Kedua telapak tangan Elena menutup bibir yang menganga cukup lebar. Wanita itu panik dan melihat ke segala arah, khawatir jika ada yang melihat kejadian barusan."Apa yang kau lakukan, Elena," desis Asher dengan kedua mata melotot. Dalam ketakutan yang sama pria itu memegangi kepala dengan kedua tangan. Bagaimana jika sesadarnya Theresia nanti wanita itu menceritakan kedatangannya ke rumah Keluarga Hayes? "Ini semua gara-gara kau, pergilah sekarang dan jangan sampai ada yang melihatmu," pinta Elena yang langsung pergi menuju kamarnya di lantai dua. Sesekali dengan perasaan takut Elena kembali menoleh ke arah tubuh wanita yang terbaring di atas lantai tadi. Dengan nafas terengah-engah Elena menutup pintu kamar. Diliputi kegelisahan atas apa yang baru saja dia lakukan, Elena hanya bisa berjalan hilir mudik dengan menggigit kuku jari. Tangan wanita itu dingin dan basah oleh keringat.Elena takut, jika Theresia mengalami kondisi membahayakan akibat benturan pada kepalanya karena Elenala
Hari Minggu kali ini terasa jauh berbeda dari minggu-minggu sebelumnya. Biasanya di akhir pekan mereka akan menghabiskan waktu di villa keluarga yang berada di Pelabuhan Waitemata. Sapuan angin laut terasa menenangkan, pemandangan pelabuhan yang indah sangat menghibur, sehingga berakhir pekan di Pelabuhan Waitemata adalah pilihan yang tepat untuk menyegarkan pikiran yang lelah.Jonathan menggigit bibir bagian bawahnya cukup kuat, menyisahkan aroma amis darah akibat gigitanya sendiri. Dia harus menerima kenyataan pahit yang sulit untuk dia terima, seorang wanita yang dinomor satukan dalam hidupnya terduduk di kursi roda dalam keadaan yang sangat rapuh. Tatapan Theresia terlihat kosong. Bibir yang biasanya banyak bicara kini tertutup rapat, wajah pucat dan tanpa ekspresi solah memperlihatkan bahwa tidak ada lagi gairah untuk menjalani hidupnya. Dia lebih terlihat seperti mayat hidup. Dibawah paparan sinar matahari pagi yang menghangatkan Jonathan berjongkok untuk bisa menyamai posisi
Suasana duka menyelimuti kediaman keluarga Hayes. Kiriman karangan bunga beraneka warna sebagai ucapan berbela sungkawa berjajar rapih, nama Elena Caroline Victor tidak terlepas dari masing-masing karangan bunga disana, membuat suasana sendu mendominasi. Jonthan menyaksikan keadaan di luar melalui jendela kamar dengan dua tangan tersimpan di saku celana. Nama Elena tidak luput dari setiap karangan bunga yang datang, lalu pria itu berbalik badan, menatap ranjang tempat biasanya Elena berbaring, namun hanya kehampaan yang dia dapati. Matanya terpejam, menghirup aroma wewangian Elena yang masih tertinggal disana. Namun hal itu membuatnya merasa bersalah. Kata maaf yang diucapkan setelah Elena pergi tidak akan sampai.Suara ketukan pintu terdengar dari luar yang seketika membuatnya menoleh ke arah sumber suara."Jo, pelayat sudah berdatangan. Keluarlah untuk menemui mereka." pinta Edmund yang berwajah sendu dari balik pintu kamar. Pria itu menipiskan bibir sembari menunduk mendekatkan wa
Jonathan menarik nafas dalam saat kesunyian menyapanya di dalam kamar. Tidak ada lagi Elena, tidak ada lagi Ella. Ruangan itu terasa sepi dan terasa lebih dingin dari waktu sebelum Elena berada di dalam sana. Penghangat ruangan seolah tidak bekerja dengan baik. Jontahan menyentuh barang-barang Elena yang ada di sana. Piyama Elena yang tergantung di dalam almari, jajaran make up di meja rias, tas mewah yang selalu wanita itu tenteng saat bepergian. Semua permukaan benda itu terasa dingin saat disentuh, bayangan saat terakhir hidup Elena berkelibat di kepala; jeritan yang memekikkan dan kedua matanya yang terbuka lebar saat darah segar mengalir dari kepalanya.Seketika Jonathan menjauhkan tangannya dari benda-benda itu, merasa jika dirinya secara tidak langsung menjadi penyebap kematian wanita malang itu. Seandainya dia tahu akan seperti ini jadinya, dia akan memilih diam mengetahui kebohongan terbesar Elena, dan mengabdikan sisa umur yang dia punya untuk wanita yang telah membohonginya
