Tinggal di kediaman Keluarga Hayes yang megah bagai istana adalah dambaan bagi setiap orang. Semua fasilitas tersedia untuk melakukan hobi yang ingin dilakukan: kolam renang, ruang gym jika kau ingin berolahraga, atau mencium harum alami beraneka ragam bunga yang ditanam di taman. Atau mungkin mini bar? Semua hal pelepas penat tersedia disana. Seorang wanita berambut pirang berjalan hilir mudik di depan kolam renang. Tangannya menggigit buku jari yang terkepal. Apa yang Theresia lakukan terhadapnya akhir-akhir ini membuat hidupnya di rumah mewah tersebut terasa bagai terpenjara, dimana setiap dinding yang ia lihat penuh dengan lumut kebosanan."Aku bosan terus-terusan hidup seperti ini," gumam Elena dengan nada gusar, lebih pada dirinya sendiri. "Bagaimana jika sampai tujuh bulan aku tak kunjung hamil?" Elena menatap nanar pada riak air kolam yang menyaksikan kegusarannya dalam diam. "Oh, tidak! Tidak! Aku pasti lekas hamil, jika pun aku tak kujung hamil, akan ku bunuh Theresia den
Jonathan tak melepas atau meregangkan sedikit pun cengkramannya pada lengan Elena. Ringisan dan teriakan Elena sama sekali tidak dihiraukan, rahang pria itu semakin mengeras dan menyeret Elena masuk ke dalam kamar. Jonathan menghempaskan Elena di atas ranjang, rambut panjang wanita itu berhamburan menutupi wajahnya yang terperanjat. Suara bantingan pintu menggema di seluruh ruangan. Kerasnya bantingan pintu membuat jendela seolah bergetar. Atmosfer ketegangan mulai terasa. Tampak Jonathan yang masih berdiri sedang menekan tombol telepon. Tombol dial ditekan, nada hubung mulai terdengar. "Datanglah ke kamar sekarang." ucap pria itu singkat kepada seseorang di seberang sambungan, lalu mematikan sambungan telepon. Benda pipih yang ada dalam genggaman ia lempar ke atas ranjang, nyaris mengenai wajah Elena jika saja wanita itu tidak menghindarinya.Perlahan Elena bangkit dari posisi berbaring dan duduk di bibir ranjang. Rasa gusar masih memenuhi pikirannya. Amarah yang tadi meluap-luap
Waktu menunjukan pukul empat sore, Amelie menaiki tangga ke ruang istirahat pegawai untuk mendapati keberadaan Axel. Saat pintu dibuka, bocah laki-laki itu menoleh menampilkan sepasang lesung pipit. "Axel, ini sudah pukul empat, bersiaplah. Ibu akan segera kembali setelah menemui Kakek Benitto." ucap Amelie yang seketika berbalas anggukan dari Axel. Semenjak Amelie membawa Axel ke tempat kerja, panggilan 'Kakek' langsung Benitto sematkan saat pertama memperkenalkan dirinya pada Axel yang waktu itu masih belum cukup mengerti. Lambat laun menjadi terbiasa. Axel menjalin hubungan yang cukup akrab dengan Benitto. Pria pemilik kedai tersebut selalu menyapa Axel dengan riang setiap matanya mendapati entitas bocah laki-laki menggemaskan tersebut. "Ibu jangan lupa sampaikan kepada Kakek Ben, Axel akan menghadiri ulang tahun Nora." pinta Axel dengan nada polos. Anak itu selalu menceritakan setiap hal yang menurutnya menarik kepada orang-orang terdekatnya. Kepolosan Axel tentu saja berhasil
Sang surya mulai kembali ke tempatnya berpulang. Menyisahkan langit yang kini berhias dengan warna lembayung oranye. Pemandangan senja selalu menenangkan, dan selalu berhasil memanjakan siapa saja yang melihatnya. "Anda terlihat cantik sore ini, Miss Amelie." puji Dorothy sambil mengulurkan tangan. Amelie menyambut uluran tangan Dorothy dengan perasaan senang. Tangan kirinya yang bebas menyelipkan rambut di balik telinga."Terima kasih atas pujiannya, Nyonya." jawab Amelie yang kini berganti mengulurkan tangan pada pria tua yang menggunakan topi baret. Bance Pane, kakek dari Nora. Pria itu tersenyum ramah yang seketika membuat kecanggungan Amelie luntur. "Perkenalkan, saya Bence Pane." ucap pria tua tersebut dengan senyum hangat. "Saya Amelie. Ibu dari Axel." kepala Amelie mengangguk dengan satu tangan menempel pada dada. "Hadiah untukmu, Nora," Axel memberikan sebuah kado ulang tahun yang telah dipersiapkan bersama Amelie."Apa isinya?" gadis kecil itu tampak menimang-nimang kot
