"Hati-hati di jalan, Sayang. Aku menantikanmu untuk kembali." ucap Elena yang baru saja merapikan kerah kemeja putih yang Jonathan kenakan.Tanpa mengucap sepatah kata dan mengucap salam perpisahan kepada istrinya, Jonathan masuk ke dalam mobil berwarna hitam metalic miliknya. Mengemudikan mobil tersebut untuk segera beranjak dari pekarangan rumah.Theresia tersenyum bahagia melihat Elena yang selalu memperlihatkan sosok istri siaga bagi putranya. Wanita paruh baya itu berharap Jonathan benar-benar sudah melupakan Amelie. "Mari kita masuk, Elena." ajak Theresia keada menantunya untuk segera masuk ke dalam rumah.Pagi itu suasana ruang bersantai cukup sepi. Hanya ada Elena dan Theresia di dalam ruangan itu. Masing-masing dari mereka kembali memusatkan prhatiannya pada katalog prodak aksesoris dengan brand mewah yang sangat terkenal. "Bu, lihat tas ini," Elena memprlihatkan buku katalog tersebut kepada Theresia. Jemarinya menunjuk sebuah tas Hermes Birkin berwarna cokelat seharga 300.
Pagi itu Katie sedang berjalan membawa baki, hendak menaiki tangga menuju kamar Jonathan. Panggilan Theresia yang menyeru namanya membuatnya menghentikan langkah. Gadis pelayan itu segera menoleh ke arah sumber suara, dan seorang wanita paruh baya berjalan menuju ke arahnya."Kau tidak lupa, bukan, dengan apa yang aku perintahkan?" tanya Theresia sembari mengecek isi baki yang Katie bawa. Roti panggang, daging domba, dan tak lupa jus buah bit sudah ada di dalam baki tersebut. "Sama sekali tidak, Nyonya." jawab Katie dengan sopan. Wanita itu mengangguk dan menampilkan bibir yang berbentuk garis lurus. "Bagus! Segera datangi menantuku. Aku pikir dia begitu kelelahan sampai tidak memiliki tenanga untuk sekedar turun mengambil sarapannya." pinta Theresia yang kembali menggoyang-goyangkan kipas lipat ke depan lehernya."Baik, Nyonya." Katie langsung berjalan ke atas memenuhi pinta sang majikan. Meski sebenarnya dia enggan, mengingat waktu lalu Elena menyuruhnya mengompres bagian tubuh
Malam itu, keluarga Hayes sedang mengadakan acara jamuan makan malam rutin yang selalu dilakukan satu kali dalam setahun. Reputasi seorang Edmund Hayes sebagai pemilik perusahaan raksasa di kota tersebut, menjadikan semua orang-orang penting di Auckland segan. Mereka selalu datang memenuhi undangan dari sang CEO dari H&E group tersebut.Sementara itu, suasana rumah yang ramai menjadi peluang bagi sang menantu wanita di rumah tersebut sebagai ajang balas dendam. Paksaan Theresia yang meminta Elena rutin mengkonsumsi jus buah bit yang sangat tidak wanita itu sukai, justru berujung petaka bagi nyonya besar itu. Malam itu, Elena berdandan sangat cantik, berbalut gaun warna hitam ketat yang sangat minim. Sementara rambut panjangnya dengan sengaja ia sanggul, untuk menegaskan bentuk wajah oval dan juga leher jenjangnya agar terlihat seksi.Wanita itu sedang memoleskan lipstik berwarna merah terang di bibirnya yang sedikit tebal. Dari meja riasnya, Jonathan sedang berdiri tepat di belakang
"Ibu, bertahanlah, Bu," rengek Elena sembari terus berpura-pura panik. Kemampuan aktingnya sangat sempurna, bahkan air mata bisa mengalir begitu deras di kedua pipinya. Entah berasal dari mana air mata itu.Theresia masih terbaring tak berdaya dalam pangkuan Jonathan dan Edmund. Tak banyak pergerakan yang wanita itu lakukan, hanya pegangan erat pada bagian dada dan kedua mata yang terus membola karena debaran jantung yang sangat kuat memompa darah.Kedua bola matanya berotasi, namun ruangan dalam kabin mobil tampak berputar-putar. Pusing yang Theresia alami begitu hebat, serasa bongkahan batu besar menindih kepalanya.Dalam ketidak berdayaan, Theresia menangis tanpa suara. Bongkahan kristal meleleh melalui pelupuk mata. Wanita itu sangat benci dengan dirinya yang tak berdaya. Kedua netra wanita itu menatap nanar kepada Jonathan dan Edmund seolah seminta tolong. Namun ucapannya tercekat di tenggorokan, tak satu pun kata lolos dari bibirnya yang terpoles lipstik berwarna merah terang.
