Elena tersenyum saat mendapati suaminya masuk ke dalam kamar. Wanita itu lantas merentangkan kedua lengan tangannya, memberi isyarat dia siap menerima pelukan dari sang suami. Namun Jonathan sama sekali tidak memberikan pelukan seperti yang Elena harapkan. Seketika senyum yang tersungging lenyap, berganti dengan raut penuh kekecewaan."Kau sudah pulang," ucap Jonathan tanpa melihat ke arah Elena. Bahkan pria itu memilih duduk di atas ranjang dan membuka laptopnya. Seolah keberadaan Elena disana bukanlah sesuatu yang berarti. Padahal, mereka tidak bertemu, hampir selama satu bulan. Sikap Jonathan melemparkan ingatan Elena kepada Asher. Tentu akan berbeda jadinya jika Asherlah yang saat ini berada di posisi Jonathan. Seketika hati Elena merasa dilema. Menjalin cinta dengan seseorang yang lebih mencintai tentu akan membuat kita menerima lebih banyak cinta dan perhatian setiap harinya.Namun, Elena tidak ingin gegabah dan langsung meninggalkan Jonathan demi Asher. Karena dia sama sekal
Siang itu keluarga Hayes memasuki sebuah restaurant frence, restaurant yang dibangun di atas lahan milik Edmund Hayes atas kesepakatan bersama antara Jonathan dan pemilik restaurant tersebut, Bryan Arthur. Restaurant tersebut terletak di Ponsonby Road. Karena letak yang setrategis dan dekat dengan perumahan kelas menengah ke atas, Bryan tertarik untuk membuka cabang usahanya di sana. Elena dan anggota keluarga lain tampak memperhatikan dengan seksama segala ornamen yang ada di dalam restauran tersebut. Decah kagum tak berhenti lolos dari bibir mereka. Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti di parkiran Chez Rouze. Pria yang berada di kursi sebelah kemudi menurunkan kaca mobil saat seorang pelayan menghampirinya. Pria itu menautkan kedua alis hitamnya dengan tatapan bertanya. "Keluarga Tuan Jonathan sudah tiba," ucap pelayan pria berusia 25 yang berdiri di samping mobil Bryan. "Baiklah, aku akan segera ke sana," Pelayan pria itu kembali memasuki restaurant setelah menyampaikan
Bryan mengantar keluarga Hayes hingga ke depan pintu utama Chez Rouze siang itu. Bibir pria itu tak berhenti tersenyum saat mereka hendak berpisah. Pujian yang lolos dari bibir mereka adalah alasannya."Besok malam datanglah ke rumahku untuk makan malam. Akan aku siapkan makanan kesukaanmu," ucap Theresia yang disetujui para anggota keluarga lain dengan anggukan."Baik, Bibi. Aku akan kesana besok malam." jawab Bryan sembari tersenyum yakin. "Kau masih ingat jalan menuju rumahku, bukan, Bryan?" tanya Jonathan dengan nada bercanda. "Tentu saja aku ingat! Kau bahkan lupa jika aku melalui masa pertumbuhanku di rumahmu," kenang Bryan sembari tertawa lepas. Pria itu ingat, dari dia kecil sampai menginjak usia remaja dia selalu pergi ke rumah Jonathan saat jam sekolah usai. Dan baru pulang ke rumah jika kakek dan neneknya menelepon dan memintanya pulang. "Aku pamit, Brother," Jonathan menjabat tangan Bryan, lalu mereka berpelukan setelah dibayangi keakraban mereka di waktu kecil."Aku t
Dari balik semak tanaman bugenvil yang tumbuh rimbun di dekat garasi, seorang gadis diam-diam memata-matai Asher yang sedang berbincang dengan Abravo. Lama dia memasang telinga, berharap bisa mendengar pembicaraan dua pria itu yang mengarahkan pada kecurigaannya terhadap pria berkepala botak tersebut. Namun, kalimat mencurigakan yang menggiring opininya tentang hubungan Elena dengan dua pria yang datang malam ini tak juga muncul. Sesaat Katie mendengus kesal dan hampir kembali bergabung dengan para pelayan lain di paviliun. Namun, kedatangan Elena di dekat Asher dan Abravo membuat niatnya bergabung dengan pekerja lain urung.Dari kejauhan, tampak Elena berjalan hilir mudik dengan satu tangan di dahi, sementara satu tangan lainya berada di atas pinggang. "Sial! Ini benar-benar gila!" gumam Elena yang tidak dapat menerima kenyataan jika Asher hanya berprofesi sebagai sopir. "Ada apa dengan, Anda, Nyonya?" tanya Abravo dengan wajah menunjukan kepanikan. Wajah wanita itu merah sepert
