Bagaimana rasanya bertahan hidup dalam bayang-bayang penyesalan? Akankah kedamaian bisa tetap kau rasakan, disaat kepahitan penyesalan terasa seakan mencekik dan memaksamu untuk mengakhiri hari saat itu juga? Jonathan termangu dengan kedua tangan tersimpan di dalam saku celana. Tatapan mata pria itu menatap pemandangan kota Auckland dari atas gedung perusahaan. Cuaca siang itu sedikit panas, matahari bersinar cukup terang seakan membuatnya silau, nyaris terpejam, namun dia enggan untuk masuk ke ruangannya. Dia butuh waktu untuk menyendiri saat ini.Seorang pria tua berjalan mendekati Jonathan dengan wajah tersenyum bangga. Dia tidak menyangka, keputusan memberi cuti untuk Jonathan adalah keputusan yang tepat. Buktinya, kondisi Jonathan menjadi lebih baik dan produktif seperti sebelumnya."Ayah bangga dengan target penjalan yang kau capai bulan ini, Jo. Ayah tidak menyangka kau akan bangkit secepat ini." dengan kedua tangan tersimpan di saku celana Edmund berucap. Menatap lurus pada p
Terkadang, kesunyian datang tanpa maksud untuk menyiksa. Sunyi datang untuk memberimu sebuah pengajaran, bahwa kau harus menikmati setiap kebersamaan yang kau lewati, sebelum kesunyian datang membawakan penyesalan atas kebersamaan yang pernah kau abaikan. Jonathan duduk bersandar di kursi kebesarannya. Hari itu seolah tiada gairah. Pria itu memutar-mutar kursi yang dia duduki dengan malas, semua roda di kaki kursi seolah mengayunkannya untuk memberinya kenyamanan, menuruti ke arah mana kaki pria itu mendorong mereka untuk bergulir.Tanpa terasa satu bulan telah berlalu saat Jonathan kembali ke Auckland. Tidak satu pun kabar datang dari Axel dan Amelie. Pria itu menatap pada layar ponsel yang hitam di atas meja dan meraihnya. Tidak satu pun notifikasi masuk, seakan kesunyian sedang mentertawakannya saat itu. Jonathan membuka layar kunci pada smartphone miliknya dan mencari nama Amelie di jajaran kontak. Ibu jari pria itu berhenti menscroll saat tiba di nama Amelie. Dia ingin menelepo
"Jadi, apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Marie bertanya sembari menatap lurus ke arah Jonathan. Pria itu jauh terlihat lebih tenang dari pada saat pertemuan mereka yang pertama. "Aku akan mencoba memenangkan hatinya kembali, Nek." kedua tangan Jonathan saling memilin di atas pangkuan. "Setelah memenangkan hati cucuku, apa yang akan kau lakukan jika suatu hari datang kepadamu seorang wanita yang jauh lebih cantik?" kedua kelopak mata Marie yang penuh dengan kerutan usia menyipit, menatap tajam kepada pria di hadapan seolah sedang mengintrogasi. "Aku berjanji akan mengabaikan wanita itu. Berpisah dengan Amelie membuatku kehilangan separuh nyawa." hiperbola dalam perumpamaan Jonathan. "Jika aku tahu dia akan berjuang sekeras itu dan memilih mempertahankan anak kami, mungkin sedari awal aku akan memilih pergi bersamanya. Tidak peduli dengan keputusan ibuku yang tidak akan menganggapku sebagai anaknya setelah itu." "Sekali pun kau hidup susah bersama Amelie setelah itu? Bagaimana
Amelie terbangun dan terkejut saat mendapati posisi tubuhnya berubah. Lengan Amelie dan Jonathan saling memeluk. Wanita itu segera menghempaskan lengan kekar Jonathan yang memeluk tubuhnya. "Kenapa kau bisa semudah itu memelukku? Dasar pria mesum," Amelie menggerutu sembari berjalan ke toilet. Suara keran air dan suhu dingin air menyentuh kulit wajahnya yang seketika membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Wanita itu menatap pantulan bayangannya di cermin. Amelie menepuk-nepuk wajahnya, dan seketika mengaduh karena tepukan itu terasa perih."Aw!" rasa sakit yang dia rasakan menyadarkannya, malam yang dia lalui bersama Jonathan bukanlah mimpi, itu sebuah kenyataan. Bahkan tepukan pada pipinya menyisahkan bekas merah. Kedua mata Amelie terpejam dengan kedua tangan menopang tubuh di pinggiran washtafel. Sebuah pertanyaan yang menggelitik hatinya muncul. Apakah bertemu dengan Jonathan kembali adalah sebuah takdir? Amelie menghela nafas sembari berjalan kembali menuju kamar. Namun saa
Hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan bagi Axel. Dia bisa merasakan berakhir pekan dengan kedua orang tuanya di tempat-tempat yang dia sukai, hal yang selalu menjadi impiannya semenjak dia sering mempertanyakan keberadaan ayahnya."Ayah, apakah Ayah tahu? Hari ini aku senang sekali bisa pergi bertamasya bersama kedua orang tuaku." gumam Axel saat perjalanan pulang. Sesaat setelah itu Axel menguap, dan perlahan kedua matanya terpejam.Jonathan mengelus kepala Axel yang duduk di pangkuan Amelie, sementara satu tangannya tetap memegang kemudi. "Ayah juga sangat bahagia, Sayang. Kita bisa berakhir pekan bertiga setelah menjalani hari-hari yang melelahkan." Amelie tersenyum. Dalam hati dia mengiyakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama."Dia sudah tertidur, Jo," bisik Amelie sembari mengelus kepala Axel. Rambut yang dia genggam sudah bertambah panjang, seingat Amelie baru dua bulan lalu dia mengantar Axel ke barber shop.Roda terus bergulir, saat Amelie melihat ke arah luar
Jantung Amelie berdebar kencang saat dia membuka selimut yang menutupi tubuh. Tidak sehelai pun pakaian yang menempel pada tubuhnya. Bergegas wanita itu membersihkan diri setelah pergulatan dengan Jonathan semalam.Di bawah pancuran shower yang menyirami sekujur tubuhnya dengan air, Amelie memejamkan kedua matanya. Dia mengingat kejadian tadi malam, dan merutukki dirinya yang bisa dengan mudah membiarkan Jonathan menikmati tubuhnya. 'Bodoh! Dasar Amelie bodoh! Bagaimana jika setelah ini dia pergi meninggalkanmu lagi? Mengapa semalam aku tidak memintanya memakai pelindung?' batin Amelie yang mulai di landa cemas. Kedua tangannya perlahan meremas rambutnya yang basah hingga rasa sakit akibat tarikan terasa.Kepala wanita itu menggeleng, berusaha menepis segala kemungkinan dan prasangka buruk terhadap Jonathan. Namun semakin berusaha menepis, semua prasangka buruk itu semakin brutal menyerang kepalanya. ....................."Amelie, pagi sekali kau bangun?" Jonathan mengerjabkan kedua
Matahari semakin beringsut menuju peraduan, menyisahkan warna orange di batas cakrawala. Kedai mulai sepi dari pengunjung, satu per satu di antara pengunjung Demiurge mulai meninggalkan kedai setelah selesai dengan aktivitas mengisi perut. Amelie mengelap meja dengan kain lap sebagai penutup aktifitas di kedai sore menjelang malam. Di saat yang bersamaan, Emery yang baru saja keluar dari ruangan Benitto menghampiri wanita itu dengan membawa kain lap, melakukan aktifitas yang sama di sebelah meja yang Amelie bersihkan. Emery berdeham untuk membuat Amelie menyadari keberadaannya. Seketika wanita anggun itu menoleh, dan menyapa Emery dengan wajah ramah."Hey," sapa Amelie yang kemudian kembali menatap meja yang sudah mengkilap, dapat dia lihat pantulan wajahnya di atas meja berlapis pernis itu. Emery tidak bisa menahan keingin tahuannya terhadap pertemuan sahabatnya dengan seorang pria yang Axel ceritakan padanya siang tadi."Maaf, Amelie, aku berharap kau tidak tersinggung jika aku b
Amelie mengerjabkan kedua mata saat rasa kantuk masih bergelayut di kedua matanya. Dia harus bangun untuk bersiap bekerja dan mengantar Axel ke sekolah, namun tubuhnya seolah enggan untuk bangkit, serasa melekat di atas kasur yang saat ini dia tempati. Sesaat kedua matanya terpejam untuk mengingat-ingat apa saja yang sudah dia rasakan akhir-akhir ini. Amelie merasa kurang enak badan akhir-akhir ini. Sering kali nyeri kepala tiba-tiba menghampiri, dan buah dadanya terasa nyeri. Indra penciumannya menjadi sensitif. Kedua alis Amelie bertaut, baru kemudian wanita itu bangkit dari ranjang dengan sedikit tergesa dan menyambar ponsel di atas nakas, untuk membuka aplikasi periode menstruasi dan melihat kapan menstruasi terakhirnya. Entah mengapa saat hendak membuka aplikasi periode di ponselnya, tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Seolah-olah dia sudah yakin jika jawaban yang dia dapatkan adalah sesuatu yang akan mengecewakan dan mengguncang kewarasannya. Wanita yang masih berbalut piy