Hari Minggu kali ini terasa jauh berbeda dari minggu-minggu sebelumnya. Biasanya di akhir pekan mereka akan menghabiskan waktu di villa keluarga yang berada di Pelabuhan Waitemata. Sapuan angin laut terasa menenangkan, pemandangan pelabuhan yang indah sangat menghibur, sehingga berakhir pekan di Pelabuhan Waitemata adalah pilihan yang tepat untuk menyegarkan pikiran yang lelah.Jonathan menggigit bibir bagian bawahnya cukup kuat, menyisahkan aroma amis darah akibat gigitanya sendiri. Dia harus menerima kenyataan pahit yang sulit untuk dia terima, seorang wanita yang dinomor satukan dalam hidupnya terduduk di kursi roda dalam keadaan yang sangat rapuh. Tatapan Theresia terlihat kosong. Bibir yang biasanya banyak bicara kini tertutup rapat, wajah pucat dan tanpa ekspresi solah memperlihatkan bahwa tidak ada lagi gairah untuk menjalani hidupnya. Dia lebih terlihat seperti mayat hidup. Dibawah paparan sinar matahari pagi yang menghangatkan Jonathan berjongkok untuk bisa menyamai posisi
Suasana duka menyelimuti kediaman keluarga Hayes. Kiriman karangan bunga beraneka warna sebagai ucapan berbela sungkawa berjajar rapih, nama Elena Caroline Victor tidak terlepas dari masing-masing karangan bunga disana, membuat suasana sendu mendominasi. Jonthan menyaksikan keadaan di luar melalui jendela kamar dengan dua tangan tersimpan di saku celana. Nama Elena tidak luput dari setiap karangan bunga yang datang, lalu pria itu berbalik badan, menatap ranjang tempat biasanya Elena berbaring, namun hanya kehampaan yang dia dapati. Matanya terpejam, menghirup aroma wewangian Elena yang masih tertinggal disana. Namun hal itu membuatnya merasa bersalah. Kata maaf yang diucapkan setelah Elena pergi tidak akan sampai.Suara ketukan pintu terdengar dari luar yang seketika membuatnya menoleh ke arah sumber suara."Jo, pelayat sudah berdatangan. Keluarlah untuk menemui mereka." pinta Edmund yang berwajah sendu dari balik pintu kamar. Pria itu menipiskan bibir sembari menunduk mendekatkan wa
Jonathan menarik nafas dalam saat kesunyian menyapanya di dalam kamar. Tidak ada lagi Elena, tidak ada lagi Ella. Ruangan itu terasa sepi dan terasa lebih dingin dari waktu sebelum Elena berada di dalam sana. Penghangat ruangan seolah tidak bekerja dengan baik. Jontahan menyentuh barang-barang Elena yang ada di sana. Piyama Elena yang tergantung di dalam almari, jajaran make up di meja rias, tas mewah yang selalu wanita itu tenteng saat bepergian. Semua permukaan benda itu terasa dingin saat disentuh, bayangan saat terakhir hidup Elena berkelibat di kepala; jeritan yang memekikkan dan kedua matanya yang terbuka lebar saat darah segar mengalir dari kepalanya.Seketika Jonathan menjauhkan tangannya dari benda-benda itu, merasa jika dirinya secara tidak langsung menjadi penyebap kematian wanita malang itu. Seandainya dia tahu akan seperti ini jadinya, dia akan memilih diam mengetahui kebohongan terbesar Elena, dan mengabdikan sisa umur yang dia punya untuk wanita yang telah membohonginya