Lagu selamat ulang tahun baru saja dinyanyikan di ruang makan beraksen kayu itu, tepat pukul lima sore. "Make a wish," ucap Dorothy mengingatkan, saat gadis kecil itu nyaris meniup api pada lilin angka lima yang terletak di tengah kue tart. Kedua kelopak matanya yang jernih terpejam, kedua tangan gadis itu bertaut di depan dada. Tampak sebuah senyuman terulas dari wajahnya yang rupawan. Setelah selesai mengucap doanya dalam hati, lilin pun ditiup, menyisahkan asap yang tampak meliuk dari bekas sumbu lilin yang terbakar. "Apa doa yang kau panjatkan di hari ulang tahunmu kali ini?" tanya Axel yang sudah tidak sabar mencicipi kue tart. Kedua tangan Axel terlipat di atas meja, sedang manik biru jernihnya terus mengerling ke arah kue tart dan Nora secara bergantian. Hal tersebut membuat Nora mendengus kesal."Aku berdoa, semoga aku dan kamu bersahabat untuk selamanya, Axel." jawab gadis itu tanpa melihat Axel. "Benarkah?" Axel berusaha memastikan. "Hemm," Gadis itu memotong kue tart d
Rasa keingin tahuan terus mendesak Dorothy untuk bertanya lebih lanjut. Bagaimana jika ternyata wanita yang saat ini ada bersamanya adalah mata-mata yang Theresia kirim untuk mengetahui kondisi bayi Eryk dan Diana yang selamat dalam kecelakaan maut beberapa tahun silam? "Bisakah kau menceritakan hubunganmu dengan wanita arogan itu?" kedua mata Dorothy menyipit, namun berusaha tetap tenang. Memilih untuk tidak langsung menghakimi Amelie. Memberi wanita di sebelah kesempatan untuk berbicara dari pada terus membesarkan prasangka buruknya terhadap Amelie. Amelie menarik nafas panjang saat hendak menjawab pertanyaan Dorothy, yang tak ubahnya terpaksa membuatnya membuka kembali kenangan buruk yang telah dia pendam rapat selama beberapa tahun silam. Wajah Amelie menampakkan betapa besar luka yang dia rasakan. Wanita muda itu menghembuskan nafas perlahan melalui mulut, membuat Dorothy menaikkan sebelah alisnya dan menatap Amelie lebih lekat."Theresia adalah orang yang membuatku memilih un
Amelie terbangun saat sinar matahari menerobos celah ventilasi kamarnya. Sinar itu terasa sangat mengganggu. Maka, dengan terpaksa perempuan itu mengerjab berulang kali, dan kini dia sadari bahwa pagi hari telah tiba. Amelie menoleh ke sisi kanannya, dia pun mengernyit. Anaknya sudah tidak ada di sebelahnya. Waktu menunjukan pukul tujuh pagi saat dia menoleh pada jam dinding di atas dinding. "Axel?" panggil Amelie. Hening, tidak ada jawaban. Dia pun memutuskan untuk keluar dari kamar untuk mencari tahu keberadaan Axel. "Apa nenek mengantarnya pergi ke sekolah?" perempuan itu bahkan lupa jika hari itu adalah hari Minggu. Seluruh ruangan sudah dijelajahi, namun matanya tak juga mendapati Axel dimana pun dia mencari. Amelie menghampiri pintu utama, hendak mencari Axel di halaman rumah. "Oh, ternyata dia ada disana," gumam Amelie saat mendapati anak laki-lakinya sedang berjalan menuju rumah bersama Marie dan Louise. Perempuan muda itu menguap setelahnya."Seharusnya kau memberi conto
Gideon memutuskan untuk membawa Amelie dan Axel ke kebun binatang yang terletak di Auckland setelah mempertimbangkan jarak tempuh yang paling dekat dengan tempat tinggal mereka.Axel meminta duduk di sebelah kursi kemudi, dengan sang ibu yang memangkunya. Sepanjang perjalanan dua pria berbeda generasi tersebut asyik bercerita. Namun, Amelie satu-satunya perempuan di sana lebih banyak diam. Situasi saat ini semakin membuatnya canggung. Gideon terus menghujani Axel dengan perhatian yang membuat Amelie semakin sungkan karena penolakan yang dia berikan sebagai balasan atas pernyataan cinta Gideon. Kendati begitu sikap pria itu tidak pernah berubah. Amelie berharap Gideon benar-benar tulus terhadapnya.Pandangan Amelie menatap ke luar jendela yang menyuguhkan bangunan dan lalu lalang manusia yang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Perasaan rindu akan Auckland seakan memaksanya untuk mengingat kembali tempat-tempat yang menjadi saksi bisu perjalannanya menuju kedewasaan. Sandwich House