Amelie menyambut pagi dengan senyuman. Tidak seperti hari-hari lalu, dimana wajahnya selalu murung jika matahari mulai terbit dari tempat persembunyiannya. Bibir mungilnya terus bersenandung mengiringi aktifitasnya untuk bersiap-siap untuk pergi ke tempat kerja. "Lekas pulang jika pekerjaanmu telah usai. Aku akan selalu merindukan cicitku yang tampan ini." ucap Marie sembari mengecup pipi cicitnya yang berada dalam gendongan Amelie. "Nenek tenang saja, aku akan segera pulang begitu kedai tutup." ucap Amelie sembari mengulas senyum. Pagi ini dia begitu gembira, karena bisa membawa Axel ke tempat kerja dan bertemu dengan bayinya setiap kali dia merasa rindu."Telepon rumah jika dia menangis, maka aku akan segera datang menyusul," ucap Louise dengan nada serius dengan satu tangannya mengepal di udara, seolah pria tua renta itu dapat berlari sekencang kuda. Marie menghela nafas dan memutar bola matanya, setelah mendengar ucapan sang suami yang menurutnya sangat berlebihan. Bagaimana m
Suara ketukan pintu mengundang perhatian Anne dan Amelie. Kedua wanita itu lantas menoleh ke arah sumber suara, lalu saling menatap dengan tatapan bertanya. Siapa yang berada di luar pintu? Pekerja Demiurge terbiasa masuk ruangan itu tanpa mengetuk pintu sebelumnya.Tanpa berpikir panjang, Anne mendekati pintu dengan pertanyaan yang terus bermunculan di kepala. Saat pintu terbuka, seketika gadis itu tersenyum dan mengangguk sekali, seperti disaat ia sedang melakukan pekerjaannya di lantai bawah. Seorang pria muda berdiri disana dan nampak kerepotan membawa sesuatu bersamanya."Biar saya bantu," ucap Anne ramah kepada pria muda yang merupakan pelanggan setia di kedai kepunyaan Benitto tersebut.Amelie menatap bingung dengan barang-barang yang Gideon bawa. Tampak banyak dan sangat merepotkan."Apa maksud semua itu?" tanya Amelie sembari menunjuk barang-barang yang Gideon bawa.Mengetahui Gideon menaruh kekaguman pada Amelie dan juga pria itu tidak berbahaya bagi sahabatnya, Anne memutu
Elena berjalan hilir mudik di dalam kamar. Tangan kanan wanita itu memijat pelipis, sementara tangan kirinya memegang pinggang. Wanita itu tengah dilanda gusar, mendengar kabar kondisi kesehatan Theresia yang semakin membaik, tepat di hari ke tujuh.Dering telepon di atas ranjang menarik perhatiannya. Wanita itu berjalan dan meraih benda pipih tersebut dengan rasa gusar yang kian bertambah, setelah membaca sebuah nama penelepon di layar handphone miliknya."Hallo?" sapanya kepada seseorang di seberang sambungan dengan suara lembut. "Elena? Kau dimana saja? Apakah kau tidak ingin menemani Ibu di sini?" tanya seorang wanita paruh baya di seberang sambungan. Kedua mata Elena terpejam sembari berdecih tanpa suara. Tangan kanan wanita itu memijat lebih kencang pada pelipisnya. Bahkan wanita penyebab kegusaran yang Elena alami bisa berbicara dengan benar, bahkan meneleponnya pagi ini."Elena?" panggil Theresia saat tak kunjung mendapat jawaban dari sambungan sebelah."I-iya, Bu?" jawab El
