Malam itu, keluarga Hayes sedang mengadakan acara jamuan makan malam rutin yang selalu dilakukan satu kali dalam setahun. Reputasi seorang Edmund Hayes sebagai pemilik perusahaan raksasa di kota tersebut, menjadikan semua orang-orang penting di Auckland segan. Mereka selalu datang memenuhi undangan dari sang CEO dari H&E group tersebut.Sementara itu, suasana rumah yang ramai menjadi peluang bagi sang menantu wanita di rumah tersebut sebagai ajang balas dendam. Paksaan Theresia yang meminta Elena rutin mengkonsumsi jus buah bit yang sangat tidak wanita itu sukai, justru berujung petaka bagi nyonya besar itu. Malam itu, Elena berdandan sangat cantik, berbalut gaun warna hitam ketat yang sangat minim. Sementara rambut panjangnya dengan sengaja ia sanggul, untuk menegaskan bentuk wajah oval dan juga leher jenjangnya agar terlihat seksi.Wanita itu sedang memoleskan lipstik berwarna merah terang di bibirnya yang sedikit tebal. Dari meja riasnya, Jonathan sedang berdiri tepat di belakang
"Ibu, bertahanlah, Bu," rengek Elena sembari terus berpura-pura panik. Kemampuan aktingnya sangat sempurna, bahkan air mata bisa mengalir begitu deras di kedua pipinya. Entah berasal dari mana air mata itu.Theresia masih terbaring tak berdaya dalam pangkuan Jonathan dan Edmund. Tak banyak pergerakan yang wanita itu lakukan, hanya pegangan erat pada bagian dada dan kedua mata yang terus membola karena debaran jantung yang sangat kuat memompa darah.Kedua bola matanya berotasi, namun ruangan dalam kabin mobil tampak berputar-putar. Pusing yang Theresia alami begitu hebat, serasa bongkahan batu besar menindih kepalanya.Dalam ketidak berdayaan, Theresia menangis tanpa suara. Bongkahan kristal meleleh melalui pelupuk mata. Wanita itu sangat benci dengan dirinya yang tak berdaya. Kedua netra wanita itu menatap nanar kepada Jonathan dan Edmund seolah seminta tolong. Namun ucapannya tercekat di tenggorokan, tak satu pun kata lolos dari bibirnya yang terpoles lipstik berwarna merah terang.
Amelie menyambut pagi dengan senyuman. Tidak seperti hari-hari lalu, dimana wajahnya selalu murung jika matahari mulai terbit dari tempat persembunyiannya. Bibir mungilnya terus bersenandung mengiringi aktifitasnya untuk bersiap-siap untuk pergi ke tempat kerja. "Lekas pulang jika pekerjaanmu telah usai. Aku akan selalu merindukan cicitku yang tampan ini." ucap Marie sembari mengecup pipi cicitnya yang berada dalam gendongan Amelie. "Nenek tenang saja, aku akan segera pulang begitu kedai tutup." ucap Amelie sembari mengulas senyum. Pagi ini dia begitu gembira, karena bisa membawa Axel ke tempat kerja dan bertemu dengan bayinya setiap kali dia merasa rindu."Telepon rumah jika dia menangis, maka aku akan segera datang menyusul," ucap Louise dengan nada serius dengan satu tangannya mengepal di udara, seolah pria tua renta itu dapat berlari sekencang kuda. Marie menghela nafas dan memutar bola matanya, setelah mendengar ucapan sang suami yang menurutnya sangat berlebihan. Bagaimana m
Suara ketukan pintu mengundang perhatian Anne dan Amelie. Kedua wanita itu lantas menoleh ke arah sumber suara, lalu saling menatap dengan tatapan bertanya. Siapa yang berada di luar pintu? Pekerja Demiurge terbiasa masuk ruangan itu tanpa mengetuk pintu sebelumnya.Tanpa berpikir panjang, Anne mendekati pintu dengan pertanyaan yang terus bermunculan di kepala. Saat pintu terbuka, seketika gadis itu tersenyum dan mengangguk sekali, seperti disaat ia sedang melakukan pekerjaannya di lantai bawah. Seorang pria muda berdiri disana dan nampak kerepotan membawa sesuatu bersamanya."Biar saya bantu," ucap Anne ramah kepada pria muda yang merupakan pelanggan setia di kedai kepunyaan Benitto tersebut.Amelie menatap bingung dengan barang-barang yang Gideon bawa. Tampak banyak dan sangat merepotkan."Apa maksud semua itu?" tanya Amelie sembari menunjuk barang-barang yang Gideon bawa.Mengetahui Gideon menaruh kekaguman pada Amelie dan juga pria itu tidak berbahaya bagi sahabatnya, Anne memutu
