Pagi itu Asher datang menemui Elena setelah mengantar majikannya. Perasaan rindu tak henti memburu, sehingga pria itu memacu kendaraan cukup kencang untuk tiba di tempat Elena.Berjarak 15 meter dari pekarangan rumah Elena, pria berkepala botak tersebut meminggirkan mobilnya di bahu jalan. Kedua mata tajamnya menyipit saat melihat sebuah mobil sedan keluar dari pekarangan rumah yang hendak dia tuju. Bunyi ponsel menarik perhatiannya untuk segera mengambil benda tersebut. [Tunggu, aku akan mengabarimu jika kakakku sudah pergi bekerja,] Adalah pesan yang dikirimkan Elena kepadanya. Dari pesan tersebut Asher bisa menebak jika pria yang mengendarai mobil dari rumah itu adalah kakak dari Elena. Dengan sabar pria itu menunggu.Asher melajukan kembali mobilnya menuju pekarangan rumah saat mobil sedan berwarna hitam metalic yang dia lihat tadi sudah tak terlihat di jalan. Elena yang mendapati Asher datang secepat itu merasa terkejut. Gideon baru saja pergi 5 menit yang lalu, namun Asher s
"Jadi, kapan kau akan mengenalkan aku dengan pecarmu?" tanya Elena sesaat sebelum dia melanjutkan aktifitas makannya. Kedua manik wanita itu menatap tenang pada Gideon yang tampak menghela nafas. Seketika kesedihan menghiasi raut tampan Gideon yang membuat alis Elena bertaut. "Kenapa? Bukankah kau pernah bilang jika sedang dekat dengan seorang wanita?" Elena tampak mengobservasi Gideon. Namun kesedihan lebih mendominasi di wajah tampan saudara laki-lakinya tersebut. "Ayo lah, Brother! Apakah wanita itu menolakmu?" pertanyaan Elena berbalas dengusan oleh Gideon. "Aku tak yakin jika kau akan bersedia mendengarkan kisahku." "Kenapa tidak?" wajah Elena menunjukkan ketersediaan."Karena wanita yang aku dekati selama ini adalah Amelie," Elena memelankan kunyahannya begitu nama Amelie disebut sebagai wanita pujaan Gideon. Pertama Jonathan, dan kedua Gideon, satu-satunya saudara kandung yang dia punya. Mengapa dua pria yang ada di dalam hidupnya harus menaruh hati pada wanita yang sanga
Malam itu Gideon menunggu Amelie di depan rumah kakek dan neneknya. Pria itu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan, sudah terhitung setengah jam pria itu menunggu Amelie di undakan depan rumah.Dari kejauhan pria itu melihat seseorang yang dia tunggu berjalan mendekat. Gideon menarik nafas berat mengingat betapa memalukan kejadian di kedai kemarin. "Paman dokter!" sapa Axel begitu melihat entitas pria yang duduk di undakan tangga. Pria berkemeja itu berdiri dan langsung dan mengelus rambut Axel. Amelie menghela nafas dengan malas. Wajah Gideon yang menyiratkan perasaan bersalah seolah membuatnya enggan melihat wajah pria itu. "Masuklah, Axel," pinta Amelie kepada putranya. Dua manik jernih bocah laki-laki itu melihat Amelie dan Gideon secara bergantian. Raut kedua orang dewasa tersebut menunjukan ketegangan satu sama lain. Sehingga tak ada pilihan lagi bagi Axel selain mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Kedua tangan Amelie terlipat di depan dada dan menatap p
"Apakah perlu aku menemani?" tanya Gideon begitu mobil yang dia kendarai tiba di sebuah penginapan.Elena meminta pria itu untuk mengantarnya di penginapan daerah destinasi wisata danau Rotorua, dengan alasan ingin menikmati panorama danau dan waktu untuk menenangkan diri di sekitar danau Rotorua yang memanjakan pandangan. "Tidak perlu, Gee, nikmatilah waktu akhir pekanmu. Aku hanya ingin menyendiri untuk saat ini." ucap wanita berambut pirang itu sembari menurunkan koper berisi pakaian dan alat make up. Wajah wanita itu menunduk, menampakkan kesenduan yang dirasakan oleh Gideon perasaan sedih sungguhan, padahal Elena hanya berpura-pura. Untuk menutupi kesalahannya yang mencaci Amelie di kedai tempat wanita itu bekerja beberapa waktu lalu. Kejadian di Demiurge sempat membuat Gideon mendiamkan Elena beberapa hari terakhir ini. Pria itu mengungkapkan kekecewaannya terhadap rencana dan tindakan Elena yang tidak pantas terhadap Amelie, dengan alasan; "Aku melakukan itu semua demi kebaik