Jonathan memilih untuk kembali ke kantor dari pada berlama-lama menemani Theresia di rumah sakit. Untuk apa dia berada di sana, jika Theresia hanya melihat pada Elena. Seolah pria itu adalah mahluk tak kasat mata. Jonathan menatap ke arah luar jendela yang menyuguhkan pemandangan kota. Pria itu melewatkan jam makan siang. Nafsu makan Jonathan sirna dengan pertengkaran yang baru saja terjadi. Seketika bayangan wajah Amelie melintas, mengundang kerinduan Jonathan akan kebersamaan yang pernah ia lalui bersama gadis itu. Mata pria itu terpejam, bertanya-tanya dalam hati, bagaimana hidup yang Amelie lalui di luar sana? Apakah Amelie hidup bahagia tanpa dirinya? Atau justru menderita karena hidup terpisah dari orang tuanya? Sesaat pria itu teringat akan kehamilan Amelie. Pasti sangat sulit. Seorang gadis yang terbiasa hidup berdampingan dengan orang tuanya, secara tiba-tiba harus pergi dalam keadaan hamil. Jonathan sangat tahu, Amelie sama sekali tidak berpengalaman dalam hal mengandung
Jantung Amelie tidak berhenti berdetak saat pagi itu tiba. Dia bahkan nyaris tidak dapat tidur semalam, bayang saat-saat mendebarkan terus berkelibat di kepala. Dia akan menjadi pengantin hari itu."Astaga, Nona, tanganmu dingin sekali," ucap MUA yang baru saja menjabat tangan Amelie untuk mengucapkan selamat atas pernikahan yang akan berlangsung. Tidak ada yang dapat Amelie lakukan selain tersenyum hambar. Dia begitu gelisah, sebentar lagi wanita itu akan mengucap janji suci dengan Jonathan di depan para hadirin. "Ah, aku hanya gugup." jawab Amelie sembari meremas gaun putih yang dia pakai. "Hahaha, aku tau bagaimana rasanya. Aku juga mengalami hal yang sama denganmu saat detik-detik pernikahanku akan dimulai " kenang Linda sembari memasukan perlatan make up yang tidak lagi di gunakan ke dalam tas make up. "Percayalah, itu hanya di awal. Begitu ikrar janji suci selesai diucapkan, hatimu akan terasa sangat lega. Kau bahkan akan menangis bahagia setelahnya." Linda mengangguk penuh p
Malam semakin larut. Angin malam sangat dingin menggigit kulit, selimut tebal yang menutup tubuh tidak dapat mengalahkan dinginnya udara malam itu, sehingga membangunkan Irene untuk mengecek penghangat ruangan.Kedua mata Irene mengerjab beberapa kali saat mendapati ranjang di sebelahnya kosong tanpa keberadaan Robert, sehingga wanita berambut cokelat tersebut berjalan keluar untuk mencari tahu keberadaan sang suami. Saat pintu di buka Irene menyipitkan mata mendapati suaminya yang sedang duduk di undakan teras kamar pelayan dengan wajah menengadah ke langit, bersandarkan tiang penyangga yang terbuat dari batu alam dengan raut melankolis.Perlahan wanita itu berjalan mendekat."Robert?" panggilnya dengan nada lembut khas wanita tersebut yang seketika membuat pemilik nama menoleh. "Kenapa kau di luar? Udara sangat dingin, Sayang?" Irene menyentuh bahu suaminya dan mengambil posisi duduk di sebelah Robert, menahan dingin udara malam itu demi menemani pria yang sangat dia cintai."Irene,
Jonathan berjalan kembali ke ruangannya dengan senyum tak lepas dari paras rupawannya. Hal itu membuat beberapa pasang mata melihatnya dengan raut bertanya-tanya, namun segera mereka menata ekspresi seperti biasa saat bertabrak pandang dengan Jonathan. Saat pria itu masuk ke dalam ruangan kerjanya, seorang gadis sudah duduk menunggunya di sana. "Saya lihat Anda sedang berbahagia hari ini, Tuan," ucap Krista Valerie sembari mengulum bibir melihat pria itu masuk ke dalam ruangan. "Bukan hanya sedang, aku sangat-sangat bahagia hari ini." Jonathan duduk di kursi kebesarannya. Tanpa ingin mengetahui lebih lanjut tentang perasaan bahagia atasannya, gadis itu berdeham dan menanyakan mengapa dirinya di panggil untuk datang ke ruangan pria yang terus tersenyum seperti orang terserang gangguan jiwa itu. "Maaf, Tuan, ada keperluan apa Anda memanggil saya kesini?" Tidak langsung menanggapi pertanyaan sekretarisnya, pria itu mengambil beberapa map dari tumpukan dokumen dan menyerahkannya pad