Kontak mata antara Amelie dan Jonathan tidak lagi dapat di hindari. Kedua manik hazel Amelie menatap Jonathan penuh perasaan benci, rahang wanita itu terlihat mengeras dengan tegas. Suasana ramai di sekitar seolah tak terlihat, seakan-akan hanya mereka berdua yang ada di hall kedai yang cukup luas itu. Jonathan menatap dalam pada Amelie yang memasang wajah dingin. Wanita itu sangat jauh berbeda dari gadis lugu yang dia kenal dulu. Dia terlihat begitu tangguh dan jauh pemberani dari Amelie gadis pemalu yang dulu. Kendati begitu, keanggunan dan kecantikannya tidak lekang di makan waktu. Amelie menyelipkan rambut yang tidak terikat di balik telinga, memperlihatkan pahatan wajah yang sempurna, maha karya dari Sang Pencipta yang membuat pria itu terus dibayangi wajah rupawan wanita itu setiap hari. Bibir Jonathan membantuk lengkungan alami, kabut yang menyelimuti hatinya seketika terhempas oleh pesona Amelie yang membawa hembusan angin laut sejuk membelai hatinya.Axel yang saat itu be
Jonathan kembali ke penginapan saat hari sudah menjelang siang. Waktu pagi dia lalui dengan duduk termenung di sebuah kursi taman, tepatnya di Waikato River Walk. Bayangan pertemuan pertamanya setelah berpisah lama dengan Amelie sangat jauh dari yang dia harapkan. Pria bertubuh atletis itu masuk ke dalam kamar penginapan dengan menjinjing kantong makanan berlogo take away, berisi burger yang dia beli dari restaurant cepat saji saat perjalanan kembali ke penginapan. Dengan enggan Jonathan membuka kertas yang membungkus makanan itu, dan mulai mengunyahnya dengan malas. Makanan yang dia beli hanya untuk mengganjal perut yang menjeritkan lapar, seandainya tadi dia tidak merasakan badannya terhuyung karena kehabisan energi, mungkin pria itu akan tetap bertahan untuk tetap duduk termenung tanpa mengisi perutnya dengan makanan, setidaknya sampai hari gelap. Itu semua karena penolakan yang dia terima pagi tadi. Bayangan wajah Amelie dan bocah laki-laki yang dia temui di kedai tadi pagi kem
Seorang pria menarik nafas dalam saat keraguan kembali menghampiri. Kedua matanya menatap lurus pada kedai di hadapan, sengaja pria itu menunggu sampai situasi kedai tidak terlalu ramai. Cukup lama Jonathan berdebat dengan pikirannya, sehingga pria itu mencengkram erat kemudi mobilnya dengan gigi bertaut, menimbulkan bunyi gemeretak. "Tidak, tidak bisa kalau hanya diam disini," gumam Jonathan memutuskan keluar dari mobilnya kemudian. Pria itu melenggang masuk ke Demiurge dengan tangan kosong, memilih untuk menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana. Mungkin dia bisa membawa bunga agar terkesan memohon dengan cara yang romantis, tetapi mengingat sikap Amelie yang dingin padanya, dia memilih untuk mengurungkan niatnya, menghindari jika wanita itu malah memukulkan bucket bunga yang dia bawa ke wajah ruapawannya. Para pelayan yang saat ini sedang berbincang di depan counter menatap pada pria tampan yang baru saja masuk. "Lihat, bukankah dia Jonathan Hayes?" ucap Anne dengan tatapa
Emery dan Benitto yang baru saja datang ke kedai memasang wajah penuh tanya begitu mendapati tiga pelayan wanita sedang mencoba menenangkan Amelie yang menangis. Emery langsung menghampiri mereka, dia turut prihatin dengan Amelie yang kerap diganggu para pria semenjak bekerja di kedai milik ayahnya. "Apa yang terjadi padanya?" tanya Emery dengan tatapan bertanya dan khawatir. Kedatangan Benitto di belakang puterinya menarik perhatian Julie dan Anne untuk memberi perhitungan kepada pengunjung kedai yang sudah membuat sahabat mereka menangis. "Tuan Jonathan Hayes yang sudah membuatnya begini, Pak," ucap Julie tanpa Benitto bertanya. Pria itu menatap ke sekeliling dengan dahi mengernyit, benarkah putra orang ternama di Auckland yang akhir-akhir ini menjadi narasumber atas kematian istrinya datang ke kedainya yang sederhana itu? Tatapan mata Benitto berhenti saat mendapati sosok yang diceritakan pelayan kedainya. "Sebaiknya kau berusaha bertanya apa maksud kedatangannya, Ayah, aku k
