Pagi yang baru dimulai seperti biasanya, dengan rutinitas yang sudah tidak asing lagi. Nadia menyiapkan sarapan untuk keluarganya, sementara Indra bersiap-siap di kamar, mengganti pakaian kerjanya. Suasana di antara mereka masih sama—dingin, nyaris tak ada percakapan yang berarti. Namun, pagi ini, Nadia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan cemas yang menggelayuti hatinya sejak semalam, seolah-olah sesuatu yang buruk akan terjadi, meski ia tak tahu apa.
Reza, dengan senyumnya yang ceria, duduk di meja makan sambil memainkan sendoknya, memanggil-manggil ayahnya, berharap mendapat perhatian yang lebih hangat. Tapi Indra tetap seperti biasanya, fokus pada ponselnya bahkan saat ia duduk di meja makan.
"Ayah, lihat! Aku gambar Ayah lagi kerja di kantor," seru Reza sambil menunjukkan kertas dengan gambar coretan sederhana yang penuh warna. Gambar itu memperlihatkan sosok seorang pria yang duduk di meja dengan komputer di depannya—gambaran polos dari seora
Malam-malam berikutnya di rumah Nadia dan Indra terasa semakin dingin. Meskipun mereka hidup di bawah atap yang sama, kebersamaan itu terasa jauh dari apa yang disebut sebagai sebuah keluarga. Kesunyian menjadi teman akrab Nadia setiap kali Indra pulang larut malam, tanpa banyak bicara. Dalam pikirannya, Nadia terus bergumul dengan perasaan yang semakin terfragmentasi—harapan dan kekecewaan yang saling bertubrukan, seolah menghantam hatinya bertubi-tubi.Reza, yang selalu berusaha mencari perhatian ayahnya, kini mulai menunjukkan perubahan. Ia lebih banyak diam ketika Indra ada di rumah. Nadia melihat dengan jelas bagaimana anaknya mulai menutup diri dari sosok yang seharusnya menjadi panutannya. Namun, Reza masih tetap setia menunggu, berharap ayahnya mau memberikan perhatian lebih. Di momen-momen tertentu, Nadia mendapati Reza duduk di kamar, memegang mainan sambil menatap kosong ke arah pintu, seakan menanti ayahnya masuk dan bermain bersa
Pagi datang dengan keheningan yang sama. Nadia duduk di meja makan sambil menyiapkan sarapan, meski ia tahu Indra mungkin tak akan menyentuhnya. Kebiasaan Indra yang semakin sering terburu-buru pergi ke kantor dan pulang larut malam membuat sarapan yang ia siapkan terasa sia-sia. Namun, Nadia terus melakukannya—barangkali sebuah usaha kecil untuk mempertahankan apa yang tersisa dari hubungan mereka.Reza, yang sudah terbangun, duduk di kursinya sambil memainkan sendoknya. Wajah kecilnya tampak murung. "Ayah nggak sarapan lagi, ya, Bunda?" tanyanya polos.Nadia tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaannya. "Mungkin Ayah sibuk, Sayang. Nanti kalau Ayah pulang, kita bisa makan malam bareng."Reza hanya mengangguk kecil, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan kekecewaan. Nadia tahu, anaknya sudah mulai merasa kehilangan sosok ayahnya, meskipun Indra masih ada di rumah secara fisik. Kehadiran yang kosong—itulah yang dirasakan Reza, dan
Nadia melangkah pelan keluar dari kamar menuju ruang tamu, hatinya berdebar kencang. Dalam pikirannya berkecamuk berbagai perasaan—rasa takut, cemas, dan sedikit harapan. Ia berharap kali ini Indra akan bersikap berbeda, mungkin ingin bicara atau bahkan memeluknya seperti dulu. Namun, ketika sampai di ambang pintu, apa yang dilihatnya membuat harapannya pupus.Indra duduk di sofa dengan wajah kusut, tangannya memegang ponsel, dan tatapannya dingin. Nadia merasa udara malam itu semakin dingin, seolah ruangan itu menolak kehadirannya. Ia ragu sejenak, tapi memutuskan untuk mendekat."Mas... baru pulang?" Nadia mencoba menyapa dengan lembut, berharap Indra akan menanggapinya.Indra menghela napas panjang, lalu meletakkan ponselnya di meja. "Iya. Capek. Kerjaan banyak," jawabnya singkat, tanpa menoleh.Nadia menggigit bibirnya. Ini sudah biasa terjadi. Indra sering pulang larut malam dengan sikap seperti ini, seolah-olah rumah bukanlah tempat yang nyama
Malam semakin larut, namun pikiran Nadia tak kunjung tenang. Pesan di ponselnya masih terpampang di layar, seolah menuntut perhatian lebih dari dirinya. Pesan itu dari Dina, seorang wanita yang entah mengapa sering kali membuat Nadia merasa cemas. Isinya sederhana namun penuh misteri."Kamu baik-baik saja, Nad?"Nadia menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dina tidak pernah menghubunginya secara langsung sebelumnya, apalagi dengan nada seperti ini. Ia mengerutkan kening, mencoba mencerna maksud pesan tersebut. Satu pertanyaan terlintas di benaknya: Kenapa Dina tiba-tiba peduli padanya?Meski hati kecilnya mengatakan untuk tidak membalas, jari-jarinya bergerak di luar kendali, mengetik balasan singkat."Baik. Ada apa?"Ia menunggu dengan perasaan campur aduk, namun tak ada balasan. Waktu berlalu dan kesunyian rumah makin terasa mencekam. Pikiran Nadia berkecamuk, menduga-duga apa yang mungkin seda