Di depan ranjang sebuah kamar, seorang pria berpakaian rapih berdiri sembari menggurut pelan batang hidung bangirnya. Jam dinding menunjukan pukul 08.00, tapi istrinya belum juga bangun. Tatapan matanya mengarah pada seorang wanita yang masih terlelap berselimutkan bedcover berwarna navy. Perut buncit wanita itu tampak seperti sebuah bukit di bawah selimut tebal tersebut. Jonathan menarik bedcover yang Elena gunakan untuk menutup tubuh, meski sebenarnya ia enggan untuk melakukannya. Namun, kekhawatirannya pada kondisi janin di perut Elena sedemikian besar, sehingga pagi ini dia berencana membawa istrinya pergi ke dokter kandungan."Eng," gumam Elena saat Jonathan menarik selimut yang dia pakai. "Bersiaplah. Kita harus sampai di rumah sakit 20 menit dari sekarang." perintah Jonathan dengan kedua tangan tersimpan di balik saku celananya. Dia telah membuat janji temu dengan Lucas, dokter kandungan yang sangat dipercaya oleh Theresia.Elena kembali meraih selimut yang kini hanya menutu
Theresia meminta Jonathan untuk membawanya pulang saat tiba-tiba denyut nyeri menyerang bagian kepalanya. Emosi yang meledak-ledak membuat tekanan darahnya naik drastis, namun dia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Kenangan saat dia dirawat di ruangan berbau obat-obatan akibat sengatan serangga beracun waktu lalu membuatnya enggan untuk kembali ke tempat itu. Karena geraknya akan selalu di batasi dan tidak ada sesuatu yang bisa menghiburnya di sana. Jonathan lantas memanggil Russel, dokter kepercayaan keluarga Hayes untuk memeriksa kondisi ibunya yang terbaring di atas ranjang. Mata wanita paruh baya itu terpejam dengan alis yang bertaut, seolah dalam tidurnya pun dia tetap menahan rasa sakit yang menyerang kepala."Bagaimana, Russel?" tanya Jonathan kepada Russel saat pria itu selesai memeriksa kondisi Theresia. "Tekanan darahnya sangat tinggi. Sebaiknya jauhkan beliau dari hal-hal yang memicu stress. Ingatkan agar beliau menjauhi alkohol mulai sekarang," raut wajah pria itu di
Suasana di meja makan tampak sepi dari biasanya. Tiga orang yang berada di sana fokus pada alat makan yang ada dalam genggaman. Edmund, sebagai seorang suami tidak dapat menyembunyikan raut kesedihannya, karena pagi ini istrinya tidak ada di sisinya untuk sekedar menikmati makan pagi.Elena meliri ke arah suara derap kaki yang terdengar. Melalui kerlingan mata, wanita itu bisa melihat Irene yang berjalan ke arah kamar Theresia dengan baki berisi makanan. Saat itu juga Elena meletakkan alat makan dan bangkit berdiri. Membuat dua pria yang ada di sana menatap wanita itu dengan tatapan bertanya. Elena berjalan mendekati Irene dan memanggil nama wanita paruh baya tersebut untuk menghentikan langkahnya. "Biar aku saja yang mengantar makanan itu untuk ibu." pinta Elena yang tentu saja tidak dapat ditolak oleh Irene. Wanita itu menengadahkan telapak tangan, memberi isyarat agar Irene menyerahkan baki yang Irene bawa."Biar Irene saja yang mengantar makanan untuk ibumu, Elena. Sebaiknya k
"Bertahanlah, Elena," pinta Jonathan dengan raut kepanikan yang tidak kunjung pergi dari wajah rupawannya. Ucapan Jonathan hanya mendapat respon kedipan pelan dan sayu dari Elena. Jonathan harap, Elena dan bayi dalam kandungannya bisa selamat. Dia tidak dapat membayangkan sebesar apa perasaan bersalahnya terhadap Elena jika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Beberapa orang melihat ke arah ranjang dorong yang digunakan untuk membawa Elena. Raut panik yang mereka lihat di wajah Jonathan membuat mereka seketika memberi jalan untuk lewat.Seorang suster memberinya isyarat yang seketika menghentikan Jonathan untuk tidak ikut masuk ke dalam ruang instalasi gawat darurat. Pintu ruangan di hadapan tertutup. Jonathan lantas mengusap kasar wajahnya saat membayangkan kemungkinan buruk yang mungkin dapat terjadi. Pria itu berjalan hilir mudik dengan gesture gelisah.Sama halnya dengan Jonathan, Edmund juga mengalami kepanikan yang sama. Hanya saja, pria tua itu bisa dengan mudah menenangkan d