Suasana di meja makan tampak sepi dari biasanya. Tiga orang yang berada di sana fokus pada alat makan yang ada dalam genggaman. Edmund, sebagai seorang suami tidak dapat menyembunyikan raut kesedihannya, karena pagi ini istrinya tidak ada di sisinya untuk sekedar menikmati makan pagi.Elena meliri ke arah suara derap kaki yang terdengar. Melalui kerlingan mata, wanita itu bisa melihat Irene yang berjalan ke arah kamar Theresia dengan baki berisi makanan. Saat itu juga Elena meletakkan alat makan dan bangkit berdiri. Membuat dua pria yang ada di sana menatap wanita itu dengan tatapan bertanya. Elena berjalan mendekati Irene dan memanggil nama wanita paruh baya tersebut untuk menghentikan langkahnya. "Biar aku saja yang mengantar makanan itu untuk ibu." pinta Elena yang tentu saja tidak dapat ditolak oleh Irene. Wanita itu menengadahkan telapak tangan, memberi isyarat agar Irene menyerahkan baki yang Irene bawa."Biar Irene saja yang mengantar makanan untuk ibumu, Elena. Sebaiknya k
"Bertahanlah, Elena," pinta Jonathan dengan raut kepanikan yang tidak kunjung pergi dari wajah rupawannya. Ucapan Jonathan hanya mendapat respon kedipan pelan dan sayu dari Elena. Jonathan harap, Elena dan bayi dalam kandungannya bisa selamat. Dia tidak dapat membayangkan sebesar apa perasaan bersalahnya terhadap Elena jika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Beberapa orang melihat ke arah ranjang dorong yang digunakan untuk membawa Elena. Raut panik yang mereka lihat di wajah Jonathan membuat mereka seketika memberi jalan untuk lewat.Seorang suster memberinya isyarat yang seketika menghentikan Jonathan untuk tidak ikut masuk ke dalam ruang instalasi gawat darurat. Pintu ruangan di hadapan tertutup. Jonathan lantas mengusap kasar wajahnya saat membayangkan kemungkinan buruk yang mungkin dapat terjadi. Pria itu berjalan hilir mudik dengan gesture gelisah.Sama halnya dengan Jonathan, Edmund juga mengalami kepanikan yang sama. Hanya saja, pria tua itu bisa dengan mudah menenangkan d
Malam semakin larut, suhu udara terasa semakin dingin. Tangisan bayi mengusik pendengaran Elena yang masih terlelap dalam tidur. Mata wanita itu mengerjap untuk mendapati siluet seorang pria yang sedang menengangkan Ella dengan cara mengayunkan ranjang bayi di sebelah ranjang utama. Elena tersenyum, pria itu tampak begitu tulus menyayangi Ella.Prlahan Ella berhenti menangis. Bayi perempuan itu kembali terlelap dalam tidurnya. Kedua sudut bibir Jonathan tertarik ke atas, membentuk lengkungan pada bibir ranumnya. Bisa membuat Ella berhenti menangis menyisahkan kepuasan tersendiri di hati Jonathan. Tiba-tiba saja pikiran pria itu melayang pada serangkaian tes DNA yang dia lakukan beberapa waktu lalu. Siapkah Jonathan menerima kenyataan, seandainya hasil tes menunjukkan jika Ella bukanlah anak kandungnya? Akankah rasa sayangnya terhadap Ella luntur seketika? .....2 minggu telah berlalu semenjak Jonathan mengajukan sample darah untuk keperluan tes DNA. Pagi itu dia hendak berangkat l
Jonathan kembali ke parkiran tempat dimana dia memarkirkan mobilnya. Detak jantungnya tidak terkendali, seakan-akan hendak melompat keluar. Dia tidak yakin, apakah sebaiknya dia membuka amplop berisi hasil test DNA yang dia bawa. Setelah masuk ke dalam mobil, pria itu membanting punggung pada sandaran jok mobil dan menghela nafas panjang, dia tampak menimbang, haruskah dia membukanya sekarang, atau memilih menyimpannya saja? Dia tidak siap untuk kecewa, jika seandainya Ella terbukti bukan anak kandungnya. Dia begitu menyayangi Ella.Dengan gelengan penuh frustasi, akhirnya Jonathan memilih untuk membuka segel secara kasar pada amplop yang sedari tadi tampak menantang dirinya. Pria itu membaca teks dalam surat hasil test secara runut. Kedua matanya menyipit saat mendapati hasil test yang dicantumkan dalam surat tersebut, yang menyatakan bahwa Ella bukanlah anak kandungnya. Jonathan menggenggam erat kertas di tangan, hingga menyisahkan kusut ada bagian yang ia genggam. Jantungnya berd
