Lampu merah sudah berganti menjadi hijau.Orang- orang di belakang sibuk melambaikan tangan dengan isyarat menghalau Habiba dan Tomy yang masih diam di tempat. Tomy memerintah tukang ojek, “Jalan, Pak!”Tukang ojek menjalankan motor. Habiba menghela napas kasar. Dia ditinggal pergi begitu saja oleh Tomy.Sial! Berderet mobil di belakang mobilnya pun membunyikan klakson, suaranya bertubi- tubi, melengking memekakkan telinga. Habiba berlari mendekati mobilnya menyeberangi jalan, hampir terserempet mobil lain dan membuat pemilik mobil mengumpat.Habiba mengangkat tlapak tangan ke atas sebagai isyarat permintaan maafnya kepada orang- orang di belakangnya yang merasakan akses jalannya terhambat sambil memasuki mobil.Sial sekali nasib Habiba kali ini. Orang- orang pun mengumpatinya.“Sabar! Sabar! Oke, aku akan menjalankan mobil secepatnya."Mobil melesat.***Habiba menghempas duduk di balik meja, di kursi putar tempat kerjanya. Ia memutar- mutar kursinya. Matanya sesekali terpejam, meng
Sebelum semuanya jelas, Habiba tak mau ada yang mengetahui hubungan antara dirinya dengan Husein. takutnya mereka malah salah paham, mengira selama ini memang benar Habiba menjadi selingkuhannya Husein hingga setelah Cindy meninggal, Habiba benar- benar menggantikan posisi itu.Akan ada waktu yang tepat untuk membongkar rahasia itu jika memang perlu dibongkar. Namun jika tidak perlu, maka selamanya tak perlu ada pengkuan di publik. Toh hidup Habiba bukanlah untuk konsumsi publik.“Aku berkata benar bukan?” ucap Ezar dengan senyum simpul.“Maksudmu apa? Aku tidak mengerti.”“Maksudku, kau adalah aktor di balik isahnya Tuan Husein. jadi kau dan dia sudah tahu permasalahan yang sebenarnya. Lalu untuk apa kau merasa kepo sementara kau adalah pelakunya? Sebenarnya aku hanya ingin bilang satu hal kepadamu, aku cukup kecewa jika benar kau adalah sleingkuhannya Tuan Husein. Bahkan saat istrinya Tuan Husein meninggal, aku meyakini bahwa istrinya itu kecelakaan karena di hatinya itu ter
"Kau tahu tidak? Aku mencintaimu, Biba. Itu sudah sejak lama aku rasakan. Dan aku belum sempat mengutarakannya. Tapi ternyata selama ini aku mencintai wanita yang sudah punya suami.""Plis Ezra, jangan konyol. Meski sebelumnya kamu tidak tahu kalau aku punya suami, tapi kan kamu beranggapan bahwa aku ini janda, setidaknya kamu bisa memilih wanita yang belum pernah menikah.""Meski janda, kau ini wanita bertalenta. Dokter pintar, cantik dan mapan. Tentu saja aku tidak rugi jika menikah denganmu.""Hus!" Habiba kali ini benar- benar memukul hidung Ezra. "Matre kamu.""Aku masih tidak yakin ternyata kau ini istri dari pemilik rumah sakit ini. Tapi kenapa pernikahanmu harus disembunyikan?""Kenapa justru Cindy yang diumumkan sebagai istrinya Tuan Husein? Kenapa.kau mau dijadikan istri rahasia yang malah kedengaran seperti wanita simpanan?""Sekali lagi, jangan kepo. Intinya, aku sudah menikah lama dengan Mas Husein dan memiliki dua anak, setelah itu kami berpisah. Lalu Mas Husein menikah
"Saya Habiba. Dan kasus yang sedang dibicarakan oleh saudara saya Onez ini adalah kasus suamiku. Namanya Husein Brata Raksa. Pengusaha sekaligus pemilik rumah sakit." Habiba kemudian menunjukkan bukti- bukti mengenai status suaminya, lalu menjelaskan maslaah yang menimpa Husein dengan detil."Baik, akan aku pelajari kasus ini. Oh ya, mau pesan makan? Silakan pesan saja, saya yang tanggulangi.""Jangan! Kami yang butuh jasa bapak, tidak sepatutnya kami merepotkan bapak!" sahut Inez menolak dengan sopan."Kuta belum saling mengenal. Dan saya baru mengenal bapak kali ini. Sebelumnya, bolehkah saya tahu kasus yang pernah bapak tangani sebelumnya? Maaf, saya hanya ingin tahu berapa persen bapak memenangkan kasus yang bapak tangani?""Oh... jadi maksudnya Anda tidak mempercayai kinerja saya?" Pria itu menegaskan kalimatnya."Tidak begitu, saya butuh acuan. Tentu setiap klien membutuhkan pengacara yang handal bukan?" "Logis. Baiklah. Jika Anda butuh kejelasannya, syaa akan tunjukkan apa yan