Senja kian menjingga, hari akan segera berganti dan gelap malam akan segera menguasai. Di jam kerja yang telah usai, Gideon melalukan hal yang diam-diam dia lakukan tanpa sepengetahuan Amelie, mengamati wanita itu keluar dari kedai dan mengintainya saat perjalanan pulang, untuk memastikan dia baik-baik saja saat tiba di rumah.Kebiasaan itu sudah berjalan semenjak Amelie memintanya tidak lagi muncul di hadapannya. Gideon mulai menyalakan mesin mobil mustang berwarna merah yang dia pinjam dari temannya, karena akan membuat Amelie curiga jika dia menggunakan mobilnya. Wanita itu dan Axel sudah sangat familiar dengan mobil miliknya. Pria itu melajukan mobil dengan kecepatan rendah, menyesuaikan kecepatan Amelie dan Axel yang berjalan kaki. Namun secara mengejutkan, tiba-tiba mobil berwarna black shapphire metallic mendekati Amelie dan Axel. Gideon mengernyit, siapa orang yang mengemudikan mobil di depan? Namun tampaknya Amelie mersepons dengan raut wajah dingin. Apakah seseorang berusa
Jantung Amelie tidak berhenti berdetak saat pagi itu tiba. Dia bahkan nyaris tidak dapat tidur semalam, bayang saat-saat mendebarkan terus berkelibat di kepala. Dia akan menjadi pengantin hari itu."Astaga, Nona, tanganmu dingin sekali," ucap MUA yang baru saja menjabat tangan Amelie untuk mengucapkan selamat atas pernikahan yang akan berlangsung. Tidak ada yang dapat Amelie lakukan selain tersenyum hambar. Dia begitu gelisah, sebentar lagi wanita itu akan mengucap janji suci dengan Jonathan di depan para hadirin. "Ah, aku hanya gugup." jawab Amelie sembari meremas gaun putih yang dia pakai. "Hahaha, aku tau bagaimana rasanya. Aku juga mengalami hal yang sama denganmu saat detik-detik pernikahanku akan dimulai " kenang Linda sembari memasukan perlatan make up yang tidak lagi di gunakan ke dalam tas make up. "Percayalah, itu hanya di awal. Begitu ikrar janji suci selesai diucapkan, hatimu akan terasa sangat lega. Kau bahkan akan menangis bahagia setelahnya." Linda mengangguk penuh p
Malam semakin larut. Angin malam sangat dingin menggigit kulit, selimut tebal yang menutup tubuh tidak dapat mengalahkan dinginnya udara malam itu, sehingga membangunkan Irene untuk mengecek penghangat ruangan.Kedua mata Irene mengerjab beberapa kali saat mendapati ranjang di sebelahnya kosong tanpa keberadaan Robert, sehingga wanita berambut cokelat tersebut berjalan keluar untuk mencari tahu keberadaan sang suami. Saat pintu di buka Irene menyipitkan mata mendapati suaminya yang sedang duduk di undakan teras kamar pelayan dengan wajah menengadah ke langit, bersandarkan tiang penyangga yang terbuat dari batu alam dengan raut melankolis.Perlahan wanita itu berjalan mendekat."Robert?" panggilnya dengan nada lembut khas wanita tersebut yang seketika membuat pemilik nama menoleh. "Kenapa kau di luar? Udara sangat dingin, Sayang?" Irene menyentuh bahu suaminya dan mengambil posisi duduk di sebelah Robert, menahan dingin udara malam itu demi menemani pria yang sangat dia cintai."Irene,