Elena menggendong Ella dengan posisi mendekatkan wajahnya dengan wajah bayi perempuan itu. Melalui jendela, Elena ingin memperlihatkan kepada Ella pemandangan langit Auckland yang biru dengan sedikit awan putih berarak. Hari itu cuaca sangat cerah, tentu saja matahari di luar rumah akan terasa memanggang kulit siapa saja yang berada di bawahnya. "Kau lihat di sana, Sayang? Langit itu indah, hari ini matahari bersinar dengan sangat cerah. Ibu harap, hari-hariku bersamamu akan seindah langit dan secerah matahari menyinari siang ini." ucap Elena kepada bayi yang hanya diam dan mengedipkan matanya. Perbincangan penuh kata mesra dari seorang ibu kepada anaknya terus berlanjut, Elena menganggap seolah bayi dalam gendongannya mengerti apa yang sedang dia bicarakan. Suara dering telepon seketika mengusik pendengaran, menjeda percakapan Elena dengan bayi dalam gendongannya. Kedua matanya mengerling pada benda pipih yang terus memanggilnya di atas ranjang. Layar benda itu tampak menyala, namu
Kedua telapak tangan Elena menutup bibir yang menganga cukup lebar. Wanita itu panik dan melihat ke segala arah, khawatir jika ada yang melihat kejadian barusan."Apa yang kau lakukan, Elena," desis Asher dengan kedua mata melotot. Dalam ketakutan yang sama pria itu memegangi kepala dengan kedua tangan. Bagaimana jika sesadarnya Theresia nanti wanita itu menceritakan kedatangannya ke rumah Keluarga Hayes? "Ini semua gara-gara kau, pergilah sekarang dan jangan sampai ada yang melihatmu," pinta Elena yang langsung pergi menuju kamarnya di lantai dua. Sesekali dengan perasaan takut Elena kembali menoleh ke arah tubuh wanita yang terbaring di atas lantai tadi. Dengan nafas terengah-engah Elena menutup pintu kamar. Diliputi kegelisahan atas apa yang baru saja dia lakukan, Elena hanya bisa berjalan hilir mudik dengan menggigit kuku jari. Tangan wanita itu dingin dan basah oleh keringat.Elena takut, jika Theresia mengalami kondisi membahayakan akibat benturan pada kepalanya karena Elenala
Hari Minggu kali ini terasa jauh berbeda dari minggu-minggu sebelumnya. Biasanya di akhir pekan mereka akan menghabiskan waktu di villa keluarga yang berada di Pelabuhan Waitemata. Sapuan angin laut terasa menenangkan, pemandangan pelabuhan yang indah sangat menghibur, sehingga berakhir pekan di Pelabuhan Waitemata adalah pilihan yang tepat untuk menyegarkan pikiran yang lelah.Jonathan menggigit bibir bagian bawahnya cukup kuat, menyisahkan aroma amis darah akibat gigitanya sendiri. Dia harus menerima kenyataan pahit yang sulit untuk dia terima, seorang wanita yang dinomor satukan dalam hidupnya terduduk di kursi roda dalam keadaan yang sangat rapuh. Tatapan Theresia terlihat kosong. Bibir yang biasanya banyak bicara kini tertutup rapat, wajah pucat dan tanpa ekspresi solah memperlihatkan bahwa tidak ada lagi gairah untuk menjalani hidupnya. Dia lebih terlihat seperti mayat hidup. Dibawah paparan sinar matahari pagi yang menghangatkan Jonathan berjongkok untuk bisa menyamai posisi
Suasana duka menyelimuti kediaman keluarga Hayes. Kiriman karangan bunga beraneka warna sebagai ucapan berbela sungkawa berjajar rapih, nama Elena Caroline Victor tidak terlepas dari masing-masing karangan bunga disana, membuat suasana sendu mendominasi. Jonthan menyaksikan keadaan di luar melalui jendela kamar dengan dua tangan tersimpan di saku celana. Nama Elena tidak luput dari setiap karangan bunga yang datang, lalu pria itu berbalik badan, menatap ranjang tempat biasanya Elena berbaring, namun hanya kehampaan yang dia dapati. Matanya terpejam, menghirup aroma wewangian Elena yang masih tertinggal disana. Namun hal itu membuatnya merasa bersalah. Kata maaf yang diucapkan setelah Elena pergi tidak akan sampai.Suara ketukan pintu terdengar dari luar yang seketika membuatnya menoleh ke arah sumber suara."Jo, pelayat sudah berdatangan. Keluarlah untuk menemui mereka." pinta Edmund yang berwajah sendu dari balik pintu kamar. Pria itu menipiskan bibir sembari menunduk mendekatkan wa