Matahari perlahan naik, sinarnya menyinari jendela kamar Nadia yang terbuka. Suara burung di luar terdengar samar, menandakan pagi yang baru. Namun bagi Nadia, harapan yang sama tidak ada dalam dirinya. Ia bangun lebih awal dari biasanya, merasa ada banyak hal yang menghantui pikirannya. Terlebih, pesan dari Dina yang datang malam itu masih belum ia balas.Nadia menarik napas dalam, merapikan selimut Reza yang masih terlelap di sampingnya. Seiring waktu berjalan, Nadia semakin merasa sendiri meskipun Indra ada di dekatnya. Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya, penuh dengan kekhawatiran dan ketidakpastian. Hubungannya dengan Indra terasa kian berjarak, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang terus tumbuh di antara mereka.Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Nadia turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia selalu berharap ada satu momen kecil yang bisa memperbaiki hubungan mereka. Sering kali ia merasa mungkin kehadiran Reza dapat menjadi titik perubahan bagi ru
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Nadia duduk di sudut kamar, memandangi Reza yang tertidur pulas di atas ranjang kecilnya. Di luar kamar, suara televisi dari ruang tengah terdengar samar, tapi Nadia tahu Indra hanya duduk di sana sendirian, tenggelam dalam pikirannya. Sejak kejadian tadi sore, ada jarak yang semakin terasa nyata antara mereka, dan setiap hari jarak itu terasa semakin sulit untuk dijembatani.Nadia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. Ia teringat pesan dari Dina yang tadi sore belum sempat ia baca. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan itu, seolah takut apa yang akan ia temukan di dalamnya."Nad, aku sebenarnya sudah lama ingin bilang, tapi aku takut kamu salah paham. Aku tahu Indra kesulitan di rumah, dan aku nggak ingin kamu merasa terpojok. Kalau kamu butuh bantuan atau cuma mau curhat, aku di sini, kok."Nadia menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai bercampur. Pesan itu terdengar seperti niat baik
Pintu depan terbuka perlahan, menandakan kedatangan Indra. Nadia, yang duduk di meja makan dengan secangkir teh hangat di depannya, langsung menegakkan punggungnya. Ia belum menyentuh makan malam yang disiapkannya tadi, berharap Indra akan pulang tepat waktu dan mereka bisa duduk bersama seperti keluarga normal.Indra masuk dengan langkah berat. Wajahnya tampak lelah, seperti beban dunia ada di pundaknya. Mata mereka bertemu sejenak, tetapi Indra hanya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa, lalu meletakkan tas kerjanya di kursi terdekat.Nadia mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara, mencoba mencairkan suasana yang tegang. "Mas, kamu sudah makan? Aku masih simpan makanan di meja kalau kamu mau."Indra hanya menggeleng, berjalan menuju ruang tengah tanpa menjawab. Nadia mengikuti dengan tatapan cemas. Suaminya duduk di sofa, membuka kancing kerah kemejanya, dan membaringkan kepala di sandaran, memejamkan mata."Capek banget, ya?" Nadia mencoba memul
Pertanyaan Reza menggantung di udara, menyelinap di antara detak jantung yang tiba-tiba terasa lambat bagi Nadia. Dia menahan napas, tak berani bergerak sedikit pun. Pemandangan di hadapannya, yang tadinya tampak seperti momen hangat antara ayah dan anak, berubah menjadi panggung drama yang mendebarkan.Indra terdiam sejenak, matanya memandangi Reza dengan sedikit kebingungan. “Apa maksudmu, Reza?” tanyanya, suaranya terdengar lebih tenang dari yang Nadia perkirakan.Reza, dengan polosnya, menggerakkan mainan mobilnya di lantai dan mengangkat wajah mungilnya. “Ayah sering marah sama Ibu. Reza dengar tadi malam, Ayah bilang Ibu bikin Ayah capek.”Nadia merasakan hatinya mencelos. Ia ingat kejadian malam itu. Memang benar, Indra sempat melontarkan kata-kata itu dengan suara keras ketika mereka berselisih soal hal-hal kecil. Tapi, Nadia tidak pernah menyangka bahwa Reza mendengar dan mencerna semuanya. Anak ini masih terlalu kecil untuk mema
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be