"Apakah aku perlu menunggumu sampai masuk ke dalam rumah?" tanya seorang pria dari balik kemudi. Kedua mata pria itu menatap bangunan rumah yang megah bak istana, tempat tinggal Elena bersama keluarga suaminya. "Oh, tidak perlu, aku akan segera turun," ucap Elena sembari melihat ke arah rumah, berharap ibu mertuanya tidak mengetahui kedatangannya, hanya ada Katie dan Abravo yang sedang berbincang di undakan teras. Saat melihat Elena sedang turun membawa koper bawaannya, Abravo segera membukakan pagar agar nyonya muda tersebut bisa segera masuk. Katie, yang saat itu juga ada di sana membawakan koper Elena tanpa disuruh. Tatapan mata Katie terdistraksi dengan mobil mewah berwarna putih yang saat ini sedang berputar arah. Gadis itu yakin, jika dengan mobil itu lah Elena kembali ke rumah itu. Tapi, siapa pria yang mengemudi mobil itu? Suara hentakan high heels Elena menyadarkan Katie untuk segera mengikuti Elena masuk ke dalam rumah. "Aku pulang, Bu," ucap Elena begitu melintasi ruang
Elena tersenyum saat mendapati suaminya masuk ke dalam kamar. Wanita itu lantas merentangkan kedua lengan tangannya, memberi isyarat dia siap menerima pelukan dari sang suami. Namun Jonathan sama sekali tidak memberikan pelukan seperti yang Elena harapkan. Seketika senyum yang tersungging lenyap, berganti dengan raut penuh kekecewaan."Kau sudah pulang," ucap Jonathan tanpa melihat ke arah Elena. Bahkan pria itu memilih duduk di atas ranjang dan membuka laptopnya. Seolah keberadaan Elena disana bukanlah sesuatu yang berarti. Padahal, mereka tidak bertemu, hampir selama satu bulan. Sikap Jonathan melemparkan ingatan Elena kepada Asher. Tentu akan berbeda jadinya jika Asherlah yang saat ini berada di posisi Jonathan. Seketika hati Elena merasa dilema. Menjalin cinta dengan seseorang yang lebih mencintai tentu akan membuat kita menerima lebih banyak cinta dan perhatian setiap harinya.Namun, Elena tidak ingin gegabah dan langsung meninggalkan Jonathan demi Asher. Karena dia sama sekal
Siang itu keluarga Hayes memasuki sebuah restaurant frence, restaurant yang dibangun di atas lahan milik Edmund Hayes atas kesepakatan bersama antara Jonathan dan pemilik restaurant tersebut, Bryan Arthur. Restaurant tersebut terletak di Ponsonby Road. Karena letak yang setrategis dan dekat dengan perumahan kelas menengah ke atas, Bryan tertarik untuk membuka cabang usahanya di sana. Elena dan anggota keluarga lain tampak memperhatikan dengan seksama segala ornamen yang ada di dalam restauran tersebut. Decah kagum tak berhenti lolos dari bibir mereka. Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti di parkiran Chez Rouze. Pria yang berada di kursi sebelah kemudi menurunkan kaca mobil saat seorang pelayan menghampirinya. Pria itu menautkan kedua alis hitamnya dengan tatapan bertanya. "Keluarga Tuan Jonathan sudah tiba," ucap pelayan pria berusia 25 yang berdiri di samping mobil Bryan. "Baiklah, aku akan segera ke sana," Pelayan pria itu kembali memasuki restaurant setelah menyampaikan
Bryan mengantar keluarga Hayes hingga ke depan pintu utama Chez Rouze siang itu. Bibir pria itu tak berhenti tersenyum saat mereka hendak berpisah. Pujian yang lolos dari bibir mereka adalah alasannya."Besok malam datanglah ke rumahku untuk makan malam. Akan aku siapkan makanan kesukaanmu," ucap Theresia yang disetujui para anggota keluarga lain dengan anggukan."Baik, Bibi. Aku akan kesana besok malam." jawab Bryan sembari tersenyum yakin. "Kau masih ingat jalan menuju rumahku, bukan, Bryan?" tanya Jonathan dengan nada bercanda. "Tentu saja aku ingat! Kau bahkan lupa jika aku melalui masa pertumbuhanku di rumahmu," kenang Bryan sembari tertawa lepas. Pria itu ingat, dari dia kecil sampai menginjak usia remaja dia selalu pergi ke rumah Jonathan saat jam sekolah usai. Dan baru pulang ke rumah jika kakek dan neneknya menelepon dan memintanya pulang. "Aku pamit, Brother," Jonathan menjabat tangan Bryan, lalu mereka berpelukan setelah dibayangi keakraban mereka di waktu kecil."Aku t