Amelie merasa lemas setelah melihat tiga alat test kehamilan menunjukan hasil yang sama, dua garis merah yang berjajar. Entah apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah mengabari Jonathan tentang kehamilannya adalah pilihan yang tepat? Dia begitu khawatir kejadian yang sama akan terulang, Jonathan mengabarkan kepada keluarganya, dan Theresia akan memintanya menggugurkan janin tidak berdosa yang Jonathan tanam di rahimnya. Seketika air mata yang semula surut kembali berjatuhan di kedua pipinya. Dia tidak akan sanggup mengulangi kembali kisah yang sama, menanggung kehamilannya sendiri dan membesarkan bayi itu sendiri. Sungguh, itu semua itu adalah tanggung jawab yang berat. Lamunan Amelie dibuyarkan dengan suara ketukan pintu dari luar. Dengan cepat dia menyapu air mata sampai tidak tersisa. Meski wajah sembab tidak dapat disembunyikan sama sekali. "Amelie, buka pintunya," dengan raut cemas Marie mengetuk pintu dan memutar kenop berulang kali. Semenjak kepulangannya dari tempat ker
Amelie mengerjabkan kedua mata saat rasa kantuk masih bergelayut di kedua matanya. Dia harus bangun untuk bersiap bekerja dan mengantar Axel ke sekolah, namun tubuhnya seolah enggan untuk bangkit, serasa melekat di atas kasur yang saat ini dia tempati. Sesaat kedua matanya terpejam untuk mengingat-ingat apa saja yang sudah dia rasakan akhir-akhir ini. Amelie merasa kurang enak badan akhir-akhir ini. Sering kali nyeri kepala tiba-tiba menghampiri, dan buah dadanya terasa nyeri. Indra penciumannya menjadi sensitif. Kedua alis Amelie bertaut, baru kemudian wanita itu bangkit dari ranjang dengan sedikit tergesa dan menyambar ponsel di atas nakas, untuk membuka aplikasi periode menstruasi dan melihat kapan menstruasi terakhirnya. Entah mengapa saat hendak membuka aplikasi periode di ponselnya, tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Seolah-olah dia sudah yakin jika jawaban yang dia dapatkan adalah sesuatu yang akan mengecewakan dan mengguncang kewarasannya. Wanita yang masih berbalut piy
Matahari semakin beringsut menuju peraduan, menyisahkan warna orange di batas cakrawala. Kedai mulai sepi dari pengunjung, satu per satu di antara pengunjung Demiurge mulai meninggalkan kedai setelah selesai dengan aktivitas mengisi perut. Amelie mengelap meja dengan kain lap sebagai penutup aktifitas di kedai sore menjelang malam. Di saat yang bersamaan, Emery yang baru saja keluar dari ruangan Benitto menghampiri wanita itu dengan membawa kain lap, melakukan aktifitas yang sama di sebelah meja yang Amelie bersihkan. Emery berdeham untuk membuat Amelie menyadari keberadaannya. Seketika wanita anggun itu menoleh, dan menyapa Emery dengan wajah ramah."Hey," sapa Amelie yang kemudian kembali menatap meja yang sudah mengkilap, dapat dia lihat pantulan wajahnya di atas meja berlapis pernis itu. Emery tidak bisa menahan keingin tahuannya terhadap pertemuan sahabatnya dengan seorang pria yang Axel ceritakan padanya siang tadi."Maaf, Amelie, aku berharap kau tidak tersinggung jika aku b