Elena berjalan hilir mudik di dalam kamar. Tangan kanan wanita itu memijat pelipis, sementara tangan kirinya memegang pinggang. Wanita itu tengah dilanda gusar, mendengar kabar kondisi kesehatan Theresia yang semakin membaik, tepat di hari ke tujuh.Dering telepon di atas ranjang menarik perhatiannya. Wanita itu berjalan dan meraih benda pipih tersebut dengan rasa gusar yang kian bertambah, setelah membaca sebuah nama penelepon di layar handphone miliknya."Hallo?" sapanya kepada seseorang di seberang sambungan dengan suara lembut. "Elena? Kau dimana saja? Apakah kau tidak ingin menemani Ibu di sini?" tanya seorang wanita paruh baya di seberang sambungan. Kedua mata Elena terpejam sembari berdecih tanpa suara. Tangan kanan wanita itu memijat lebih kencang pada pelipisnya. Bahkan wanita penyebab kegusaran yang Elena alami bisa berbicara dengan benar, bahkan meneleponnya pagi ini."Elena?" panggil Theresia saat tak kunjung mendapat jawaban dari sambungan sebelah."I-iya, Bu?" jawab El
Jonathan memilih untuk kembali ke kantor dari pada berlama-lama menemani Theresia di rumah sakit. Untuk apa dia berada di sana, jika Theresia hanya melihat pada Elena. Seolah pria itu adalah mahluk tak kasat mata. Jonathan menatap ke arah luar jendela yang menyuguhkan pemandangan kota. Pria itu melewatkan jam makan siang. Nafsu makan Jonathan sirna dengan pertengkaran yang baru saja terjadi. Seketika bayangan wajah Amelie melintas, mengundang kerinduan Jonathan akan kebersamaan yang pernah ia lalui bersama gadis itu. Mata pria itu terpejam, bertanya-tanya dalam hati, bagaimana hidup yang Amelie lalui di luar sana? Apakah Amelie hidup bahagia tanpa dirinya? Atau justru menderita karena hidup terpisah dari orang tuanya? Sesaat pria itu teringat akan kehamilan Amelie. Pasti sangat sulit. Seorang gadis yang terbiasa hidup berdampingan dengan orang tuanya, secara tiba-tiba harus pergi dalam keadaan hamil. Jonathan sangat tahu, Amelie sama sekali tidak berpengalaman dalam hal mengandung
Kesehatan Theresia berangsur-angsur pulih. Wanita paruh baya itu sudah tak sabar, ingin segera pulang ke rumah yang penuh dengan perabot mewah seharga jutaan dollar. Terkurung di dalam ruang perawatan sangat menjemukan.Seorang pria berjas putih masuk ke dalam ruang perawatan, didampingi seorang perawat yang mendorong troli berisi alat medis."Selamat siang, Tuan dan Nyonya," sapa sang Dokter dengan ramah.Theresia dan Edmund tersenyum membalas keramahan dokter itu, lalu secara hampir bersamaan mereka menjawab;"Selamat siang, Dokter,"Dokter itu membuka lembaran sebuah buku yang ada ditangan, yang di duga berisi catatan kondisi kesehatan Theresia selama enam belas hari ada di ruamah sakit itu."Bagaimana, Nyonya, apakah masih ada keluhan?" tanya dokter tanpa mengalihkan pandang pada buku catatan yang dia pegang.Dengan penuh antusias Theresia menjawab;"Sama sekali tidak, Dokter. Aku sudah sangat sehat sekarang." Edmund tersenyum melihat rona kegembiraan yang menghiasi wajah sang istr
Mengurus bayi bukanlah hal yang mudah bagi orang tua tunggal yang merangkap peran sebagai tulang punggung sekaligus. Bayi memang lucu, namun ada kalanya segala hal yang menguras kesabaran dialami oleh seorang ibu. Anak yang sakit sehingga membutuhkan perhatian lebih, polah tingkahnya yang kadang dia sendiri tidak menyadari jika itu adalah hal yang membahayakan.Namun bagi Amelie, semua perjuangannya seolah terbayar lunas. Bayi kecilnya tumbuh dengan sehat dan cerdas. Bahkan bicaranya cukup jelas untuk anak seusia empat tahun. "Bu," seru anak kecil laki-laki saat mendapati entitas ibunya di depan gerbang sekolah taman kanak-kanak.Wajah anak itu terlihat paling bercahaya di antara segrombolan anak yang berlari menghambur ke arah orang tua masing-masing. "Axel," ucap Amelie riang dengan kedua tangan merengkuh putranya ke dalam pelukan. Keduanya saling memeluk dalam perasaan bahagia. "Ibu, ayo kita ke kedai. Aku lapar." ucap Axel dengan mulut mengerucut, sementara kedua tangannya me