"Jika ayahku dibunuh, dan ini semua konspirasi, siapa yang paling diuntungkan? Peter Aldimor? Raja Paul Welbert?" gumam Alice. Alice seharian tidak bisa berpikir jernih setelah bertemu dengan Berti Welbert hari ini. Dia termenung di dalam kamarnya. Setelah mengambil sebuah buku tentang perang di perpustakaan rumah, dia tetap tidak bisa fokus untuk membaca. Alice mengeluarkan jam bandul dari sakunya, dia membukanya dan menatap foto di dalamnya. "Ayah, benarkah kamu dibunuh? Apa yang harus kulakukan sekarang? Menuntut balas untukmu? Ataukah aku harus membawa pergi ibu dan juga Elisa dari sini." gumamnya. "Segel! Ya, aku harus segera menemukan segel." Alice mendekatkan telinganya di telepon selulernya, dan setelah beberapa nada panggil terdengar suara Sera. "Ada apa Alice?" "Bu, apa Ibu tahu seperti apa bentuk segel keluarga Rayes itu?" "Benda itu hanya sebesar ibu jari Alice. Dan segel itu terkunci, kuncinya Ibu sembunyikan di sebuah vas bunga." Vas bunga? Ya, Alice s
"Waaaa...." Alice mempunyai kebiasaan membuka jendela mobil ketika memasuki wilayah desa tempat tinggalnya. Dia menghirup udara dalam-dalam dan mengeluarkan tangannya, merasakan sejuknya udara kaki pegunungan. "Kamu senang kembali kemari?" tanya Gavin menoleh ke arah Alice sejenak sambil mengemudikan mobilnya. Hari ini, Gavin memutuskan menghabiskan waktu hanya dengan berdua dengan Alice, dia tidak meminta James untuk ikut. "Tentu saja. Udara di sini sangat nyaman. Sungguh sangat berbeda dengan di kota," ujarnya. "Hmmm, apa kamu lebih suka tinggal di sini daripada di kota?" tanya Gavin lagi. "Bisa dikatakan seperti itu," jawab Alice. "Bagaimana kalau kita membangun sebuah rumah di sini. Dan kita akan berlibur sesekali," ujar Gavin. "Hmmm, rumah kami di sini cukup besar, dan tanah yang kami miliki juga sangat luas. Semua yang ada disini di wariskan oleh kakekku turun temurun. Lebih baik membersihkan dan mengurus yang sudah ada. Untuk apa membangun yang baru." Gavin hanya
'Tidak bisa aku biarkan, mereka bertiga tampaknya memiliki ilmu bela diri yang tinggi. Gavin bisa saja terbunuh.' Alice melihat bahwa Gavin sudah terengah-engah melawan tiga pria itu sekaligus. Alice mengenali ketiga pria itu. Mereka adalah Lukas, Diaz dan Hulman. Terakhir kali, Alice masih bisa bertahan karena melawan mereka satu persatu. Jika melawan mereka bertiga sekaligus, Alice mungkin saja kalah dan mati terbunuh. Alice sengaja berteriak, "GAVIN!" agar bisa mengalihkan setidaknya salah satu dari ketiga penyerang itu. Untungnya Gavin berteriak kembali, "ALICE CEPAT PERGI!". Salah seorang mengejar Alice dengan cepat, dan itu sepertinya Lukas. Alice berlari menaiki tangga dan menuju ke arah kamarnya. Ketika Lukas berkali-kali hampir menangkapnya, Alice melemparkan benda apa saja yang mampu diraihnya ke arah Lukas. Lemparan Alice bisa dikatakan semua akurat dan cepat, beberapa kali Lukas tidak mampu menghindar dari lemparan Alice dan tubuhnya terasa cukup sakit. 'Kebe
"Kamu? Kenapa setiap kali kemari selalu terluka? Apa kamu bergabung dalam genk preman atau mafia?" ujar seorang dokter wanita paruh baya. Gavin mencari rumah sakit terdekat, dan kebetulan sekali dokter wanita ini adalah dokter yang sama yang mengobati luka Alice dan menjahitnya terakhir kali ketika dia terluka. "Kali ini memar bekas cekikan, dan luka di kepala. Besok-besok kamu akan kemari dengan luka apalagi?" Alice memandang dokter dengan gelisah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, agar dokter itu berhenti mengomel. Sedangkan Gavin, dia menatap bingung kepada dokter itu dan Alice. "Apa kalian pernah bertemu? Istriku pernah berobat disini?" tanya Gavin heran. "Ya, dia sebelumnya.." "I_itu..mengenai luka di bahuku sebelumnya, jadi dokter..." Alice melihat plakat nama di dada dokter itu, "Dokter Sonia, dia yang menjahit lukaku dan mengobatinya. Aku terjatuh di sekitar sini karena ceroboh." "Ceroboh?! Tidak, itu adalah bekas goresan pi....." "Dokter Sonia, tolong se
