Seorang pria menarik nafas dalam saat keraguan kembali menghampiri. Kedua matanya menatap lurus pada kedai di hadapan, sengaja pria itu menunggu sampai situasi kedai tidak terlalu ramai. Cukup lama Jonathan berdebat dengan pikirannya, sehingga pria itu mencengkram erat kemudi mobilnya dengan gigi bertaut, menimbulkan bunyi gemeretak. "Tidak, tidak bisa kalau hanya diam disini," gumam Jonathan memutuskan keluar dari mobilnya kemudian. Pria itu melenggang masuk ke Demiurge dengan tangan kosong, memilih untuk menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana. Mungkin dia bisa membawa bunga agar terkesan memohon dengan cara yang romantis, tetapi mengingat sikap Amelie yang dingin padanya, dia memilih untuk mengurungkan niatnya, menghindari jika wanita itu malah memukulkan bucket bunga yang dia bawa ke wajah ruapawannya. Para pelayan yang saat ini sedang berbincang di depan counter menatap pada pria tampan yang baru saja masuk. "Lihat, bukankah dia Jonathan Hayes?" ucap Anne dengan tatapa
Emery dan Benitto yang baru saja datang ke kedai memasang wajah penuh tanya begitu mendapati tiga pelayan wanita sedang mencoba menenangkan Amelie yang menangis. Emery langsung menghampiri mereka, dia turut prihatin dengan Amelie yang kerap diganggu para pria semenjak bekerja di kedai milik ayahnya. "Apa yang terjadi padanya?" tanya Emery dengan tatapan bertanya dan khawatir. Kedatangan Benitto di belakang puterinya menarik perhatian Julie dan Anne untuk memberi perhitungan kepada pengunjung kedai yang sudah membuat sahabat mereka menangis. "Tuan Jonathan Hayes yang sudah membuatnya begini, Pak," ucap Julie tanpa Benitto bertanya. Pria itu menatap ke sekeliling dengan dahi mengernyit, benarkah putra orang ternama di Auckland yang akhir-akhir ini menjadi narasumber atas kematian istrinya datang ke kedainya yang sederhana itu? Tatapan mata Benitto berhenti saat mendapati sosok yang diceritakan pelayan kedainya. "Sebaiknya kau berusaha bertanya apa maksud kedatangannya, Ayah, aku k
Senja kian menjingga, hari akan segera berganti dan gelap malam akan segera menguasai. Di jam kerja yang telah usai, Gideon melalukan hal yang diam-diam dia lakukan tanpa sepengetahuan Amelie, mengamati wanita itu keluar dari kedai dan mengintainya saat perjalanan pulang, untuk memastikan dia baik-baik saja saat tiba di rumah.Kebiasaan itu sudah berjalan semenjak Amelie memintanya tidak lagi muncul di hadapannya. Gideon mulai menyalakan mesin mobil mustang berwarna merah yang dia pinjam dari temannya, karena akan membuat Amelie curiga jika dia menggunakan mobilnya. Wanita itu dan Axel sudah sangat familiar dengan mobil miliknya. Pria itu melajukan mobil dengan kecepatan rendah, menyesuaikan kecepatan Amelie dan Axel yang berjalan kaki. Namun secara mengejutkan, tiba-tiba mobil berwarna black shapphire metallic mendekati Amelie dan Axel. Gideon mengernyit, siapa orang yang mengemudikan mobil di depan? Namun tampaknya Amelie mersepons dengan raut wajah dingin. Apakah seseorang berusa
Jonathan segera keluar dari kerumunan setelah mendapati Amelie dan Axel tidak lagi berada di sana. Pria itu menghampiri mobilnya dengan sedikit berlari, sembari megedarkan pandangan, namun tidak mendapati Amelie dan puteranya di antara para pejalan kaki yang ada di sana. Tanpa membuang waktu, pria itu masuk dan membanting pintu mobil. Menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal gas dengan kecepatan 40. Kedua manik birunya tidak berhenti menyisir jalanan yang dia lalui. Desir kecewa dia rasakan saat tiba di sebuah persimpangan, Amelie tak juga di temukan. Suara klakson kendaraan lain membuat Jonathan kesal lantaran mengganggu konsentarasinya, antara berbelok ke kanan atau kiri. "Shit!" umpatnya sembari melihat ke belakang melalui kaca sepion atas. Seorang pria menghentikan mobilnya tepat di belakang mobil Jonathan melongokkan kepala dari jendela."Hey, Bung, kau menghalangi jalanku," pria itu mengacungkan jari tengah yang seketika membuat Jonathan kesal. "Simpan tenagamu, Jo, ada h
