Dari balik semak tanaman bugenvil yang tumbuh rimbun di dekat garasi, seorang gadis diam-diam memata-matai Asher yang sedang berbincang dengan Abravo. Lama dia memasang telinga, berharap bisa mendengar pembicaraan dua pria itu yang mengarahkan pada kecurigaannya terhadap pria berkepala botak tersebut. Namun, kalimat mencurigakan yang menggiring opininya tentang hubungan Elena dengan dua pria yang datang malam ini tak juga muncul. Sesaat Katie mendengus kesal dan hampir kembali bergabung dengan para pelayan lain di paviliun. Namun, kedatangan Elena di dekat Asher dan Abravo membuat niatnya bergabung dengan pekerja lain urung.Dari kejauhan, tampak Elena berjalan hilir mudik dengan satu tangan di dahi, sementara satu tangan lainya berada di atas pinggang. "Sial! Ini benar-benar gila!" gumam Elena yang tidak dapat menerima kenyataan jika Asher hanya berprofesi sebagai sopir. "Ada apa dengan, Anda, Nyonya?" tanya Abravo dengan wajah menunjukan kepanikan. Wajah wanita itu merah sepert
Di depan ranjang sebuah kamar, seorang pria berpakaian rapih berdiri sembari menggurut pelan batang hidung bangirnya. Jam dinding menunjukan pukul 08.00, tapi istrinya belum juga bangun. Tatapan matanya mengarah pada seorang wanita yang masih terlelap berselimutkan bedcover berwarna navy. Perut buncit wanita itu tampak seperti sebuah bukit di bawah selimut tebal tersebut. Jonathan menarik bedcover yang Elena gunakan untuk menutup tubuh, meski sebenarnya ia enggan untuk melakukannya. Namun, kekhawatirannya pada kondisi janin di perut Elena sedemikian besar, sehingga pagi ini dia berencana membawa istrinya pergi ke dokter kandungan."Eng," gumam Elena saat Jonathan menarik selimut yang dia pakai. "Bersiaplah. Kita harus sampai di rumah sakit 20 menit dari sekarang." perintah Jonathan dengan kedua tangan tersimpan di balik saku celananya. Dia telah membuat janji temu dengan Lucas, dokter kandungan yang sangat dipercaya oleh Theresia.Elena kembali meraih selimut yang kini hanya menutu
Theresia meminta Jonathan untuk membawanya pulang saat tiba-tiba denyut nyeri menyerang bagian kepalanya. Emosi yang meledak-ledak membuat tekanan darahnya naik drastis, namun dia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Kenangan saat dia dirawat di ruangan berbau obat-obatan akibat sengatan serangga beracun waktu lalu membuatnya enggan untuk kembali ke tempat itu. Karena geraknya akan selalu di batasi dan tidak ada sesuatu yang bisa menghiburnya di sana. Jonathan lantas memanggil Russel, dokter kepercayaan keluarga Hayes untuk memeriksa kondisi ibunya yang terbaring di atas ranjang. Mata wanita paruh baya itu terpejam dengan alis yang bertaut, seolah dalam tidurnya pun dia tetap menahan rasa sakit yang menyerang kepala."Bagaimana, Russel?" tanya Jonathan kepada Russel saat pria itu selesai memeriksa kondisi Theresia. "Tekanan darahnya sangat tinggi. Sebaiknya jauhkan beliau dari hal-hal yang memicu stress. Ingatkan agar beliau menjauhi alkohol mulai sekarang," raut wajah pria itu di
Suasana di meja makan tampak sepi dari biasanya. Tiga orang yang berada di sana fokus pada alat makan yang ada dalam genggaman. Edmund, sebagai seorang suami tidak dapat menyembunyikan raut kesedihannya, karena pagi ini istrinya tidak ada di sisinya untuk sekedar menikmati makan pagi.Elena meliri ke arah suara derap kaki yang terdengar. Melalui kerlingan mata, wanita itu bisa melihat Irene yang berjalan ke arah kamar Theresia dengan baki berisi makanan. Saat itu juga Elena meletakkan alat makan dan bangkit berdiri. Membuat dua pria yang ada di sana menatap wanita itu dengan tatapan bertanya. Elena berjalan mendekati Irene dan memanggil nama wanita paruh baya tersebut untuk menghentikan langkahnya. "Biar aku saja yang mengantar makanan itu untuk ibu." pinta Elena yang tentu saja tidak dapat ditolak oleh Irene. Wanita itu menengadahkan telapak tangan, memberi isyarat agar Irene menyerahkan baki yang Irene bawa."Biar Irene saja yang mengantar makanan untuk ibumu, Elena. Sebaiknya k
