Noel menatap tak suka kepada tiga temannya yang saling berbisik, mereka sedang merencanakan sesuatu yang buruk terhadap Axel, dan Noel sama tidak tertarik untuk terlibat di dalam rencana mereka.Noel mengamati ketiga temannya dari sudut mata, mereka tampak tersenyum dan tertawa. Hal itu semakin membuat Noel merasa tidak nyaman berada di dekat mereka. Jam istirahat tiba. Stella, Brandon, dan Davin saling berbagi tepukan tangan, mengisyaratkan kekompakkan dalam melakukan aksi mereka. Saat Stella hendak mengajak Noel berbagi tepukan telapak tangan, anak laki-laki itu melipat kedua tangan di depan dada, menunjukan ketidak setujuan atas rencana buruk yang akan mereka lakukan. Stella hanya mengedikkan bahu, dan menatap Noel dengan tatapan tak peduli sebelum akhirnya berlalu dari bangku mereka."Hai, Axel," sapa bocah perempuan itu saat tiba di depan meja Axel.Axel yang mendapati entitas Stella di depan mejanya menoleh ke arah gadis kecil itu, tangannya berhenti membuka kotak bekalnya yang
Pagi itu suasana kelas cukup riuh. Masing-masing siswa sedang menyiapkam nama orang yang paling mereka sayangi untuk diceritakan di depan kelas atas perintah dari guru mereka, Mia. Tak terkecuali Axel dan Nora. Dan entah sejak kapan, kini kedua anak tersebut duduk di bangku bersebelahan."Axel, siapa yang akan kau ceritakan di depan kelas nanti?" tanya Nora setelah menatap teman-teman di sekeliling. Dua tangan gadis itu terlipat di atas meja.Meski tanpa Axel menjawab, Nora sudah tahu jika Axel akan menceritakan ibunya. "Tentu saja Ibuku, Nora." jawab Axel penuh percaya diri, lalu memasang ekspresi wajah menyesal setelahnya. Membuat Nora menatap Axel dengan alis bertaut. "Maaf, Nora, tapi aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu tersinggung." reflek tangan Axel memehangi tangan Nora. Gadis kecil itu tersenyum saat memperhatikan wajah Axel yang diliputi kegelisahan, Axel takut jika ucapannya membuat Nora sedih dan tersinggung sebagai anak yang besar tanpa didampingi sosok ibu."Aku s
Amelie melipat kedua tangan di depan dada. Berulang kali perempuan itu menarik siku untuk memeriksa jam tangan yang melingkar di pegelangan tangannya. Seharusnya jam pelajaran sudah usai lima belas menit lalu. Perempuan itu berdecak saat mendapati kenyataan harus kembali menunggu. Bagian bawah rok putih yang dia kenakan tampak berayun-ayun diterpa angin yang berhembus siang itu. Angin juga berhasil menerbangkan rambut panjangnya yang semula disisir rapih. Membuatnya tampak semakin anggun."Permisi, kau bisa menggunakan ini," ucap Dorothy menyodorkan sebuah ikat rambut berpita putih buatan tangannya. Amelie yang semula sibuk menahan terpaan angin yang menerbangkan rambut panjangnya menoleh, tampak wanita tua tersenyum ramah dengan satu tangan di udara memegangi ikat rambut."Sungguh?" tanya Amelie dengan raut sumpringah."Tentu, ambilah," Dorothy mengangguk. "Pita itu sangat sesuai dengan pakaian yang kau kenakan, Nona.""Terima kasih, Nyonya. Ikat rambut ini sangat cantik." jawab Am
Tinggal di kediaman Keluarga Hayes yang megah bagai istana adalah dambaan bagi setiap orang. Semua fasilitas tersedia untuk melakukan hobi yang ingin dilakukan: kolam renang, ruang gym jika kau ingin berolahraga, atau mencium harum alami beraneka ragam bunga yang ditanam di taman. Atau mungkin mini bar? Semua hal pelepas penat tersedia disana. Seorang wanita berambut pirang berjalan hilir mudik di depan kolam renang. Tangannya menggigit buku jari yang terkepal. Apa yang Theresia lakukan terhadapnya akhir-akhir ini membuat hidupnya di rumah mewah tersebut terasa bagai terpenjara, dimana setiap dinding yang ia lihat penuh dengan lumut kebosanan."Aku bosan terus-terusan hidup seperti ini," gumam Elena dengan nada gusar, lebih pada dirinya sendiri. "Bagaimana jika sampai tujuh bulan aku tak kunjung hamil?" Elena menatap nanar pada riak air kolam yang menyaksikan kegusarannya dalam diam. "Oh, tidak! Tidak! Aku pasti lekas hamil, jika pun aku tak kujung hamil, akan ku bunuh Theresia den