"Gavin, aku mau tetap berlatih hari ini di Dojo. Bolehkah?" tanya Alice ketika sarapan pagi. "Alice, kamu masih terluka. Beristirahatlah selama 2 hari." "Tapi, karena sering berlatih, kemarin setidaknya aku.." "Kamu bisa berlatih setelah sembuh, jangan memaksakan diri. Kamu sehabis terluka." "Baiklah, aku tidak akan berlatih bela diri dulu. Tapi, sepertinya aku harus membeli sesuatu di pusat perbelanjaan, ada beberapa barang keperluan yang aku butuhkan segera. Bolehkah?" "Kenapa tidak meminta Weni saja untuk membelikannya?" tanya Gavin. "Gavin, aku lebih senang mencari keperluanku sendiri. Ijinkan aku pergi berbelanja. Oke?!" Gavin sedikit heran karena Alice bersikeras bepergian keluar meski sedang terluka, namun akhirnya dia menyetujuinya. "Baiklah, biarkan beberapa bodyguard menemanimu. Oke?!" Gavin akhirnya menyerah dan mengijinkan Alice pergi keluar rumah dengan catatan dia ditemani beberapa bodyguard untuk menjaganya. "Oke," Alice senang akhirnya memiliki alasan
"Halo, Tuan Alpha. Aku mengira bahwa anda akan ikut kembali bersama Tuan Liam ke Casia." Alice semula akan beranjak pergi setelah Liam memasuki pesawat, namun suara itu membuatnya menghentikan langkahnya. 'Pria ini lagi,' batin Alice setelah menoleh ke arah suara itu. "Ya, aku tidak kembali ke Casia. Ada sedikit hal yang harus aku urus di sini selama beberapa hari," jawab Alice singkat. "Apa anda sedang sibuk? Maukah pergi minum secangkir kopi denganku?" tanyanya. "Maaf, Tuan Mario. Aku ada keperluan mendesak." Drrtt ddrrttt Alice lupa mematikan nada dering telepon selulernya, dia melihat sekilas nama siapa yang memanggilnya, itu adalah 'Gavin'. Dari kejauhan sini, Alice melirik sekilas ke arah Gavin. Dia sedang meletakkan telepon selulernya ke telinganya. Namun, tiba-tiba saja Gavin menatap ke arahnya. Alice dengan panik, menolak panggilan tersebut. Gavin terlihat menekan tuts telepon selulernya, dan meletakkannya ke telinganya lagi. Alice merasakan telepon selulernya
Beberapa jam yang lalu. "Dias, dimana kamu berada?" tanya Lukas padanya di telepon. "Aku sedang di pusat perbelanjaan mengikuti Alice Rayes. Dia sekarang sedang...." "Dias, ada apa?" tanya Lukas. "Sekarang Alpha dan Jake juga ada di sini, di toko tempat Alice Rayes berada. Alpha membeli sebuah setelan pria baru dan ke ruang ganti." "Apa maksudmu?" "Dia... " Dias heran melihat bahwa Alpha sudah keluar dari kamar ganti dengan cepat. "Alpha sudah berganti pakaian dengan setelan yang dibelinya barusan, dia sudah berjalan keluar dari kamar ganti." "Kemana Alpha dan Jake sekarang? Dan Alice Rayes?" "Sepertinya Jake dan Alpha terburu-buru pergi. Sedangkan Alice, dia masih berada di dalam ruang ganti." "Benarkah?" tanya Lukas, dia merasa keanehan. "Lukas, Alice Rayes sudah keluar dari kamar ganti. Dia saat ini sedang membayar belanjaannya." "Apa kamu tidak melihat sesuatu yang aneh?" "Tampaknya tidak ada, dia terlihat seperti biasa." "Awasi dia terus Dias, aku akan
