Elena duduk di samping Theresia dengan perasaan gelisah. Tidak ada yang Elena lakukan saat ini selain menggigit jari kuku. Elena sama sekali tidak menyesali kukunya yang sudah cantik dipoles dengan kutek merah itu rusak akibat gigitan giginya. Dalam hati perempuan itu terus menyalahkan tuhan, karena tuhan sama sekali tidak mengabulkan pinta Elena saat perjalanan ke rumah sakit itu; berdoa supaya mobil yang mereka kendarai mengalami kecelakaan, sehingga pemeriksaan hari ini bisa ditunda. Atau, Theresia meninggal dalam kecelakaan tersebut, sehingga dia tidak perlu mengotori tangannya untuk membuat Theresia lenyap dari kehidupannya. Tapi apa yang dia inginkan sama sekali tidak terjadi. Berbanding terbalik dengan Theresia yang duduk dengan menyilangkan kaki dan dua tangan terlipat di depan dada. Wanita itu menatap lurus pada pintu ruang pemeriksaan yang tertutup rapat, Jonathan sedang melakukan serangkaian pemeriksaan di dalam sana. Salah satu kaki Theresia yang menapak mengetuk-ngetuk
Theresia memasuki kamar Jonathan dan Elena di saat hari menjelang siang. Wanita itu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, membuat si pemilik kamar mendengus saat ia menoleh dan mendapati wujud wanita yang menyebalkan baginya.Menantu perempuannya kini lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, bahkan selama tiga hari berturut-turut Elena melewatkan waktu sarapan bersama Theresia dan anggota keluarga Hayes yang lain.Tanpa bertanya sekali pun, Theresia bisa mengerti sikap Elena akhir-akhir ini ada kaitannya dengan kejadian tiga hari yang lalu. Fokus Elena kembali pada buku yang ada dalam genggaman. Dia sama sekali tidak ingin menyapa Theresia, menganggap jika dia berada sendirin di ruangan tersebut. Lalu bagaimana dengan keberadaan mertuanya disana? Tentu saja Elena menganggapnya sebagai binatang peliharaan. Yang selalu melolong jika tidak diperhatikan."Sudah tiga hari kau melewatkan waktu sarapan bersama, Sayang. Apa kau masih marah pada Ibu, Elena?" tanya Theresia memata
Pagi itu udara Waikato terasa dingin menusuk tulang. Axel masih merasakan dinginnya udara pagi meski tubuhnya telah berbalut jaket tebal."Axel, kemari dan lekas makan sarapanmu," Marie meletakkan sarapan pagi untuk semua anggota keluarga di atas meja makan. Kedua matanya tertuju pada Axel yang sedang memakai sepatu berwarna hitam miliknya. Segaris senyum terlukis di wajah keriput Marie, melihat Axel yang tumbuh besar dan sehat. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu."Baik, Nek, aku akan segera menghabiskan sarapanku setelah ini." jawab bocah laki-laki yang masih sibuk mensejajarkan kaos kaki yang terpasang di kedua kakinya.Marie berjalan mendekati Axel dan merangkul bahu bocah itu. Sebuah kecupan Marie daratkan di pucuk kepala Axel. Dengan penuh kasih Marie mengelus rambut Axel yang lebat.Bocah laki-laki itu menoleh dan tersenyum pada Marie. Wajah tampan itu terlihat sangat menggemaskan, didukung dengan kedua manik jernihnya yang berwarna biru terbuka sangat lebar. Terkadang pertan
Noel menatap tak suka kepada tiga temannya yang saling berbisik, mereka sedang merencanakan sesuatu yang buruk terhadap Axel, dan Noel sama tidak tertarik untuk terlibat di dalam rencana mereka.Noel mengamati ketiga temannya dari sudut mata, mereka tampak tersenyum dan tertawa. Hal itu semakin membuat Noel merasa tidak nyaman berada di dekat mereka. Jam istirahat tiba. Stella, Brandon, dan Davin saling berbagi tepukan tangan, mengisyaratkan kekompakkan dalam melakukan aksi mereka. Saat Stella hendak mengajak Noel berbagi tepukan telapak tangan, anak laki-laki itu melipat kedua tangan di depan dada, menunjukan ketidak setujuan atas rencana buruk yang akan mereka lakukan. Stella hanya mengedikkan bahu, dan menatap Noel dengan tatapan tak peduli sebelum akhirnya berlalu dari bangku mereka."Hai, Axel," sapa bocah perempuan itu saat tiba di depan meja Axel.Axel yang mendapati entitas Stella di depan mejanya menoleh ke arah gadis kecil itu, tangannya berhenti membuka kotak bekalnya yang
