"Jadi, kapan kau akan mendapat cucu dari menantu tercantikmu itu," ucap Linda dengan nada yang jelas menyindir. Kata tercantik yang wanita paruh baya itu sematkan saat membicarakan Elena bukanlah pujian tulus, melainkan hanya bualan untuk Theresia yang selalu memuji berlebihan atas orang-orang terdekatnya. Theresia mendengus pelan dengan bibir tersenyum samar. Theresia menatap wanita yang ada di sekeliling, tak terkecuali Elena yang tertawa sendiri dengan ponsel yang ada dalam genggamannya. Dengan perasaan kesal, Theresia mennyenggol lengan Elena hingga benda pipih ditangan perempuan muda itu nyaris jatuh ke lantai. "Ah, apa yang Ibu lakukan?" desis Elena tanpa melihat ke arah Theresia. Semua mata tertuju kearah desisan Elena berasal, yang seketika membuat Theresia tersenyum getir menatap semua wajah yang ada di sana."Aku pikir, memiliki wajah cantik dan bertubuh subur akan menjanjikan seorang wanita lekas hamil begitu melakukan hubungan suami istri di awal pernikahan. Ternyata du
Keluarga Hayes dikejutkan dengan kepergian Elena secara tiba-tiba. Wanita itu menghilang secara misterius. Theresia berjalan mondar mandir dengan kedua tangan di depan dada. Wanita itu tampak berpikir keras, sedikit perasaan bersalah timbul sebagai akibat sikapnya terhadap menantunya siang tadi. "Bagaimana, Jo?" tanya Theresia kepada pria di hadapan yang sedang berdiri dengan tangan kiri berada di pinggang, sedangkan tangan kanan menempelkan ponsel pada telinga. Wajah rupawannya menunjukkan kebingungan. Berulang kali ia berusaha menelepon istrinya, namun tak sekali pun nada hubung terdengar. Hanya suara operator yang mengatakan jika nomor yang pria itu hubungi sedang tidak aktif, atau berada di luar jangkauan. "Masih sama saja, Bu, nomornya tidak aktif." jawab Jonathan dengan nada sedikit lesu."Ah ..." desis Theresia sebelum akhirnya ia menggigiti kuku jarinya. Bagaimana jika ternyata Elena mengadukan sikapnya terhadap Elena kepada Rose? Tentu saja hal itu akan berakibat pada retak
Elena langsung membanting punggung pada sandaran jok mobil begitu dia memasuki kendaraan beroda empat tersebut. Kedua tangan wanita itu terlipat di depan dada, sementara air mata tak berhenti berderai di wajahnya yang merah padam. Gideon terkejut begitu memasuki mobil. Perlahan pria itu menutup pintu mobil dengan tatapan fokus pada wanita yang terisak di sebelah kursi kemudi."Apa yang terjadi padamu, Elena?" kepanikan terlihat begitu nyata di wajah Gideon. Mata pria itu menyipit saat mendapati wajah saudara perempuannya sudah dibanjiri air mata."Kau menangis? Katakan apa yang menyakitimu sampai seperti ini, Elena," Gideon dapat menangkap kilatan amarah yang hampir tenggelam oleh kesedihan yang Elena alami. Elena membuka zipper tas yang ia kenakan. Gideon mengernyit melihat apa yang adik perempuannya lakukan. Dari tas kulit bermerek mewah miliknya Elena mengeluarkan selembar foto. Apa yang sebenarnya sedang Elena lakukan?Wanita itu mengusap kedua matanya yang basah dengan telapak
Semua guru yang semula hanya menonton berjalan mendekati Amelie begitu Matilda diseret keluar dari ruang pertemuan tersebut. Semua mata menatap penuh iba kepada Axel yang menangis memeluk Amelie, sementara ibu dari anak laki-laki tersebut terus mengelus dan berkata bahwa dia baik-baik saja."Anda tidak apa-apa, Nyonya?" tanya seorang wanita berkacamata dengan raut panik. Beberapa siswa melihat kejadian di luar ruangan yang berdinding kaca, hampir 97% dari para siswa yang menonton perkelahian Amelie dan Matilda meneriakkan nama 'Ibu Axel' sebagai support. "Anak-anak, tolong kembali ke kelas," pinta Mia yang berbalas gelengan dari para murid. Mia menghela nafas menghadapi sikap keras kepala para siswanya. Saat dia menghalau mereka dengan isyarat tangan, mereka serentak berkata: "Biarkan kami di sini, Miss. Kami ingin mencegah Axel agar dia tidak pindah dari sekolah di sini," "Miss, Axel tidak akan pindah kan dari sekolah ini?" seorang siswi berambut panjang dikepang pemegangi tangan