"Bukannya sudah aku peringatkan, berbahaya untukmu pergi keluar sementara waktu," ujar Gavin di dalam mobil."Hmmm, maafkan aku." Alice tidak banyak berbicara."Kamu tidak terluka?" Gavin mengamati Alice dari ujung rambut hingga ujung kaki, hanya tampak luka-luka dari kejadian di rumah Rayes."Tidak, aku baik-baik saja. Untung Jake dan Alpha tiba-tiba muncul di sana."Gavin menatap ke arah Alice dengan pikiran yang rumit, 'Mengapa setiap kali dia hampir terluka, selalu muncul Jake secara tiba-tiba?'."Alice..apa sebenarnya hubunganmu dengan Jake? Kenapa setiap kali kamu mengalami kesulitan, dia selalu muncul?"Pertanyaan Gavin begitu tiba-tiba, membuat setiap kata Alice tercekat di tenggorokannya dan sulit untuk keluar."Jake? Dia..dia dulu adalah temanku sewaktu masih kecil di desa. Tapi ketika usianya 8 atau 9 tahun, dia pindah ke negara Casia. Dan..Jake lebih muda dariku 3 tahun, aku dari dulu menganggap dia seperti adikku.""Benarkah?" Gavin menatap curiga."Alice, pria lebih muda
"AYO, KERAHKAN TENAGA KALIAN!" Alice berteriak kencang memerintahkan para tentara pasukan elit Albain untuk melalui halang rintang yang dibuatnya di tengah-tengah hutan lebat pegunungan Albain. Ratusan tentara elit Albain itu telah melalui pelatihan Alice selama hampir 1 bulan ini. Pelatihan yang diberikan Alice benar-benar mengerikan. Sang Alpha, menciptakan neraka untuk membentuk tentara-tentara terlatih dan profesional. Ketika pelatihannya berakhir, Alice melihat kembali seluruh catatan skor dari setiap orang. "Bagus, bagus. Kalian mengalami peningkatan, meskipun hanya sedikit." Alice memuji para peserta pelatihannya. Seluruh peserta bukannya senang, mereka malah merasa merinding. Jika Alice mengucapkan kata 'peningkatan sedikit' itu artinya, besok harinya akan dibuat sebuah rintangan pelatihan yang baru dan lebih sulit. "Ada apa dengan wajah kalian? Mengapa di wajah kalian aku melihat ada 'keluhan'?" Alice menatap barisan tentara itu satu persatu. "TIDAK, YANG MULIA RATU!
Alice melangkah perlahan di komplek pemakaman dengan memegang seikat karangan bunga Krisan Putih di tangannya. Langkahnya terhenti di sebuah makam keluarga yang terlihat masih baru. Tanahnya masih basah, belum ditumbuhi subur oleh rumput hias yang cantik seperti makam di sekitarnya. Dia berjongkok dan meletakkan bunga Krisan Putih yang dipegangnya. Dipegangnya pusara dengan hati-hati. Perutnya kini agak membuncit, jadi Alice tidak tahan berjongkok lama-lama. Ketika Alice akan bangkit berdiri, sepasang tangan merangkul bahunya dari belakang untuk membantunya. Lalu pada bahunya disampirkan sebuah mantel hangat. "Mengapa kau tidak menggunakan pakaian yang agak tebal? Sekarang sudah hampir musim dingin. Bagaimana nanti jika sakit?" Suara hangat pria mengalun di telinga Alice. Alice menatap pria itu kemudian tersenyum, "Ada kau di sisiku, aku tidak akan sakit." Alice melingkarkan tangannya di pinggang Gavin, dan menyandarkan kepalanya di dadanya. Gavin mengecup pelan dahi istrinya