Pagi itu suasana kelas cukup riuh. Masing-masing siswa sedang menyiapkam nama orang yang paling mereka sayangi untuk diceritakan di depan kelas atas perintah dari guru mereka, Mia. Tak terkecuali Axel dan Nora. Dan entah sejak kapan, kini kedua anak tersebut duduk di bangku bersebelahan."Axel, siapa yang akan kau ceritakan di depan kelas nanti?" tanya Nora setelah menatap teman-teman di sekeliling. Dua tangan gadis itu terlipat di atas meja.Meski tanpa Axel menjawab, Nora sudah tahu jika Axel akan menceritakan ibunya. "Tentu saja Ibuku, Nora." jawab Axel penuh percaya diri, lalu memasang ekspresi wajah menyesal setelahnya. Membuat Nora menatap Axel dengan alis bertaut. "Maaf, Nora, tapi aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu tersinggung." reflek tangan Axel memehangi tangan Nora. Gadis kecil itu tersenyum saat memperhatikan wajah Axel yang diliputi kegelisahan, Axel takut jika ucapannya membuat Nora sedih dan tersinggung sebagai anak yang besar tanpa didampingi sosok ibu."Aku s
Amelie melipat kedua tangan di depan dada. Berulang kali perempuan itu menarik siku untuk memeriksa jam tangan yang melingkar di pegelangan tangannya. Seharusnya jam pelajaran sudah usai lima belas menit lalu. Perempuan itu berdecak saat mendapati kenyataan harus kembali menunggu. Bagian bawah rok putih yang dia kenakan tampak berayun-ayun diterpa angin yang berhembus siang itu. Angin juga berhasil menerbangkan rambut panjangnya yang semula disisir rapih. Membuatnya tampak semakin anggun."Permisi, kau bisa menggunakan ini," ucap Dorothy menyodorkan sebuah ikat rambut berpita putih buatan tangannya. Amelie yang semula sibuk menahan terpaan angin yang menerbangkan rambut panjangnya menoleh, tampak wanita tua tersenyum ramah dengan satu tangan di udara memegangi ikat rambut."Sungguh?" tanya Amelie dengan raut sumpringah."Tentu, ambilah," Dorothy mengangguk. "Pita itu sangat sesuai dengan pakaian yang kau kenakan, Nona.""Terima kasih, Nyonya. Ikat rambut ini sangat cantik." jawab Am
Tinggal di kediaman Keluarga Hayes yang megah bagai istana adalah dambaan bagi setiap orang. Semua fasilitas tersedia untuk melakukan hobi yang ingin dilakukan: kolam renang, ruang gym jika kau ingin berolahraga, atau mencium harum alami beraneka ragam bunga yang ditanam di taman. Atau mungkin mini bar? Semua hal pelepas penat tersedia disana. Seorang wanita berambut pirang berjalan hilir mudik di depan kolam renang. Tangannya menggigit buku jari yang terkepal. Apa yang Theresia lakukan terhadapnya akhir-akhir ini membuat hidupnya di rumah mewah tersebut terasa bagai terpenjara, dimana setiap dinding yang ia lihat penuh dengan lumut kebosanan."Aku bosan terus-terusan hidup seperti ini," gumam Elena dengan nada gusar, lebih pada dirinya sendiri. "Bagaimana jika sampai tujuh bulan aku tak kunjung hamil?" Elena menatap nanar pada riak air kolam yang menyaksikan kegusarannya dalam diam. "Oh, tidak! Tidak! Aku pasti lekas hamil, jika pun aku tak kujung hamil, akan ku bunuh Theresia den
Jonathan tak melepas atau meregangkan sedikit pun cengkramannya pada lengan Elena. Ringisan dan teriakan Elena sama sekali tidak dihiraukan, rahang pria itu semakin mengeras dan menyeret Elena masuk ke dalam kamar. Jonathan menghempaskan Elena di atas ranjang, rambut panjang wanita itu berhamburan menutupi wajahnya yang terperanjat. Suara bantingan pintu menggema di seluruh ruangan. Kerasnya bantingan pintu membuat jendela seolah bergetar. Atmosfer ketegangan mulai terasa. Tampak Jonathan yang masih berdiri sedang menekan tombol telepon. Tombol dial ditekan, nada hubung mulai terdengar. "Datanglah ke kamar sekarang." ucap pria itu singkat kepada seseorang di seberang sambungan, lalu mematikan sambungan telepon. Benda pipih yang ada dalam genggaman ia lempar ke atas ranjang, nyaris mengenai wajah Elena jika saja wanita itu tidak menghindarinya.Perlahan Elena bangkit dari posisi berbaring dan duduk di bibir ranjang. Rasa gusar masih memenuhi pikirannya. Amarah yang tadi meluap-luap