Di luar itu adalah suara Inez.“Inez, aku di sini!” seru Habiba membalas teriakan Inez. Usaha Habiba meminta bantuan Inez berhasil. Ia sempat merogoh tas untuk menelepon Inez, sehingga Inez mendengar suaranya yang menyebut nomor lantai lengkap dengan nomor kamar. Tak hanya itu saja, Habiba juga menuturkan kejadian buruk di kamar dengan detil dengan harapan supaya Inez cepat datang untuk memberikan pertolongan.Dan Habiba berhasil.“Buka pintunya! Aku di luar. Aku datang bersama security!” seru Inez dengan suara lantang.“Sial!” Yuda melepaskan tubuh Habiba dengan marah.“Menjijikkan. Cuh!” Habiba meludah, sayangnya hanya mengenai baju Yuda. Kenapa tidak mengenai mukanya saja?“Bagaimana Inez bisa kemari? Bukankah aku sudah menyuruhnya menunggu di bawah?” Yuda bicara sendiri sambil merapikan kaosnya. Juga menaikkan celananya yang melorot.Habiba merampas kartu dari tangan Yuda, kemudian membuka pintu dengan menggunakan kartu tersebut. Aneh, biasanya pintu akan tetap bisa
Hari itu, Tomy kembali menemui Husein, mereka duduk berhadapan di meja besuk. "Bagaimana dengan tawaranku kemarin? Apakah kau setuju menceraikan Habiba?" Tomy yang masih dalam keadaan tangan diperban itu menatap serius pada Husein. "Tidak," tegas Husein tenang sekali. Sedikit pun tak ada ekspresi tersudut meski ditatap dengan penuh ancaman oleh Tomy.Tomy menyungging senyum. "Jadi kau siap dipenjara?""Aku sudah pernah mendekam di sini. Dan aku tidak kaget.""Hei, kau tidak takut akan berpisah selamanya dengan anak dan istrimu?""Seharusnya itu kau tanyakan pada dirimu sendiri. Apakah kau tidak kasian keponakanmu itu terpisah dari ayahnya? Bukankah kau yang membuatku mendekam di sini? Kau yang memisahkan aku dengan mereka."Tomy terkesiap mendengar perkataan Husein. Ia menukar posisi duduknya hingga punggungnya tegak. "Kalau kau bebas dari tahanan, minimal kau masih bisa beryemu dengan mereka. Kalau kau mendekam di sini, berapa lama kau akan terpisah dari mereka?""Kalau kau menyaya
"Aku mencintaimu," ucap Husein dengan senyum. Ia melepas pelukan lalu memperlihatkan senyumannya itu. "Percayalah, aku akan bebas. Kalau pun ditahan, pasti tidak akan lama.""Melihat sidang tadi, aku tidak yakin kamu akan lepas. Hakim pasti akan menjatuhkan vonis hukuman kepadamu karena menganggapmu bersalah. Entah itu hanya sebentar, atau bahkan lama.""Setiap orang bersalah pasti akan menerima konsekuensinya. Dan aku siap.""Tapi aku tidak siap. Andai hanya aku saja yang menghadapi semua ini, maka aku siap. Aku bisa menghadapi hari tanpamu dan setia menunggumu. Tapi jika anak- anak sudah menanyakan keberadaanmu, maka itulah yang tidak bisa aku tahan. Aku tidak kuat.""Kau wanita tegar. Aku yakin kau bisa atasi ini. Katakan pada mereka bahwa aku pasti akan pulang.""Cepatlah selesaikan ini, jangan sampai lama berurusan dengan masalah ini. Demi anakmu di sini!" Habiba memegang permukaan perutnya.Husein terkejut, memating sebentar. "Di sini ada anak kita," sambung Habiba masih memega
"Eh Non Biba, belum tidur?" tanya Fara yang masih asik dengan kegiatannya di dapur. Ia langsung meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri Habiba yang duduk di kursi sambil meneguk minum."Orang hamil tidak boleh tidur terlalu malam, Non. Takutnya kena anemia," saran Fara."Aku tidak bisa tidur.""Kepikiran Tuan Husein?"Habiba hanya diam. Entah kenapa ia terlalu berat memikirkan Husein. Bahkan menunggu momen putusan hakim ini pikirannya benar- benar tersita.Habiba mengelus permukaan perutnya. Ia bahkan sampai tak sadar kalau ia dalam kondisi hamil gara- gara terlalu fokus pada masalah ini. Dia tak ingat kapan terakhir mens, sampai tak sadar kandungannya ternyata sudah berisi. Empat bulan. "Non Biba, saya minta maaf ya, Non."Habiba langsung menoleh. "Monta maaf soal apa? Mbak Fara bikin masalah lagi?""Eh, bukan. Saya tidak bikin masalah apa- apa. Saya cuma teringat perbuatan saya kemarin yang malah bikin Qasam salah paham. Takutnya Non Biba juga kepikiran itu. Kan saya merasa ber