Elena berjalan hilir mudik di dalam kamar. Tangan kanan wanita itu memijat pelipis, sementara tangan kirinya memegang pinggang. Wanita itu tengah dilanda gusar, mendengar kabar kondisi kesehatan Theresia yang semakin membaik, tepat di hari ke tujuh.Dering telepon di atas ranjang menarik perhatiannya. Wanita itu berjalan dan meraih benda pipih tersebut dengan rasa gusar yang kian bertambah, setelah membaca sebuah nama penelepon di layar handphone miliknya."Hallo?" sapanya kepada seseorang di seberang sambungan dengan suara lembut. "Elena? Kau dimana saja? Apakah kau tidak ingin menemani Ibu di sini?" tanya seorang wanita paruh baya di seberang sambungan. Kedua mata Elena terpejam sembari berdecih tanpa suara. Tangan kanan wanita itu memijat lebih kencang pada pelipisnya. Bahkan wanita penyebab kegusaran yang Elena alami bisa berbicara dengan benar, bahkan meneleponnya pagi ini."Elena?" panggil Theresia saat tak kunjung mendapat jawaban dari sambungan sebelah."I-iya, Bu?" jawab El
Jonathan memilih untuk kembali ke kantor dari pada berlama-lama menemani Theresia di rumah sakit. Untuk apa dia berada di sana, jika Theresia hanya melihat pada Elena. Seolah pria itu adalah mahluk tak kasat mata. Jonathan menatap ke arah luar jendela yang menyuguhkan pemandangan kota. Pria itu melewatkan jam makan siang. Nafsu makan Jonathan sirna dengan pertengkaran yang baru saja terjadi. Seketika bayangan wajah Amelie melintas, mengundang kerinduan Jonathan akan kebersamaan yang pernah ia lalui bersama gadis itu. Mata pria itu terpejam, bertanya-tanya dalam hati, bagaimana hidup yang Amelie lalui di luar sana? Apakah Amelie hidup bahagia tanpa dirinya? Atau justru menderita karena hidup terpisah dari orang tuanya? Sesaat pria itu teringat akan kehamilan Amelie. Pasti sangat sulit. Seorang gadis yang terbiasa hidup berdampingan dengan orang tuanya, secara tiba-tiba harus pergi dalam keadaan hamil. Jonathan sangat tahu, Amelie sama sekali tidak berpengalaman dalam hal mengandung
Kesehatan Theresia berangsur-angsur pulih. Wanita paruh baya itu sudah tak sabar, ingin segera pulang ke rumah yang penuh dengan perabot mewah seharga jutaan dollar. Terkurung di dalam ruang perawatan sangat menjemukan.Seorang pria berjas putih masuk ke dalam ruang perawatan, didampingi seorang perawat yang mendorong troli berisi alat medis."Selamat siang, Tuan dan Nyonya," sapa sang Dokter dengan ramah.Theresia dan Edmund tersenyum membalas keramahan dokter itu, lalu secara hampir bersamaan mereka menjawab;"Selamat siang, Dokter,"Dokter itu membuka lembaran sebuah buku yang ada ditangan, yang di duga berisi catatan kondisi kesehatan Theresia selama enam belas hari ada di ruamah sakit itu."Bagaimana, Nyonya, apakah masih ada keluhan?" tanya dokter tanpa mengalihkan pandang pada buku catatan yang dia pegang.Dengan penuh antusias Theresia menjawab;"Sama sekali tidak, Dokter. Aku sudah sangat sehat sekarang." Edmund tersenyum melihat rona kegembiraan yang menghiasi wajah sang istr
Mengurus bayi bukanlah hal yang mudah bagi orang tua tunggal yang merangkap peran sebagai tulang punggung sekaligus. Bayi memang lucu, namun ada kalanya segala hal yang menguras kesabaran dialami oleh seorang ibu. Anak yang sakit sehingga membutuhkan perhatian lebih, polah tingkahnya yang kadang dia sendiri tidak menyadari jika itu adalah hal yang membahayakan.Namun bagi Amelie, semua perjuangannya seolah terbayar lunas. Bayi kecilnya tumbuh dengan sehat dan cerdas. Bahkan bicaranya cukup jelas untuk anak seusia empat tahun. "Bu," seru anak kecil laki-laki saat mendapati entitas ibunya di depan gerbang sekolah taman kanak-kanak.Wajah anak itu terlihat paling bercahaya di antara segrombolan anak yang berlari menghambur ke arah orang tua masing-masing. "Axel," ucap Amelie riang dengan kedua tangan merengkuh putranya ke dalam pelukan. Keduanya saling memeluk dalam perasaan bahagia. "Ibu, ayo kita ke kedai. Aku lapar." ucap Axel dengan mulut mengerucut, sementara kedua tangannya me