"Bertahanlah, Elena," pinta Jonathan dengan raut kepanikan yang tidak kunjung pergi dari wajah rupawannya. Ucapan Jonathan hanya mendapat respon kedipan pelan dan sayu dari Elena. Jonathan harap, Elena dan bayi dalam kandungannya bisa selamat. Dia tidak dapat membayangkan sebesar apa perasaan bersalahnya terhadap Elena jika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Beberapa orang melihat ke arah ranjang dorong yang digunakan untuk membawa Elena. Raut panik yang mereka lihat di wajah Jonathan membuat mereka seketika memberi jalan untuk lewat.Seorang suster memberinya isyarat yang seketika menghentikan Jonathan untuk tidak ikut masuk ke dalam ruang instalasi gawat darurat. Pintu ruangan di hadapan tertutup. Jonathan lantas mengusap kasar wajahnya saat membayangkan kemungkinan buruk yang mungkin dapat terjadi. Pria itu berjalan hilir mudik dengan gesture gelisah.Sama halnya dengan Jonathan, Edmund juga mengalami kepanikan yang sama. Hanya saja, pria tua itu bisa dengan mudah menenangkan d
Malam semakin larut, suhu udara terasa semakin dingin. Tangisan bayi mengusik pendengaran Elena yang masih terlelap dalam tidur. Mata wanita itu mengerjap untuk mendapati siluet seorang pria yang sedang menengangkan Ella dengan cara mengayunkan ranjang bayi di sebelah ranjang utama. Elena tersenyum, pria itu tampak begitu tulus menyayangi Ella.Prlahan Ella berhenti menangis. Bayi perempuan itu kembali terlelap dalam tidurnya. Kedua sudut bibir Jonathan tertarik ke atas, membentuk lengkungan pada bibir ranumnya. Bisa membuat Ella berhenti menangis menyisahkan kepuasan tersendiri di hati Jonathan. Tiba-tiba saja pikiran pria itu melayang pada serangkaian tes DNA yang dia lakukan beberapa waktu lalu. Siapkah Jonathan menerima kenyataan, seandainya hasil tes menunjukkan jika Ella bukanlah anak kandungnya? Akankah rasa sayangnya terhadap Ella luntur seketika? .....2 minggu telah berlalu semenjak Jonathan mengajukan sample darah untuk keperluan tes DNA. Pagi itu dia hendak berangkat l
Jonathan kembali ke parkiran tempat dimana dia memarkirkan mobilnya. Detak jantungnya tidak terkendali, seakan-akan hendak melompat keluar. Dia tidak yakin, apakah sebaiknya dia membuka amplop berisi hasil test DNA yang dia bawa. Setelah masuk ke dalam mobil, pria itu membanting punggung pada sandaran jok mobil dan menghela nafas panjang, dia tampak menimbang, haruskah dia membukanya sekarang, atau memilih menyimpannya saja? Dia tidak siap untuk kecewa, jika seandainya Ella terbukti bukan anak kandungnya. Dia begitu menyayangi Ella.Dengan gelengan penuh frustasi, akhirnya Jonathan memilih untuk membuka segel secara kasar pada amplop yang sedari tadi tampak menantang dirinya. Pria itu membaca teks dalam surat hasil test secara runut. Kedua matanya menyipit saat mendapati hasil test yang dicantumkan dalam surat tersebut, yang menyatakan bahwa Ella bukanlah anak kandungnya. Jonathan menggenggam erat kertas di tangan, hingga menyisahkan kusut ada bagian yang ia genggam. Jantungnya berd
Elena menggendong Ella dengan posisi mendekatkan wajahnya dengan wajah bayi perempuan itu. Melalui jendela, Elena ingin memperlihatkan kepada Ella pemandangan langit Auckland yang biru dengan sedikit awan putih berarak. Hari itu cuaca sangat cerah, tentu saja matahari di luar rumah akan terasa memanggang kulit siapa saja yang berada di bawahnya. "Kau lihat di sana, Sayang? Langit itu indah, hari ini matahari bersinar dengan sangat cerah. Ibu harap, hari-hariku bersamamu akan seindah langit dan secerah matahari menyinari siang ini." ucap Elena kepada bayi yang hanya diam dan mengedipkan matanya. Perbincangan penuh kata mesra dari seorang ibu kepada anaknya terus berlanjut, Elena menganggap seolah bayi dalam gendongannya mengerti apa yang sedang dia bicarakan. Suara dering telepon seketika mengusik pendengaran, menjeda percakapan Elena dengan bayi dalam gendongannya. Kedua matanya mengerling pada benda pipih yang terus memanggilnya di atas ranjang. Layar benda itu tampak menyala, namu