Siang itu Axel yang berada dalam satu gerombolan murid lain tersenyum mengembang. Tidak seperti biasanya Axel seceria hari ini. "Hey, Axel, sepenjang pelajaran aku melihatmu terus tersenyum. Kau bahkan mengikuti pelajaran dengan gembira." tanya Lolita yang berjalan di sebelah kiri Axel. Nora yang memiliki pemikiran serupa dengan Lolita mengangguk membenarkan. "Iya, apa yang Lolita katakan benar. Kau terus tersenyum sepanjang hari. Lihat di sana," Nora menunjuk ke sebuah tempat, di mana Amelie biasanya berdiri menunggu Axel keluar dari kelas. "Biasanya kau akan sedih saat ibumu belum datang menjemput." "Memang benar. Tapi kali ini, aku dijemput oleh ayahku." jawab Axel bangga. Seketika Nora dan anak-anak lain terperangah dan saling menatap. "Benarkah?" tanya Nora dengan raut tidak percaya. "Iya, benar," Axel mengangguk mengiyakan. Anak-anak yang berada dalam satu rombongan dengan Axel mencari-cari entitas pria yang Axel maksud, tetapi mereka merasa tidak asing dengan wajah-waja
Bagaimana rasanya bertahan hidup dalam bayang-bayang penyesalan? Akankah kedamaian bisa tetap kau rasakan, disaat kepahitan penyesalan terasa seakan mencekik dan memaksamu untuk mengakhiri hari saat itu juga? Jonathan termangu dengan kedua tangan tersimpan di dalam saku celana. Tatapan mata pria itu menatap pemandangan kota Auckland dari atas gedung perusahaan. Cuaca siang itu sedikit panas, matahari bersinar cukup terang seakan membuatnya silau, nyaris terpejam, namun dia enggan untuk masuk ke ruangannya. Dia butuh waktu untuk menyendiri saat ini.Seorang pria tua berjalan mendekati Jonathan dengan wajah tersenyum bangga. Dia tidak menyangka, keputusan memberi cuti untuk Jonathan adalah keputusan yang tepat. Buktinya, kondisi Jonathan menjadi lebih baik dan produktif seperti sebelumnya."Ayah bangga dengan target penjalan yang kau capai bulan ini, Jo. Ayah tidak menyangka kau akan bangkit secepat ini." dengan kedua tangan tersimpan di saku celana Edmund berucap. Menatap lurus pada p
Terkadang, kesunyian datang tanpa maksud untuk menyiksa. Sunyi datang untuk memberimu sebuah pengajaran, bahwa kau harus menikmati setiap kebersamaan yang kau lewati, sebelum kesunyian datang membawakan penyesalan atas kebersamaan yang pernah kau abaikan. Jonathan duduk bersandar di kursi kebesarannya. Hari itu seolah tiada gairah. Pria itu memutar-mutar kursi yang dia duduki dengan malas, semua roda di kaki kursi seolah mengayunkannya untuk memberinya kenyamanan, menuruti ke arah mana kaki pria itu mendorong mereka untuk bergulir.Tanpa terasa satu bulan telah berlalu saat Jonathan kembali ke Auckland. Tidak satu pun kabar datang dari Axel dan Amelie. Pria itu menatap pada layar ponsel yang hitam di atas meja dan meraihnya. Tidak satu pun notifikasi masuk, seakan kesunyian sedang mentertawakannya saat itu. Jonathan membuka layar kunci pada smartphone miliknya dan mencari nama Amelie di jajaran kontak. Ibu jari pria itu berhenti menscroll saat tiba di nama Amelie. Dia ingin menelepo
"Jadi, apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Marie bertanya sembari menatap lurus ke arah Jonathan. Pria itu jauh terlihat lebih tenang dari pada saat pertemuan mereka yang pertama. "Aku akan mencoba memenangkan hatinya kembali, Nek." kedua tangan Jonathan saling memilin di atas pangkuan. "Setelah memenangkan hati cucuku, apa yang akan kau lakukan jika suatu hari datang kepadamu seorang wanita yang jauh lebih cantik?" kedua kelopak mata Marie yang penuh dengan kerutan usia menyipit, menatap tajam kepada pria di hadapan seolah sedang mengintrogasi. "Aku berjanji akan mengabaikan wanita itu. Berpisah dengan Amelie membuatku kehilangan separuh nyawa." hiperbola dalam perumpamaan Jonathan. "Jika aku tahu dia akan berjuang sekeras itu dan memilih mempertahankan anak kami, mungkin sedari awal aku akan memilih pergi bersamanya. Tidak peduli dengan keputusan ibuku yang tidak akan menganggapku sebagai anaknya setelah itu." "Sekali pun kau hidup susah bersama Amelie setelah itu? Bagaimana