Malam itu terasa sangat singkat bagi Amelie. Belum puas ibu muda itu melepas rindu dengan sang buah hati, namun fajar sudah tiba menggantikan malam. Entah apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya, sehingga dia merasa begitu sedih saat terbangun dari tidur. Sebuah kecupan ia daratkan di pipi bayi mungil yang masih terlelap di dalam box bayi. Amelie mengusap lembut pipi Axel dengan perasaan merana. Seakan-akan mereka akan berpisah dalam waktu yang lama. Karena memang begitulah realita yang dia rasakan. Meninggalkan Axel untuk bekerja dari pagi sampai malam, serasa berpisah dengan pria kecil itu selama satu minggu. Seorang ibu tidak akan mudah meninggalkan anaknya, walau pun dia menitipkan anaknya kepada orang yang sangat dia percaya sekali pun. Sekali pun orang tersebut adalah ayah dari bayi tersebut. Sama halnya dengan apa yang Amelie rasakan. Pikiran Amelie selalu dihantui bayang-bayang Axel yang sedang berada di rumah setiap kali dia berada di tempat kerja."Aku berangkat." ucap
"Hati-hati di jalan, Sayang. Aku menantikanmu untuk kembali." ucap Elena yang baru saja merapikan kerah kemeja putih yang Jonathan kenakan.Tanpa mengucap sepatah kata dan mengucap salam perpisahan kepada istrinya, Jonathan masuk ke dalam mobil berwarna hitam metalic miliknya. Mengemudikan mobil tersebut untuk segera beranjak dari pekarangan rumah.Theresia tersenyum bahagia melihat Elena yang selalu memperlihatkan sosok istri siaga bagi putranya. Wanita paruh baya itu berharap Jonathan benar-benar sudah melupakan Amelie. "Mari kita masuk, Elena." ajak Theresia keada menantunya untuk segera masuk ke dalam rumah.Pagi itu suasana ruang bersantai cukup sepi. Hanya ada Elena dan Theresia di dalam ruangan itu. Masing-masing dari mereka kembali memusatkan prhatiannya pada katalog prodak aksesoris dengan brand mewah yang sangat terkenal. "Bu, lihat tas ini," Elena memprlihatkan buku katalog tersebut kepada Theresia. Jemarinya menunjuk sebuah tas Hermes Birkin berwarna cokelat seharga 300.
Pagi itu Katie sedang berjalan membawa baki, hendak menaiki tangga menuju kamar Jonathan. Panggilan Theresia yang menyeru namanya membuatnya menghentikan langkah. Gadis pelayan itu segera menoleh ke arah sumber suara, dan seorang wanita paruh baya berjalan menuju ke arahnya."Kau tidak lupa, bukan, dengan apa yang aku perintahkan?" tanya Theresia sembari mengecek isi baki yang Katie bawa. Roti panggang, daging domba, dan tak lupa jus buah bit sudah ada di dalam baki tersebut. "Sama sekali tidak, Nyonya." jawab Katie dengan sopan. Wanita itu mengangguk dan menampilkan bibir yang berbentuk garis lurus. "Bagus! Segera datangi menantuku. Aku pikir dia begitu kelelahan sampai tidak memiliki tenanga untuk sekedar turun mengambil sarapannya." pinta Theresia yang kembali menggoyang-goyangkan kipas lipat ke depan lehernya."Baik, Nyonya." Katie langsung berjalan ke atas memenuhi pinta sang majikan. Meski sebenarnya dia enggan, mengingat waktu lalu Elena menyuruhnya mengompres bagian tubuh
Malam itu, keluarga Hayes sedang mengadakan acara jamuan makan malam rutin yang selalu dilakukan satu kali dalam setahun. Reputasi seorang Edmund Hayes sebagai pemilik perusahaan raksasa di kota tersebut, menjadikan semua orang-orang penting di Auckland segan. Mereka selalu datang memenuhi undangan dari sang CEO dari H&E group tersebut.Sementara itu, suasana rumah yang ramai menjadi peluang bagi sang menantu wanita di rumah tersebut sebagai ajang balas dendam. Paksaan Theresia yang meminta Elena rutin mengkonsumsi jus buah bit yang sangat tidak wanita itu sukai, justru berujung petaka bagi nyonya besar itu. Malam itu, Elena berdandan sangat cantik, berbalut gaun warna hitam ketat yang sangat minim. Sementara rambut panjangnya dengan sengaja ia sanggul, untuk menegaskan bentuk wajah oval dan juga leher jenjangnya agar terlihat seksi.Wanita itu sedang memoleskan lipstik berwarna merah terang di bibirnya yang sedikit tebal. Dari meja riasnya, Jonathan sedang berdiri tepat di belakang
"Ibu, bertahanlah, Bu," rengek Elena sembari terus berpura-pura panik. Kemampuan aktingnya sangat sempurna, bahkan air mata bisa mengalir begitu deras di kedua pipinya. Entah berasal dari mana air mata itu.Theresia masih terbaring tak berdaya dalam pangkuan Jonathan dan Edmund. Tak banyak pergerakan yang wanita itu lakukan, hanya pegangan erat pada bagian dada dan kedua mata yang terus membola karena debaran jantung yang sangat kuat memompa darah.Kedua bola matanya berotasi, namun ruangan dalam kabin mobil tampak berputar-putar. Pusing yang Theresia alami begitu hebat, serasa bongkahan batu besar menindih kepalanya.Dalam ketidak berdayaan, Theresia menangis tanpa suara. Bongkahan kristal meleleh melalui pelupuk mata. Wanita itu sangat benci dengan dirinya yang tak berdaya. Kedua netra wanita itu menatap nanar kepada Jonathan dan Edmund seolah seminta tolong. Namun ucapannya tercekat di tenggorokan, tak satu pun kata lolos dari bibirnya yang terpoles lipstik berwarna merah terang.
