"Waaaa...." Alice mempunyai kebiasaan membuka jendela mobil ketika memasuki wilayah desa tempat tinggalnya. Dia menghirup udara dalam-dalam dan mengeluarkan tangannya, merasakan sejuknya udara kaki pegunungan. "Kamu senang kembali kemari?" tanya Gavin menoleh ke arah Alice sejenak sambil mengemudikan mobilnya. Hari ini, Gavin memutuskan menghabiskan waktu hanya dengan berdua dengan Alice, dia tidak meminta James untuk ikut. "Tentu saja. Udara di sini sangat nyaman. Sungguh sangat berbeda dengan di kota," ujarnya. "Hmmm, apa kamu lebih suka tinggal di sini daripada di kota?" tanya Gavin lagi. "Bisa dikatakan seperti itu," jawab Alice. "Bagaimana kalau kita membangun sebuah rumah di sini. Dan kita akan berlibur sesekali," ujar Gavin. "Hmmm, rumah kami di sini cukup besar, dan tanah yang kami miliki juga sangat luas. Semua yang ada disini di wariskan oleh kakekku turun temurun. Lebih baik membersihkan dan mengurus yang sudah ada. Untuk apa membangun yang baru." Gavin hanya
'Tidak bisa aku biarkan, mereka bertiga tampaknya memiliki ilmu bela diri yang tinggi. Gavin bisa saja terbunuh.' Alice melihat bahwa Gavin sudah terengah-engah melawan tiga pria itu sekaligus. Alice mengenali ketiga pria itu. Mereka adalah Lukas, Diaz dan Hulman. Terakhir kali, Alice masih bisa bertahan karena melawan mereka satu persatu. Jika melawan mereka bertiga sekaligus, Alice mungkin saja kalah dan mati terbunuh. Alice sengaja berteriak, "GAVIN!" agar bisa mengalihkan setidaknya salah satu dari ketiga penyerang itu. Untungnya Gavin berteriak kembali, "ALICE CEPAT PERGI!". Salah seorang mengejar Alice dengan cepat, dan itu sepertinya Lukas. Alice berlari menaiki tangga dan menuju ke arah kamarnya. Ketika Lukas berkali-kali hampir menangkapnya, Alice melemparkan benda apa saja yang mampu diraihnya ke arah Lukas. Lemparan Alice bisa dikatakan semua akurat dan cepat, beberapa kali Lukas tidak mampu menghindar dari lemparan Alice dan tubuhnya terasa cukup sakit. 'Kebe
"Kamu? Kenapa setiap kali kemari selalu terluka? Apa kamu bergabung dalam genk preman atau mafia?" ujar seorang dokter wanita paruh baya. Gavin mencari rumah sakit terdekat, dan kebetulan sekali dokter wanita ini adalah dokter yang sama yang mengobati luka Alice dan menjahitnya terakhir kali ketika dia terluka. "Kali ini memar bekas cekikan, dan luka di kepala. Besok-besok kamu akan kemari dengan luka apalagi?" Alice memandang dokter dengan gelisah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, agar dokter itu berhenti mengomel. Sedangkan Gavin, dia menatap bingung kepada dokter itu dan Alice. "Apa kalian pernah bertemu? Istriku pernah berobat disini?" tanya Gavin heran. "Ya, dia sebelumnya.." "I_itu..mengenai luka di bahuku sebelumnya, jadi dokter..." Alice melihat plakat nama di dada dokter itu, "Dokter Sonia, dia yang menjahit lukaku dan mengobatinya. Aku terjatuh di sekitar sini karena ceroboh." "Ceroboh?! Tidak, itu adalah bekas goresan pi....." "Dokter Sonia, tolong se
"Gavin, aku mau tetap berlatih hari ini di Dojo. Bolehkah?" tanya Alice ketika sarapan pagi. "Alice, kamu masih terluka. Beristirahatlah selama 2 hari." "Tapi, karena sering berlatih, kemarin setidaknya aku.." "Kamu bisa berlatih setelah sembuh, jangan memaksakan diri. Kamu sehabis terluka." "Baiklah, aku tidak akan berlatih bela diri dulu. Tapi, sepertinya aku harus membeli sesuatu di pusat perbelanjaan, ada beberapa barang keperluan yang aku butuhkan segera. Bolehkah?" "Kenapa tidak meminta Weni saja untuk membelikannya?" tanya Gavin. "Gavin, aku lebih senang mencari keperluanku sendiri. Ijinkan aku pergi berbelanja. Oke?!" Gavin sedikit heran karena Alice bersikeras bepergian keluar meski sedang terluka, namun akhirnya dia menyetujuinya. "Baiklah, biarkan beberapa bodyguard menemanimu. Oke?!" Gavin akhirnya menyerah dan mengijinkan Alice pergi keluar rumah dengan catatan dia ditemani beberapa bodyguard untuk menjaganya. "Oke," Alice senang akhirnya memiliki alasan