Jonathan berjalan kembali ke ruangannya dengan senyum tak lepas dari paras rupawannya. Hal itu membuat beberapa pasang mata melihatnya dengan raut bertanya-tanya, namun segera mereka menata ekspresi seperti biasa saat bertabrak pandang dengan Jonathan. Saat pria itu masuk ke dalam ruangan kerjanya, seorang gadis sudah duduk menunggunya di sana. "Saya lihat Anda sedang berbahagia hari ini, Tuan," ucap Krista Valerie sembari mengulum bibir melihat pria itu masuk ke dalam ruangan. "Bukan hanya sedang, aku sangat-sangat bahagia hari ini." Jonathan duduk di kursi kebesarannya. Tanpa ingin mengetahui lebih lanjut tentang perasaan bahagia atasannya, gadis itu berdeham dan menanyakan mengapa dirinya di panggil untuk datang ke ruangan pria yang terus tersenyum seperti orang terserang gangguan jiwa itu. "Maaf, Tuan, ada keperluan apa Anda memanggil saya kesini?" Tidak langsung menanggapi pertanyaan sekretarisnya, pria itu mengambil beberapa map dari tumpukan dokumen dan menyerahkannya pad
Amelie merasa lemas setelah melihat tiga alat test kehamilan menunjukan hasil yang sama, dua garis merah yang berjajar. Entah apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah mengabari Jonathan tentang kehamilannya adalah pilihan yang tepat? Dia begitu khawatir kejadian yang sama akan terulang, Jonathan mengabarkan kepada keluarganya, dan Theresia akan memintanya menggugurkan janin tidak berdosa yang Jonathan tanam di rahimnya. Seketika air mata yang semula surut kembali berjatuhan di kedua pipinya. Dia tidak akan sanggup mengulangi kembali kisah yang sama, menanggung kehamilannya sendiri dan membesarkan bayi itu sendiri. Sungguh, itu semua itu adalah tanggung jawab yang berat. Lamunan Amelie dibuyarkan dengan suara ketukan pintu dari luar. Dengan cepat dia menyapu air mata sampai tidak tersisa. Meski wajah sembab tidak dapat disembunyikan sama sekali. "Amelie, buka pintunya," dengan raut cemas Marie mengetuk pintu dan memutar kenop berulang kali. Semenjak kepulangannya dari tempat ker
Amelie mengerjabkan kedua mata saat rasa kantuk masih bergelayut di kedua matanya. Dia harus bangun untuk bersiap bekerja dan mengantar Axel ke sekolah, namun tubuhnya seolah enggan untuk bangkit, serasa melekat di atas kasur yang saat ini dia tempati. Sesaat kedua matanya terpejam untuk mengingat-ingat apa saja yang sudah dia rasakan akhir-akhir ini. Amelie merasa kurang enak badan akhir-akhir ini. Sering kali nyeri kepala tiba-tiba menghampiri, dan buah dadanya terasa nyeri. Indra penciumannya menjadi sensitif. Kedua alis Amelie bertaut, baru kemudian wanita itu bangkit dari ranjang dengan sedikit tergesa dan menyambar ponsel di atas nakas, untuk membuka aplikasi periode menstruasi dan melihat kapan menstruasi terakhirnya. Entah mengapa saat hendak membuka aplikasi periode di ponselnya, tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Seolah-olah dia sudah yakin jika jawaban yang dia dapatkan adalah sesuatu yang akan mengecewakan dan mengguncang kewarasannya. Wanita yang masih berbalut piy
Matahari semakin beringsut menuju peraduan, menyisahkan warna orange di batas cakrawala. Kedai mulai sepi dari pengunjung, satu per satu di antara pengunjung Demiurge mulai meninggalkan kedai setelah selesai dengan aktivitas mengisi perut. Amelie mengelap meja dengan kain lap sebagai penutup aktifitas di kedai sore menjelang malam. Di saat yang bersamaan, Emery yang baru saja keluar dari ruangan Benitto menghampiri wanita itu dengan membawa kain lap, melakukan aktifitas yang sama di sebelah meja yang Amelie bersihkan. Emery berdeham untuk membuat Amelie menyadari keberadaannya. Seketika wanita anggun itu menoleh, dan menyapa Emery dengan wajah ramah."Hey," sapa Amelie yang kemudian kembali menatap meja yang sudah mengkilap, dapat dia lihat pantulan wajahnya di atas meja berlapis pernis itu. Emery tidak bisa menahan keingin tahuannya terhadap pertemuan sahabatnya dengan seorang pria yang Axel ceritakan padanya siang tadi."Maaf, Amelie, aku berharap kau tidak tersinggung jika aku b