Jonathan tak melepas atau meregangkan sedikit pun cengkramannya pada lengan Elena. Ringisan dan teriakan Elena sama sekali tidak dihiraukan, rahang pria itu semakin mengeras dan menyeret Elena masuk ke dalam kamar. Jonathan menghempaskan Elena di atas ranjang, rambut panjang wanita itu berhamburan menutupi wajahnya yang terperanjat. Suara bantingan pintu menggema di seluruh ruangan. Kerasnya bantingan pintu membuat jendela seolah bergetar. Atmosfer ketegangan mulai terasa. Tampak Jonathan yang masih berdiri sedang menekan tombol telepon. Tombol dial ditekan, nada hubung mulai terdengar. "Datanglah ke kamar sekarang." ucap pria itu singkat kepada seseorang di seberang sambungan, lalu mematikan sambungan telepon. Benda pipih yang ada dalam genggaman ia lempar ke atas ranjang, nyaris mengenai wajah Elena jika saja wanita itu tidak menghindarinya.Perlahan Elena bangkit dari posisi berbaring dan duduk di bibir ranjang. Rasa gusar masih memenuhi pikirannya. Amarah yang tadi meluap-luap
Waktu menunjukan pukul empat sore, Amelie menaiki tangga ke ruang istirahat pegawai untuk mendapati keberadaan Axel. Saat pintu dibuka, bocah laki-laki itu menoleh menampilkan sepasang lesung pipit. "Axel, ini sudah pukul empat, bersiaplah. Ibu akan segera kembali setelah menemui Kakek Benitto." ucap Amelie yang seketika berbalas anggukan dari Axel. Semenjak Amelie membawa Axel ke tempat kerja, panggilan 'Kakek' langsung Benitto sematkan saat pertama memperkenalkan dirinya pada Axel yang waktu itu masih belum cukup mengerti. Lambat laun menjadi terbiasa. Axel menjalin hubungan yang cukup akrab dengan Benitto. Pria pemilik kedai tersebut selalu menyapa Axel dengan riang setiap matanya mendapati entitas bocah laki-laki menggemaskan tersebut. "Ibu jangan lupa sampaikan kepada Kakek Ben, Axel akan menghadiri ulang tahun Nora." pinta Axel dengan nada polos. Anak itu selalu menceritakan setiap hal yang menurutnya menarik kepada orang-orang terdekatnya. Kepolosan Axel tentu saja berhasil
Sang surya mulai kembali ke tempatnya berpulang. Menyisahkan langit yang kini berhias dengan warna lembayung oranye. Pemandangan senja selalu menenangkan, dan selalu berhasil memanjakan siapa saja yang melihatnya. "Anda terlihat cantik sore ini, Miss Amelie." puji Dorothy sambil mengulurkan tangan. Amelie menyambut uluran tangan Dorothy dengan perasaan senang. Tangan kirinya yang bebas menyelipkan rambut di balik telinga."Terima kasih atas pujiannya, Nyonya." jawab Amelie yang kini berganti mengulurkan tangan pada pria tua yang menggunakan topi baret. Bance Pane, kakek dari Nora. Pria itu tersenyum ramah yang seketika membuat kecanggungan Amelie luntur. "Perkenalkan, saya Bence Pane." ucap pria tua tersebut dengan senyum hangat. "Saya Amelie. Ibu dari Axel." kepala Amelie mengangguk dengan satu tangan menempel pada dada. "Hadiah untukmu, Nora," Axel memberikan sebuah kado ulang tahun yang telah dipersiapkan bersama Amelie."Apa isinya?" gadis kecil itu tampak menimang-nimang kot
Lagu selamat ulang tahun baru saja dinyanyikan di ruang makan beraksen kayu itu, tepat pukul lima sore. "Make a wish," ucap Dorothy mengingatkan, saat gadis kecil itu nyaris meniup api pada lilin angka lima yang terletak di tengah kue tart. Kedua kelopak matanya yang jernih terpejam, kedua tangan gadis itu bertaut di depan dada. Tampak sebuah senyuman terulas dari wajahnya yang rupawan. Setelah selesai mengucap doanya dalam hati, lilin pun ditiup, menyisahkan asap yang tampak meliuk dari bekas sumbu lilin yang terbakar. "Apa doa yang kau panjatkan di hari ulang tahunmu kali ini?" tanya Axel yang sudah tidak sabar mencicipi kue tart. Kedua tangan Axel terlipat di atas meja, sedang manik biru jernihnya terus mengerling ke arah kue tart dan Nora secara bergantian. Hal tersebut membuat Nora mendengus kesal."Aku berdoa, semoga aku dan kamu bersahabat untuk selamanya, Axel." jawab gadis itu tanpa melihat Axel. "Benarkah?" Axel berusaha memastikan. "Hemm," Gadis itu memotong kue tart d