Berjam-jam waktu telah berlalu, Alice masih duduk di kursinya tanpa beranjak sedikitpun. Wajahnya terlihat lelah dan juga pucat. "Alice, sebaiknya kamu dan Ibu pulang dan beristirahat. Aku dan Jake akan menunggu di sini. Kami akan mengabari kamu jika Gavin telah sadar." Elisa merangkul bahu Alice yang duduk di sisinya. Semalaman Alice tidak tidur. Kini hari sudah berganti pagi. Waktu menunjukan pukul 09.00 pagi. Namun Gavin belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Mereka juga hanya bisa duduk dan menunggu di luar, karena Gavin saat ini masih berada di ruang observasi. "Ya, aku juga akan tetap di sini." Mario juga sejak semalam masih berada di sana. "Kami akan mengantarkan kamu, Bos!" Wella berkata kepada Alice sambil menunjuk dirinya dan Henry. "Benar Alice, setidaknya kau harus menjaga kondisimu juga. Beristirahatlah sejenak!" Ujar Jake pada Alice. Alice sebenarnya merasa tidak tenang jika harus pergi meninggalkan Gavin di rumah sakit. Tapi memang benar, dia harus menjaga k
Tuuuuuuuutttt Dokter melakukan teknik Resusitasi Jantung Paru kepada Gavin, namun tidak juga ada tanda-tanda detak jantungnya kembali. Mesin masih terus berbunyi, tanda detak jantung Gavin tidak terdeteksi. "Siapkan defibrillator!" Dokter meminta perawat memberikan alat kejut jantung. "50 Joule!" Perintah dokter pada perawat yang memegang alat defibrillator. "Everybody clear!" Dokter memberikan kejut jantung pertama kepada Gavin. Namun tidak ada reaksi apapun. "100 Joule!" Perintah dokter lagi pada perawat. "Everybody clear!" Tetap tidak ada reaksi apapun pada Gavin. "150 Joule!" Perintah dokter lagi pada perawat. "Everybody clear!" Tut...Tut...Tut... "Oke, jantung mulai berfungsi. Siapkan ruang operasi. Aku akan mensterilkan diri." Dokter kemudian keluar dari ruang gawat darurat. "Nyonya, sebaiknya Anda menunggu di luar. Kami akan mempersiapkan pasien untuk dioperasi." Alice mengangguk, namun sebelumnya ia memegang tangan Gavin sebelum keluar, "Sayangku
"Ya, aku bersedia bersaksi untuk kerajaan." Louis bersuara. Entah sejak kapan dia masuk ke dalam ruang rapat Parlemen. "Louis?" Isabela menatap tajam kepada pembunuh putrinya itu. Sebenarnya Isabela tahu bahwa yang meracuni Ansara adalah Louis dan Logan. Hanya saja, dia tidak punya cara untuk membuktikannya. Mereka berdua telah bersekongkol dengan sangat rapi. Seluruh rekaman kamera pengawas telah dihapus pada bagian dimana mereka memasukkan racun ke dalam makanan dan minuman Ansara. Setiap kali mereka secara bergantian meracuni Sara. "Aku akan menyerahkan diri dan mengakui perbuatanku. Aku juga akan menjadi saksi kejahatan Logan. Aku menyimpan beberapa bekas botol racun yang telah kosong. Aku rasa itu cukup kuat untuk dijadikan alat bukti." Louis berkata sambil menunjuk Logan. "Pria bajingan ini memaksa aku dan putraku untuk menjadi kaki tangannya. Namun, ketika kami sudah tidak dibutuhkan lagi, dia memerintahkan orang untuk membunuhku. Beruntung bagiku, Matheo tiba di rumah ber
"Rekam baik-baik semua bukti yang akan aku tunjukkan kepada kalian hari ini!" Lalu proyektor menampilkan seluruh bukti transfer uang senilai 1 milyar kepada seluruh anggota Dewan Parlemen yang berasal dari rekening Firlo More. Setelahnya, menampilkan seluruh percakapan Ketua, Wakil, dan beberapa anggota Dewan Parlemen sebelum rapat hari ini dimulai. 'Apakah kalian telah menerima uang senilai 1 milyar yang dikirimkan Firlo?' Terdengar suara Ketua Dewan Parlemen. 'Hahaha, kami telah menerimanya. Pokoknya, apapun yang tuan Firlo minta, akan kita lakukan. Jika mengikutinya, kita akan semakin kaya raya.' Seorang anggota merasa sangat senang. 'Ya, yaa.. Nominal 1 milyar setiap bulan, sangat besar. Tuan Firlo memang sangat murah hati.' Wakil Ketua Dewan Parlemen terdengar sangat bersemangat. 'Hei, sudah. Itu, Perdana Menteri telah datang!' Seseorang dari mereka meminta untuk menghentikan obrolan. 'Tuan Firlo, terima kasih atas hadiahnya. Hahaha.' Ketua Dewan Parlemen bersuara.
