Suasana duka menyelimuti kediaman keluarga Hayes. Kiriman karangan bunga beraneka warna sebagai ucapan berbela sungkawa berjajar rapih, nama Elena Caroline Victor tidak terlepas dari masing-masing karangan bunga disana, membuat suasana sendu mendominasi. Jonthan menyaksikan keadaan di luar melalui jendela kamar dengan dua tangan tersimpan di saku celana. Nama Elena tidak luput dari setiap karangan bunga yang datang, lalu pria itu berbalik badan, menatap ranjang tempat biasanya Elena berbaring, namun hanya kehampaan yang dia dapati. Matanya terpejam, menghirup aroma wewangian Elena yang masih tertinggal disana. Namun hal itu membuatnya merasa bersalah. Kata maaf yang diucapkan setelah Elena pergi tidak akan sampai.Suara ketukan pintu terdengar dari luar yang seketika membuatnya menoleh ke arah sumber suara."Jo, pelayat sudah berdatangan. Keluarlah untuk menemui mereka." pinta Edmund yang berwajah sendu dari balik pintu kamar. Pria itu menipiskan bibir sembari menunduk mendekatkan wa
Jonathan menarik nafas dalam saat kesunyian menyapanya di dalam kamar. Tidak ada lagi Elena, tidak ada lagi Ella. Ruangan itu terasa sepi dan terasa lebih dingin dari waktu sebelum Elena berada di dalam sana. Penghangat ruangan seolah tidak bekerja dengan baik. Jontahan menyentuh barang-barang Elena yang ada di sana. Piyama Elena yang tergantung di dalam almari, jajaran make up di meja rias, tas mewah yang selalu wanita itu tenteng saat bepergian. Semua permukaan benda itu terasa dingin saat disentuh, bayangan saat terakhir hidup Elena berkelibat di kepala; jeritan yang memekikkan dan kedua matanya yang terbuka lebar saat darah segar mengalir dari kepalanya.Seketika Jonathan menjauhkan tangannya dari benda-benda itu, merasa jika dirinya secara tidak langsung menjadi penyebap kematian wanita malang itu. Seandainya dia tahu akan seperti ini jadinya, dia akan memilih diam mengetahui kebohongan terbesar Elena, dan mengabdikan sisa umur yang dia punya untuk wanita yang telah membohonginya
Kontak mata antara Amelie dan Jonathan tidak lagi dapat di hindari. Kedua manik hazel Amelie menatap Jonathan penuh perasaan benci, rahang wanita itu terlihat mengeras dengan tegas. Suasana ramai di sekitar seolah tak terlihat, seakan-akan hanya mereka berdua yang ada di hall kedai yang cukup luas itu. Jonathan menatap dalam pada Amelie yang memasang wajah dingin. Wanita itu sangat jauh berbeda dari gadis lugu yang dia kenal dulu. Dia terlihat begitu tangguh dan jauh pemberani dari Amelie gadis pemalu yang dulu. Kendati begitu, keanggunan dan kecantikannya tidak lekang di makan waktu. Amelie menyelipkan rambut yang tidak terikat di balik telinga, memperlihatkan pahatan wajah yang sempurna, maha karya dari Sang Pencipta yang membuat pria itu terus dibayangi wajah rupawan wanita itu setiap hari. Bibir Jonathan membantuk lengkungan alami, kabut yang menyelimuti hatinya seketika terhempas oleh pesona Amelie yang membawa hembusan angin laut sejuk membelai hatinya.Axel yang saat itu be
Jonathan kembali ke penginapan saat hari sudah menjelang siang. Waktu pagi dia lalui dengan duduk termenung di sebuah kursi taman, tepatnya di Waikato River Walk. Bayangan pertemuan pertamanya setelah berpisah lama dengan Amelie sangat jauh dari yang dia harapkan. Pria bertubuh atletis itu masuk ke dalam kamar penginapan dengan menjinjing kantong makanan berlogo take away, berisi burger yang dia beli dari restaurant cepat saji saat perjalanan kembali ke penginapan. Dengan enggan Jonathan membuka kertas yang membungkus makanan itu, dan mulai mengunyahnya dengan malas. Makanan yang dia beli hanya untuk mengganjal perut yang menjeritkan lapar, seandainya tadi dia tidak merasakan badannya terhuyung karena kehabisan energi, mungkin pria itu akan tetap bertahan untuk tetap duduk termenung tanpa mengisi perutnya dengan makanan, setidaknya sampai hari gelap. Itu semua karena penolakan yang dia terima pagi tadi. Bayangan wajah Amelie dan bocah laki-laki yang dia temui di kedai tadi pagi kem