Elena tersenyum puas setelah selesai menyapukan bedak padat yang baru dia beli kemarin sore. Bedak seharga 100 dollar itu bekerja sesuai kalimnya;menyamarkan noda dan pori-pori di wajah. Elena cukup puas dengan hasil yang dia lihat.Kegemaran Elena dalam mengoleksi kosmetik semakin meningkat setelah dia resmi menjadi istri Jonathan. Berusaha tampil cantik setiap hari adalah satu keharusan bagi Elena. Dia tidak rela jika penampilannya kalah menarik dari wanita-wanita yang sering bertemu dengan suaminya di luar rumah.Suara ketukan pintu membuat Jonathan dan Elena menoleh ke arah sumber suara. "Masuk!" ucap Jonathan kepada seseorang di balik pintu.Seorang gadis dengan pakaian pelayan muncul dari balik pintu. Setelah melihat yang datang adalah Katie, Elena pun kembali meneruskan riasan wajah yang belum tuntas. Kehadiran gadis pelayan itu bukanlah hal yang penting baginya. Kembali dia menatap cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Semua terlihat sempurna, hanya perlu menyapukan blush
Elena duduk di samping Theresia dengan perasaan gelisah. Tidak ada yang Elena lakukan saat ini selain menggigit jari kuku. Elena sama sekali tidak menyesali kukunya yang sudah cantik dipoles dengan kutek merah itu rusak akibat gigitan giginya. Dalam hati perempuan itu terus menyalahkan tuhan, karena tuhan sama sekali tidak mengabulkan pinta Elena saat perjalanan ke rumah sakit itu; berdoa supaya mobil yang mereka kendarai mengalami kecelakaan, sehingga pemeriksaan hari ini bisa ditunda. Atau, Theresia meninggal dalam kecelakaan tersebut, sehingga dia tidak perlu mengotori tangannya untuk membuat Theresia lenyap dari kehidupannya. Tapi apa yang dia inginkan sama sekali tidak terjadi. Berbanding terbalik dengan Theresia yang duduk dengan menyilangkan kaki dan dua tangan terlipat di depan dada. Wanita itu menatap lurus pada pintu ruang pemeriksaan yang tertutup rapat, Jonathan sedang melakukan serangkaian pemeriksaan di dalam sana. Salah satu kaki Theresia yang menapak mengetuk-ngetuk
Theresia memasuki kamar Jonathan dan Elena di saat hari menjelang siang. Wanita itu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, membuat si pemilik kamar mendengus saat ia menoleh dan mendapati wujud wanita yang menyebalkan baginya.Menantu perempuannya kini lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, bahkan selama tiga hari berturut-turut Elena melewatkan waktu sarapan bersama Theresia dan anggota keluarga Hayes yang lain.Tanpa bertanya sekali pun, Theresia bisa mengerti sikap Elena akhir-akhir ini ada kaitannya dengan kejadian tiga hari yang lalu. Fokus Elena kembali pada buku yang ada dalam genggaman. Dia sama sekali tidak ingin menyapa Theresia, menganggap jika dia berada sendirin di ruangan tersebut. Lalu bagaimana dengan keberadaan mertuanya disana? Tentu saja Elena menganggapnya sebagai binatang peliharaan. Yang selalu melolong jika tidak diperhatikan."Sudah tiga hari kau melewatkan waktu sarapan bersama, Sayang. Apa kau masih marah pada Ibu, Elena?" tanya Theresia memata
Pagi itu udara Waikato terasa dingin menusuk tulang. Axel masih merasakan dinginnya udara pagi meski tubuhnya telah berbalut jaket tebal."Axel, kemari dan lekas makan sarapanmu," Marie meletakkan sarapan pagi untuk semua anggota keluarga di atas meja makan. Kedua matanya tertuju pada Axel yang sedang memakai sepatu berwarna hitam miliknya. Segaris senyum terlukis di wajah keriput Marie, melihat Axel yang tumbuh besar dan sehat. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu."Baik, Nek, aku akan segera menghabiskan sarapanku setelah ini." jawab bocah laki-laki yang masih sibuk mensejajarkan kaos kaki yang terpasang di kedua kakinya.Marie berjalan mendekati Axel dan merangkul bahu bocah itu. Sebuah kecupan Marie daratkan di pucuk kepala Axel. Dengan penuh kasih Marie mengelus rambut Axel yang lebat.Bocah laki-laki itu menoleh dan tersenyum pada Marie. Wajah tampan itu terlihat sangat menggemaskan, didukung dengan kedua manik jernihnya yang berwarna biru terbuka sangat lebar. Terkadang pertan