengangkat wajah mungilnya. “Ayah sering marah sama Ibu. Reza dengar tadi malam, Ayah bilang Ibu bikin Ayah capek.”Nadia merasakan hatinya mencelos. Ia ingat kejadian malam itu. Memang benar, Indra sempat melontarkan kata-kata itu dengan suara keras ketika mereka berselisih soal hal-hal kecil. Tapi, Nadia tidak pernah menyangka bahwa Reza mendengar dan mencerna semuanya. Anak ini masih terlalu kecil untuk mema
Suara dering telepon yang tiba-tiba memecah keheningan rumah membuat Nadia terlonjak. Reza yang tengah tertidur di pangkuannya sedikit bergerak, namun ia dengan lembut menepuk-nepuk punggung anaknya hingga kembali tenang. Sementara itu, Indra yang duduk tak jauh darinya sudah lebih dulu bangkit, melangkah ke arah meja ruang tamu di mana telepon rumah berada.Nadia memperhatikan suaminya dengan hati-hati. Raut wajah Indra tampak tegang ketika ia mengangkat gagang telepon, dan seketika suasana hati Nadia berubah gelisah. Dalam beberapa detik, nadanya yang tegas terdengar."Indra Pratama di sini," kata Indra dengan suara berat, tanpa senyum sedikit pun.Nadia hanya bisa menduga-duga apa yang terjadi di seberang sana. Mungkin telepon itu dari seseorang di kantor Indra, atau mungkin... Dina? Pikiran itu membuat hatinya sedikit bergetar. Entah mengapa, perasaan khawatir itu sulit untuk dihindari belakangan ini. Indra seringkali pulang terlambat tanpa memberi penjelasa
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Nadia terbangun lebih awal dari biasanya. Dia menyelesaikan pekerjaan rumahnya dalam diam, sementara Indra masih tidur. Semenjak malam sebelumnya, dia terus memikirkan percakapan singkat mereka yang belum selesai. Ada banyak hal yang belum tersampaikan, tetapi seperti biasa, mereka selalu dihadapkan pada pengalihan—entah Reza, pekerjaan, atau masalah lain yang selalu menggeser fokus mereka dari satu sama lain.Nadia menyiapkan sarapan dengan hati yang penuh resah. Pikirannya terus berputar-putar, mencoba memahami bagaimana hubungan mereka sampai di titik ini. Setiap kali ia melihat Indra, seolah ada tembok yang tak terlihat di antara mereka, membatasi setiap percakapan dan setiap usaha untuk saling memahami.Saat Indra akhirnya keluar dari kamar dengan wajah kusut, Nadia mencoba menyapanya dengan senyum yang dipaksakan. “Mas, aku udah siapin sarapan. Nasi goreng kesukaanmu.”Indra hanya mengangguk tanpa s
Pagi itu, seperti biasa, Nadia bangun lebih awal dari Indra. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun dia sudah mulai beres-beres dan menyiapkan sarapan. Hari-hari mereka semakin terasa seperti rutinitas yang membosankan, tanpa percakapan yang bermakna, hanya menjalani hari demi hari dengan jeda panjang di antara mereka.Nadia merapikan meja makan dengan cermat, berharap mungkin hari ini akan ada perubahan. Dia tidak tahu harus memulai dari mana, tapi setidaknya dia berusaha, demi Reza, demi rumah tangga mereka. Meskipun hati kecilnya terus-menerus dihantui kekhawatiran, Nadia tetap teguh berpegang pada tekadnya. Dia ingin mempertahankan keluarganya. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk Reza yang masih sangat membutuhkan sosok ayah yang stabil di hidupnya.Ketika Indra keluar dari kamar dengan wajah lelah, Nadia mencoba menyapanya dengan nada yang lembut.“Mas, sarapannya sudah siap,” ujarnya pelan sambil tersenyum tipis.Indra hanya mengang