Pimpinan Rapat Dewan Parlemen mengamati waktu pada jam tangannya. "Sudahlah Pak Ketua Parlemen, lebih baik kita segera mulai saja rapatnya. Ini sudah pukul 09.05. Tidak baik menunda lebih lama lagi." Firlo mendesak Pimpinan Rapat agar segera mengetuk palunya dan membuka rapat. "Baiklah, semuanya harap tenang. Dengan mengucap syukur kepada Yang Maha Esa, maka Rapat Dewan Parlemen dalam rangka penetapan berlakunya konstitusi baru, telah dimulai secara resmi." Kemudian Pimpinan Rapat yang juga merupakan Ketua Dewan Parlemen, mengetuk palunya di atas meja. Tok "Hari ini adalah voting terakhir pemberlakuan konstitusi baru Negara Yustan tentang Anggaran Belanja Negara Perlengkapan Militer. Seperti yang kita ketahui, sebulan yang lalu, hanya Putri Mahkota Alice Anabel yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemberlakuan konstitusi baru. Beliau berjanji, akan membawa bukti dan bantahan untuk menggagalkan pemberlakuan konstitusi baru ini." "Benar sekali. Namun, Putri Alice Anabel
"Alice, pakaianmu ini seluruhnya berwarna hitam. Tidakkah kamu ingin menambahkan warna lain?" Sera menyerahkan sebuah saputangan putih untuk Alice letakkan di saku jasnya. Karena menurut kebiasaan di Yustan menggunakan setelan jas serba hitam dan perlengkapan serba hitam, hanya boleh dilakukan ketika pemakaman. Menurut kepercayaan mereka, jika menggunakan pakaian dan perlengkapan serba hitam selain di acara pemakaman dapat membawa kesialan. "Tidak, Bu. Hari ini memang akan menjadi hari kesialan dan pemakaman bagi beberapa orang." Alice memasukkan sebuah saputangan berwarna hitam di saku jasnya. "Aku pergi Bu, Nenek." Alice melihat ke seseorang yang berdiri di belakang Sera. "Alice, kau terlalu tergesa-gesa untuk mendorong pergi Logan dan Firlo." Isabela merasa tidak setuju dengan rencana Alice yang membahayakan dirinya. Padahal dia dapat menyingkirkan mereka perlahan setelah menjabat sebagai Ratu Yustan kelak. "Nenek, untuk menyingkirkan rumput liar, harus mencabut hingga ke ak
"Kau, ajaklah Firlo dan Logan bertemu. Laporkan bahwa kau berhasil membunuh Alice." Jake memerintahkan Maxim keluar dari ruang tahanan untuk segera berpakaian rapi, kemudian mengembalikan ponsel miliknya. "Beberapa hari ini, mereka terus menerus menghubungimu. Aku tidak ingin mereka tahu bahwa kalian gagal membunuh Alice," sambung Jake lagi. "Maksudmu, agar mereka mengira rencananya berhasil dan mereka kemudian lengah?" Maxim menebak rencana mereka. "Ya, katakanlah seperti itu," ujar Jake sambil tersenyum. "Jangan mencoba berpikir untuk kabur! Kami akan mengikuti mu dan memantau setiap pergerakan mu." Jake memperingatkan Maxim. "Bagaimana jika aku berhasil kabur?" Maxim menatap sinis ke arah Jake yang tampak meremehkannya. "Pertama, aku yakin karena kau akan membawa alat penyadap ini di tubuhmu. Kedua, karena pasukanmu masih berada di bawah pengawasan kami. Dan ketiga, adik kandungmu ada di antara mereka. Kau tidak akan berani mengambil resiko dengan melakukan itu." Jake me