Jantung Amelie berdebar kencang saat dia membuka selimut yang menutupi tubuh. Tidak sehelai pun pakaian yang menempel pada tubuhnya. Bergegas wanita itu membersihkan diri setelah pergulatan dengan Jonathan semalam.Di bawah pancuran shower yang menyirami sekujur tubuhnya dengan air, Amelie memejamkan kedua matanya. Dia mengingat kejadian tadi malam, dan merutukki dirinya yang bisa dengan mudah membiarkan Jonathan menikmati tubuhnya. 'Bodoh! Dasar Amelie bodoh! Bagaimana jika setelah ini dia pergi meninggalkanmu lagi? Mengapa semalam aku tidak memintanya memakai pelindung?' batin Amelie yang mulai di landa cemas. Kedua tangannya perlahan meremas rambutnya yang basah hingga rasa sakit akibat tarikan terasa.Kepala wanita itu menggeleng, berusaha menepis segala kemungkinan dan prasangka buruk terhadap Jonathan. Namun semakin berusaha menepis, semua prasangka buruk itu semakin brutal menyerang kepalanya. ....................."Amelie, pagi sekali kau bangun?" Jonathan mengerjabkan kedua
Hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan bagi Axel. Dia bisa merasakan berakhir pekan dengan kedua orang tuanya di tempat-tempat yang dia sukai, hal yang selalu menjadi impiannya semenjak dia sering mempertanyakan keberadaan ayahnya."Ayah, apakah Ayah tahu? Hari ini aku senang sekali bisa pergi bertamasya bersama kedua orang tuaku." gumam Axel saat perjalanan pulang. Sesaat setelah itu Axel menguap, dan perlahan kedua matanya terpejam.Jonathan mengelus kepala Axel yang duduk di pangkuan Amelie, sementara satu tangannya tetap memegang kemudi. "Ayah juga sangat bahagia, Sayang. Kita bisa berakhir pekan bertiga setelah menjalani hari-hari yang melelahkan." Amelie tersenyum. Dalam hati dia mengiyakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama."Dia sudah tertidur, Jo," bisik Amelie sembari mengelus kepala Axel. Rambut yang dia genggam sudah bertambah panjang, seingat Amelie baru dua bulan lalu dia mengantar Axel ke barber shop.Roda terus bergulir, saat Amelie melihat ke arah luar
Amelie terbangun dan terkejut saat mendapati posisi tubuhnya berubah. Lengan Amelie dan Jonathan saling memeluk. Wanita itu segera menghempaskan lengan kekar Jonathan yang memeluk tubuhnya. "Kenapa kau bisa semudah itu memelukku? Dasar pria mesum," Amelie menggerutu sembari berjalan ke toilet. Suara keran air dan suhu dingin air menyentuh kulit wajahnya yang seketika membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Wanita itu menatap pantulan bayangannya di cermin. Amelie menepuk-nepuk wajahnya, dan seketika mengaduh karena tepukan itu terasa perih."Aw!" rasa sakit yang dia rasakan menyadarkannya, malam yang dia lalui bersama Jonathan bukanlah mimpi, itu sebuah kenyataan. Bahkan tepukan pada pipinya menyisahkan bekas merah. Kedua mata Amelie terpejam dengan kedua tangan menopang tubuh di pinggiran washtafel. Sebuah pertanyaan yang menggelitik hatinya muncul. Apakah bertemu dengan Jonathan kembali adalah sebuah takdir? Amelie menghela nafas sembari berjalan kembali menuju kamar. Namun saa