"Halo, Tuan Alpha. Aku mengira bahwa anda akan ikut kembali bersama Tuan Liam ke Casia." Alice semula akan beranjak pergi setelah Liam memasuki pesawat, namun suara itu membuatnya menghentikan langkahnya. 'Pria ini lagi,' batin Alice setelah menoleh ke arah suara itu. "Ya, aku tidak kembali ke Casia. Ada sedikit hal yang harus aku urus di sini selama beberapa hari," jawab Alice singkat. "Apa anda sedang sibuk? Maukah pergi minum secangkir kopi denganku?" tanyanya. "Maaf, Tuan Mario. Aku ada keperluan mendesak." Drrtt ddrrttt Alice lupa mematikan nada dering telepon selulernya, dia melihat sekilas nama siapa yang memanggilnya, itu adalah 'Gavin'. Dari kejauhan sini, Alice melirik sekilas ke arah Gavin. Dia sedang meletakkan telepon selulernya ke telinganya. Namun, tiba-tiba saja Gavin menatap ke arahnya. Alice dengan panik, menolak panggilan tersebut. Gavin terlihat menekan tuts telepon selulernya, dan meletakkannya ke telinganya lagi. Alice merasakan telepon selulernya
Beberapa jam yang lalu. "Dias, dimana kamu berada?" tanya Lukas padanya di telepon. "Aku sedang di pusat perbelanjaan mengikuti Alice Rayes. Dia sekarang sedang...." "Dias, ada apa?" tanya Lukas. "Sekarang Alpha dan Jake juga ada di sini, di toko tempat Alice Rayes berada. Alpha membeli sebuah setelan pria baru dan ke ruang ganti." "Apa maksudmu?" "Dia... " Dias heran melihat bahwa Alpha sudah keluar dari kamar ganti dengan cepat. "Alpha sudah berganti pakaian dengan setelan yang dibelinya barusan, dia sudah berjalan keluar dari kamar ganti." "Kemana Alpha dan Jake sekarang? Dan Alice Rayes?" "Sepertinya Jake dan Alpha terburu-buru pergi. Sedangkan Alice, dia masih berada di dalam ruang ganti." "Benarkah?" tanya Lukas, dia merasa keanehan. "Lukas, Alice Rayes sudah keluar dari kamar ganti. Dia saat ini sedang membayar belanjaannya." "Apa kamu tidak melihat sesuatu yang aneh?" "Tampaknya tidak ada, dia terlihat seperti biasa." "Awasi dia terus Dias, aku akan
"Bukannya sudah aku peringatkan, berbahaya untukmu pergi keluar sementara waktu," ujar Gavin di dalam mobil."Hmmm, maafkan aku." Alice tidak banyak berbicara."Kamu tidak terluka?" Gavin mengamati Alice dari ujung rambut hingga ujung kaki, hanya tampak luka-luka dari kejadian di rumah Rayes."Tidak, aku baik-baik saja. Untung Jake dan Alpha tiba-tiba muncul di sana."Gavin menatap ke arah Alice dengan pikiran yang rumit, 'Mengapa setiap kali dia hampir terluka, selalu muncul Jake secara tiba-tiba?'."Alice..apa sebenarnya hubunganmu dengan Jake? Kenapa setiap kali kamu mengalami kesulitan, dia selalu muncul?"Pertanyaan Gavin begitu tiba-tiba, membuat setiap kata Alice tercekat di tenggorokannya dan sulit untuk keluar."Jake? Dia..dia dulu adalah temanku sewaktu masih kecil di desa. Tapi ketika usianya 8 atau 9 tahun, dia pindah ke negara Casia. Dan..Jake lebih muda dariku 3 tahun, aku dari dulu menganggap dia seperti adikku.""Benarkah?" Gavin menatap curiga."Alice, pria lebih muda
'Aku rasa kedua penyerang kemarin hanya menggunakan topeng Lukas, tidak satupun dari mereka adalah Lukas. Lukas tampak lebih tinggi dari Hulman dan Dias. Ya, kedua pria kemarin adalah Hulman dan Dias. Ah sial, dunia bawah sepertinya sudah mencurigai bahwa Alpha adalah aku. Aku harus lebih waspada mulai sekarang.' 'Untung saja saat itu keadaan diatasi tepat waktu, kalau tidak, identitasku akan terbongkar,' Alice merinding memikirkan kemungkinan itu, dia tanpa sadar menggelengkan kepalanya. Alice tengah sibuk dengan pikirannya, dia tidak menyadari Gavin bertanya di sebelahnya. "Alice? Al_?" "Y_ya, maaf aku melamun. Ada apa?" "Sebentar lagi kita akan mendarat di Thurad, bersiaplah." Seperti yang dikatakan Gavin kemarin, dia takut meninggalkan Alice sendirian di Albain. Gavin merasa Alice akan lebih aman dibawah pengawasannya. Alice sekarang ikut Gavin pergi ke Thurad. Alice juga meminta Jake dan beberapa bawahannya pergi ke Thurad menyusulnya. Alice ingin membantu Gavin mengat