Jantung Amelie berdebar kencang saat dia membuka selimut yang menutupi tubuh. Tidak sehelai pun pakaian yang menempel pada tubuhnya. Bergegas wanita itu membersihkan diri setelah pergulatan dengan Jonathan semalam.Di bawah pancuran shower yang menyirami sekujur tubuhnya dengan air, Amelie memejamkan kedua matanya. Dia mengingat kejadian tadi malam, dan merutukki dirinya yang bisa dengan mudah membiarkan Jonathan menikmati tubuhnya. 'Bodoh! Dasar Amelie bodoh! Bagaimana jika setelah ini dia pergi meninggalkanmu lagi? Mengapa semalam aku tidak memintanya memakai pelindung?' batin Amelie yang mulai di landa cemas. Kedua tangannya perlahan meremas rambutnya yang basah hingga rasa sakit akibat tarikan terasa.Kepala wanita itu menggeleng, berusaha menepis segala kemungkinan dan prasangka buruk terhadap Jonathan. Namun semakin berusaha menepis, semua prasangka buruk itu semakin brutal menyerang kepalanya. ....................."Amelie, pagi sekali kau bangun?" Jonathan mengerjabkan kedua
Hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan bagi Axel. Dia bisa merasakan berakhir pekan dengan kedua orang tuanya di tempat-tempat yang dia sukai, hal yang selalu menjadi impiannya semenjak dia sering mempertanyakan keberadaan ayahnya."Ayah, apakah Ayah tahu? Hari ini aku senang sekali bisa pergi bertamasya bersama kedua orang tuaku." gumam Axel saat perjalanan pulang. Sesaat setelah itu Axel menguap, dan perlahan kedua matanya terpejam.Jonathan mengelus kepala Axel yang duduk di pangkuan Amelie, sementara satu tangannya tetap memegang kemudi. "Ayah juga sangat bahagia, Sayang. Kita bisa berakhir pekan bertiga setelah menjalani hari-hari yang melelahkan." Amelie tersenyum. Dalam hati dia mengiyakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama."Dia sudah tertidur, Jo," bisik Amelie sembari mengelus kepala Axel. Rambut yang dia genggam sudah bertambah panjang, seingat Amelie baru dua bulan lalu dia mengantar Axel ke barber shop.Roda terus bergulir, saat Amelie melihat ke arah luar
Amelie terbangun dan terkejut saat mendapati posisi tubuhnya berubah. Lengan Amelie dan Jonathan saling memeluk. Wanita itu segera menghempaskan lengan kekar Jonathan yang memeluk tubuhnya. "Kenapa kau bisa semudah itu memelukku? Dasar pria mesum," Amelie menggerutu sembari berjalan ke toilet. Suara keran air dan suhu dingin air menyentuh kulit wajahnya yang seketika membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Wanita itu menatap pantulan bayangannya di cermin. Amelie menepuk-nepuk wajahnya, dan seketika mengaduh karena tepukan itu terasa perih."Aw!" rasa sakit yang dia rasakan menyadarkannya, malam yang dia lalui bersama Jonathan bukanlah mimpi, itu sebuah kenyataan. Bahkan tepukan pada pipinya menyisahkan bekas merah. Kedua mata Amelie terpejam dengan kedua tangan menopang tubuh di pinggiran washtafel. Sebuah pertanyaan yang menggelitik hatinya muncul. Apakah bertemu dengan Jonathan kembali adalah sebuah takdir? Amelie menghela nafas sembari berjalan kembali menuju kamar. Namun saa