"Asher, apa yang kau lakukan?" tegur seorang pria berpakian rapih yang duduk di kursi penumpang saat supir pribadinya tak kunjung menjalankan mobilnya. Lampu lalu lintas sudah mengijinkannya kembali melaju. Diam-diam Asher mencuri pandang ke ponsel miliknya setelah berulang kali mendapat pesan dan panggilan masuk dari Elena. Kemolekan tubuh Elena berulang kali mengusik fokusnya saat mengemudi. Bahkan pria berkepala botak itu nyaris tak mendengar suara klakson kendaraan lain yang menulikan telinga. "Ah, maaf, Boss," ucapnya sebelum akhirnya menjalankan mobil yang dia kemudikan.Siang itu Elena berjalan-jalan untuk mengusir rasa bosan. Sebenarnya wanita itu ingin melakukan kembali dosa terindah yang dia lakukan bersama Asher, namun tidak ada jawaban dari pria itu setiap kali Elena menghubungi.Pilihan Elena jatuh pada Demiurge sebagai tempat tujuan. Dengan menaiki taxi wanita itu menuju kedai. Memancing amarah Amelie adalah opsi yang dia pilih untuk menghibur diri."Selamat pagi, Nona
Pagi itu Asher datang menemui Elena setelah mengantar majikannya. Perasaan rindu tak henti memburu, sehingga pria itu memacu kendaraan cukup kencang untuk tiba di tempat Elena.Berjarak 15 meter dari pekarangan rumah Elena, pria berkepala botak tersebut meminggirkan mobilnya di bahu jalan. Kedua mata tajamnya menyipit saat melihat sebuah mobil sedan keluar dari pekarangan rumah yang hendak dia tuju. Bunyi ponsel menarik perhatiannya untuk segera mengambil benda tersebut. [Tunggu, aku akan mengabarimu jika kakakku sudah pergi bekerja,] Adalah pesan yang dikirimkan Elena kepadanya. Dari pesan tersebut Asher bisa menebak jika pria yang mengendarai mobil dari rumah itu adalah kakak dari Elena. Dengan sabar pria itu menunggu.Asher melajukan kembali mobilnya menuju pekarangan rumah saat mobil sedan berwarna hitam metalic yang dia lihat tadi sudah tak terlihat di jalan. Elena yang mendapati Asher datang secepat itu merasa terkejut. Gideon baru saja pergi 5 menit yang lalu, namun Asher s
"Jadi, kapan kau akan mengenalkan aku dengan pecarmu?" tanya Elena sesaat sebelum dia melanjutkan aktifitas makannya. Kedua manik wanita itu menatap tenang pada Gideon yang tampak menghela nafas. Seketika kesedihan menghiasi raut tampan Gideon yang membuat alis Elena bertaut. "Kenapa? Bukankah kau pernah bilang jika sedang dekat dengan seorang wanita?" Elena tampak mengobservasi Gideon. Namun kesedihan lebih mendominasi di wajah tampan saudara laki-lakinya tersebut. "Ayo lah, Brother! Apakah wanita itu menolakmu?" pertanyaan Elena berbalas dengusan oleh Gideon. "Aku tak yakin jika kau akan bersedia mendengarkan kisahku." "Kenapa tidak?" wajah Elena menunjukkan ketersediaan."Karena wanita yang aku dekati selama ini adalah Amelie," Elena memelankan kunyahannya begitu nama Amelie disebut sebagai wanita pujaan Gideon. Pertama Jonathan, dan kedua Gideon, satu-satunya saudara kandung yang dia punya. Mengapa dua pria yang ada di dalam hidupnya harus menaruh hati pada wanita yang sanga
Malam itu Gideon menunggu Amelie di depan rumah kakek dan neneknya. Pria itu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan, sudah terhitung setengah jam pria itu menunggu Amelie di undakan depan rumah.Dari kejauhan pria itu melihat seseorang yang dia tunggu berjalan mendekat. Gideon menarik nafas berat mengingat betapa memalukan kejadian di kedai kemarin. "Paman dokter!" sapa Axel begitu melihat entitas pria yang duduk di undakan tangga. Pria berkemeja itu berdiri dan langsung dan mengelus rambut Axel. Amelie menghela nafas dengan malas. Wajah Gideon yang menyiratkan perasaan bersalah seolah membuatnya enggan melihat wajah pria itu. "Masuklah, Axel," pinta Amelie kepada putranya. Dua manik jernih bocah laki-laki itu melihat Amelie dan Gideon secara bergantian. Raut kedua orang dewasa tersebut menunjukan ketegangan satu sama lain. Sehingga tak ada pilihan lagi bagi Axel selain mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Kedua tangan Amelie terlipat di depan dada dan menatap p