Kontak mata antara Amelie dan Jonathan tidak lagi dapat di hindari. Kedua manik hazel Amelie menatap Jonathan penuh perasaan benci, rahang wanita itu terlihat mengeras dengan tegas. Suasana ramai di sekitar seolah tak terlihat, seakan-akan hanya mereka berdua yang ada di hall kedai yang cukup luas itu. Jonathan menatap dalam pada Amelie yang memasang wajah dingin. Wanita itu sangat jauh berbeda dari gadis lugu yang dia kenal dulu. Dia terlihat begitu tangguh dan jauh pemberani dari Amelie gadis pemalu yang dulu. Kendati begitu, keanggunan dan kecantikannya tidak lekang di makan waktu. Amelie menyelipkan rambut yang tidak terikat di balik telinga, memperlihatkan pahatan wajah yang sempurna, maha karya dari Sang Pencipta yang membuat pria itu terus dibayangi wajah rupawan wanita itu setiap hari. Bibir Jonathan membantuk lengkungan alami, kabut yang menyelimuti hatinya seketika terhempas oleh pesona Amelie yang membawa hembusan angin laut sejuk membelai hatinya.Axel yang saat itu be
Jonathan kembali ke penginapan saat hari sudah menjelang siang. Waktu pagi dia lalui dengan duduk termenung di sebuah kursi taman, tepatnya di Waikato River Walk. Bayangan pertemuan pertamanya setelah berpisah lama dengan Amelie sangat jauh dari yang dia harapkan. Pria bertubuh atletis itu masuk ke dalam kamar penginapan dengan menjinjing kantong makanan berlogo take away, berisi burger yang dia beli dari restaurant cepat saji saat perjalanan kembali ke penginapan. Dengan enggan Jonathan membuka kertas yang membungkus makanan itu, dan mulai mengunyahnya dengan malas. Makanan yang dia beli hanya untuk mengganjal perut yang menjeritkan lapar, seandainya tadi dia tidak merasakan badannya terhuyung karena kehabisan energi, mungkin pria itu akan tetap bertahan untuk tetap duduk termenung tanpa mengisi perutnya dengan makanan, setidaknya sampai hari gelap. Itu semua karena penolakan yang dia terima pagi tadi. Bayangan wajah Amelie dan bocah laki-laki yang dia temui di kedai tadi pagi kem
Seorang pria menarik nafas dalam saat keraguan kembali menghampiri. Kedua matanya menatap lurus pada kedai di hadapan, sengaja pria itu menunggu sampai situasi kedai tidak terlalu ramai. Cukup lama Jonathan berdebat dengan pikirannya, sehingga pria itu mencengkram erat kemudi mobilnya dengan gigi bertaut, menimbulkan bunyi gemeretak. "Tidak, tidak bisa kalau hanya diam disini," gumam Jonathan memutuskan keluar dari mobilnya kemudian. Pria itu melenggang masuk ke Demiurge dengan tangan kosong, memilih untuk menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana. Mungkin dia bisa membawa bunga agar terkesan memohon dengan cara yang romantis, tetapi mengingat sikap Amelie yang dingin padanya, dia memilih untuk mengurungkan niatnya, menghindari jika wanita itu malah memukulkan bucket bunga yang dia bawa ke wajah ruapawannya. Para pelayan yang saat ini sedang berbincang di depan counter menatap pada pria tampan yang baru saja masuk. "Lihat, bukankah dia Jonathan Hayes?" ucap Anne dengan tatapa
Emery dan Benitto yang baru saja datang ke kedai memasang wajah penuh tanya begitu mendapati tiga pelayan wanita sedang mencoba menenangkan Amelie yang menangis. Emery langsung menghampiri mereka, dia turut prihatin dengan Amelie yang kerap diganggu para pria semenjak bekerja di kedai milik ayahnya. "Apa yang terjadi padanya?" tanya Emery dengan tatapan bertanya dan khawatir. Kedatangan Benitto di belakang puterinya menarik perhatian Julie dan Anne untuk memberi perhitungan kepada pengunjung kedai yang sudah membuat sahabat mereka menangis. "Tuan Jonathan Hayes yang sudah membuatnya begini, Pak," ucap Julie tanpa Benitto bertanya. Pria itu menatap ke sekeliling dengan dahi mengernyit, benarkah putra orang ternama di Auckland yang akhir-akhir ini menjadi narasumber atas kematian istrinya datang ke kedainya yang sederhana itu? Tatapan mata Benitto berhenti saat mendapati sosok yang diceritakan pelayan kedainya. "Sebaiknya kau berusaha bertanya apa maksud kedatangannya, Ayah, aku k