Amelie menyambut pagi dengan senyuman. Tidak seperti hari-hari lalu, dimana wajahnya selalu murung jika matahari mulai terbit dari tempat persembunyiannya. Bibir mungilnya terus bersenandung mengiringi aktifitasnya untuk bersiap-siap untuk pergi ke tempat kerja. "Lekas pulang jika pekerjaanmu telah usai. Aku akan selalu merindukan cicitku yang tampan ini." ucap Marie sembari mengecup pipi cicitnya yang berada dalam gendongan Amelie. "Nenek tenang saja, aku akan segera pulang begitu kedai tutup." ucap Amelie sembari mengulas senyum. Pagi ini dia begitu gembira, karena bisa membawa Axel ke tempat kerja dan bertemu dengan bayinya setiap kali dia merasa rindu."Telepon rumah jika dia menangis, maka aku akan segera datang menyusul," ucap Louise dengan nada serius dengan satu tangannya mengepal di udara, seolah pria tua renta itu dapat berlari sekencang kuda. Marie menghela nafas dan memutar bola matanya, setelah mendengar ucapan sang suami yang menurutnya sangat berlebihan. Bagaimana m
Suara ketukan pintu mengundang perhatian Anne dan Amelie. Kedua wanita itu lantas menoleh ke arah sumber suara, lalu saling menatap dengan tatapan bertanya. Siapa yang berada di luar pintu? Pekerja Demiurge terbiasa masuk ruangan itu tanpa mengetuk pintu sebelumnya.Tanpa berpikir panjang, Anne mendekati pintu dengan pertanyaan yang terus bermunculan di kepala. Saat pintu terbuka, seketika gadis itu tersenyum dan mengangguk sekali, seperti disaat ia sedang melakukan pekerjaannya di lantai bawah. Seorang pria muda berdiri disana dan nampak kerepotan membawa sesuatu bersamanya."Biar saya bantu," ucap Anne ramah kepada pria muda yang merupakan pelanggan setia di kedai kepunyaan Benitto tersebut.Amelie menatap bingung dengan barang-barang yang Gideon bawa. Tampak banyak dan sangat merepotkan."Apa maksud semua itu?" tanya Amelie sembari menunjuk barang-barang yang Gideon bawa.Mengetahui Gideon menaruh kekaguman pada Amelie dan juga pria itu tidak berbahaya bagi sahabatnya, Anne memutu
Elena berjalan hilir mudik di dalam kamar. Tangan kanan wanita itu memijat pelipis, sementara tangan kirinya memegang pinggang. Wanita itu tengah dilanda gusar, mendengar kabar kondisi kesehatan Theresia yang semakin membaik, tepat di hari ke tujuh.Dering telepon di atas ranjang menarik perhatiannya. Wanita itu berjalan dan meraih benda pipih tersebut dengan rasa gusar yang kian bertambah, setelah membaca sebuah nama penelepon di layar handphone miliknya."Hallo?" sapanya kepada seseorang di seberang sambungan dengan suara lembut. "Elena? Kau dimana saja? Apakah kau tidak ingin menemani Ibu di sini?" tanya seorang wanita paruh baya di seberang sambungan. Kedua mata Elena terpejam sembari berdecih tanpa suara. Tangan kanan wanita itu memijat lebih kencang pada pelipisnya. Bahkan wanita penyebab kegusaran yang Elena alami bisa berbicara dengan benar, bahkan meneleponnya pagi ini."Elena?" panggil Theresia saat tak kunjung mendapat jawaban dari sambungan sebelah."I-iya, Bu?" jawab El