Seorang pria menarik nafas dalam saat keraguan kembali menghampiri. Kedua matanya menatap lurus pada kedai di hadapan, sengaja pria itu menunggu sampai situasi kedai tidak terlalu ramai. Cukup lama Jonathan berdebat dengan pikirannya, sehingga pria itu mencengkram erat kemudi mobilnya dengan gigi bertaut, menimbulkan bunyi gemeretak. "Tidak, tidak bisa kalau hanya diam disini," gumam Jonathan memutuskan keluar dari mobilnya kemudian. Pria itu melenggang masuk ke Demiurge dengan tangan kosong, memilih untuk menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana. Mungkin dia bisa membawa bunga agar terkesan memohon dengan cara yang romantis, tetapi mengingat sikap Amelie yang dingin padanya, dia memilih untuk mengurungkan niatnya, menghindari jika wanita itu malah memukulkan bucket bunga yang dia bawa ke wajah ruapawannya. Para pelayan yang saat ini sedang berbincang di depan counter menatap pada pria tampan yang baru saja masuk. "Lihat, bukankah dia Jonathan Hayes?" ucap Anne dengan tatapa
Emery dan Benitto yang baru saja datang ke kedai memasang wajah penuh tanya begitu mendapati tiga pelayan wanita sedang mencoba menenangkan Amelie yang menangis. Emery langsung menghampiri mereka, dia turut prihatin dengan Amelie yang kerap diganggu para pria semenjak bekerja di kedai milik ayahnya. "Apa yang terjadi padanya?" tanya Emery dengan tatapan bertanya dan khawatir. Kedatangan Benitto di belakang puterinya menarik perhatian Julie dan Anne untuk memberi perhitungan kepada pengunjung kedai yang sudah membuat sahabat mereka menangis. "Tuan Jonathan Hayes yang sudah membuatnya begini, Pak," ucap Julie tanpa Benitto bertanya. Pria itu menatap ke sekeliling dengan dahi mengernyit, benarkah putra orang ternama di Auckland yang akhir-akhir ini menjadi narasumber atas kematian istrinya datang ke kedainya yang sederhana itu? Tatapan mata Benitto berhenti saat mendapati sosok yang diceritakan pelayan kedainya. "Sebaiknya kau berusaha bertanya apa maksud kedatangannya, Ayah, aku k
Senja kian menjingga, hari akan segera berganti dan gelap malam akan segera menguasai. Di jam kerja yang telah usai, Gideon melalukan hal yang diam-diam dia lakukan tanpa sepengetahuan Amelie, mengamati wanita itu keluar dari kedai dan mengintainya saat perjalanan pulang, untuk memastikan dia baik-baik saja saat tiba di rumah.Kebiasaan itu sudah berjalan semenjak Amelie memintanya tidak lagi muncul di hadapannya. Gideon mulai menyalakan mesin mobil mustang berwarna merah yang dia pinjam dari temannya, karena akan membuat Amelie curiga jika dia menggunakan mobilnya. Wanita itu dan Axel sudah sangat familiar dengan mobil miliknya. Pria itu melajukan mobil dengan kecepatan rendah, menyesuaikan kecepatan Amelie dan Axel yang berjalan kaki. Namun secara mengejutkan, tiba-tiba mobil berwarna black shapphire metallic mendekati Amelie dan Axel. Gideon mengernyit, siapa orang yang mengemudikan mobil di depan? Namun tampaknya Amelie mersepons dengan raut wajah dingin. Apakah seseorang berusa
Jonathan segera keluar dari kerumunan setelah mendapati Amelie dan Axel tidak lagi berada di sana. Pria itu menghampiri mobilnya dengan sedikit berlari, sembari megedarkan pandangan, namun tidak mendapati Amelie dan puteranya di antara para pejalan kaki yang ada di sana. Tanpa membuang waktu, pria itu masuk dan membanting pintu mobil. Menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal gas dengan kecepatan 40. Kedua manik birunya tidak berhenti menyisir jalanan yang dia lalui. Desir kecewa dia rasakan saat tiba di sebuah persimpangan, Amelie tak juga di temukan. Suara klakson kendaraan lain membuat Jonathan kesal lantaran mengganggu konsentarasinya, antara berbelok ke kanan atau kiri. "Shit!" umpatnya sembari melihat ke belakang melalui kaca sepion atas. Seorang pria menghentikan mobilnya tepat di belakang mobil Jonathan melongokkan kepala dari jendela."Hey, Bung, kau menghalangi jalanku," pria itu mengacungkan jari tengah yang seketika membuat Jonathan kesal. "Simpan tenagamu, Jo, ada h