Tak "SKAKMAT!" ujar Alice meletakkan anak catur miliknya dan menggeser jatuh milik Berti Welbert. "Kali ini kamu tidak mengalah sama sekali kepada pria tua ini Alice?" "Untuk apa mengalah kalau bisa menang?" ujar Alice dengan seringai licik di wajahnya. "Kamu memang selalu menonjol sejak kecil, kakek tahu itu. Gavin tidak salah memilih dirimu dulu untuk jadi calon istrinya." "Tuan Besar, ini sudah putaran ketiga dan anda sudah aku kalahkan tiga kali. Sekarang katakan, ada apa anda memanggilku kemari?" Tuk Tongkat yang berada di sisi tubuh Berti dia angkat dan gunakan untuk menggetuk kepala Alice. "Panggil aku 'Kakek', kamu harus sopan! Elisa saja memanggilku seperti itu!" marah Berti. "Aish, iya Kek." Alice mengelus kepalanya, karena pukulan Berti cukup kuat. "Kenapa kamu membawa ibumu pergi dari rumah sakit jiwa? Disana adalah tempat yang aman untuknya bersembunyi." "Jangan khawatir, aku bisa melindungi keluargaku Kek. Mereka berada di tempat yang aman." "Lalu,
"Jika ayahku dibunuh, dan ini semua konspirasi, siapa yang paling diuntungkan? Peter Aldimor? Raja Paul Welbert?" gumam Alice. Alice seharian tidak bisa berpikir jernih setelah bertemu dengan Berti Welbert hari ini. Dia termenung di dalam kamarnya. Setelah mengambil sebuah buku tentang perang di perpustakaan rumah, dia tetap tidak bisa fokus untuk membaca. Alice mengeluarkan jam bandul dari sakunya, dia membukanya dan menatap foto di dalamnya. "Ayah, benarkah kamu dibunuh? Apa yang harus kulakukan sekarang? Menuntut balas untukmu? Ataukah aku harus membawa pergi ibu dan juga Elisa dari sini." gumamnya. "Segel! Ya, aku harus segera menemukan segel." Alice mendekatkan telinganya di telepon selulernya, dan setelah beberapa nada panggil terdengar suara Sera. "Ada apa Alice?" "Bu, apa Ibu tahu seperti apa bentuk segel keluarga Rayes itu?" "Benda itu hanya sebesar ibu jari Alice. Dan segel itu terkunci, kuncinya Ibu sembunyikan di sebuah vas bunga." Vas bunga? Ya, Alice s
"Waaaa...." Alice mempunyai kebiasaan membuka jendela mobil ketika memasuki wilayah desa tempat tinggalnya. Dia menghirup udara dalam-dalam dan mengeluarkan tangannya, merasakan sejuknya udara kaki pegunungan. "Kamu senang kembali kemari?" tanya Gavin menoleh ke arah Alice sejenak sambil mengemudikan mobilnya. Hari ini, Gavin memutuskan menghabiskan waktu hanya dengan berdua dengan Alice, dia tidak meminta James untuk ikut. "Tentu saja. Udara di sini sangat nyaman. Sungguh sangat berbeda dengan di kota," ujarnya. "Hmmm, apa kamu lebih suka tinggal di sini daripada di kota?" tanya Gavin lagi. "Bisa dikatakan seperti itu," jawab Alice. "Bagaimana kalau kita membangun sebuah rumah di sini. Dan kita akan berlibur sesekali," ujar Gavin. "Hmmm, rumah kami di sini cukup besar, dan tanah yang kami miliki juga sangat luas. Semua yang ada disini di wariskan oleh kakekku turun temurun. Lebih baik membersihkan dan mengurus yang sudah ada. Untuk apa membangun yang baru." Gavin hanya
'Tidak bisa aku biarkan, mereka bertiga tampaknya memiliki ilmu bela diri yang tinggi. Gavin bisa saja terbunuh.' Alice melihat bahwa Gavin sudah terengah-engah melawan tiga pria itu sekaligus. Alice mengenali ketiga pria itu. Mereka adalah Lukas, Diaz dan Hulman. Terakhir kali, Alice masih bisa bertahan karena melawan mereka satu persatu. Jika melawan mereka bertiga sekaligus, Alice mungkin saja kalah dan mati terbunuh. Alice sengaja berteriak, "GAVIN!" agar bisa mengalihkan setidaknya salah satu dari ketiga penyerang itu. Untungnya Gavin berteriak kembali, "ALICE CEPAT PERGI!". Salah seorang mengejar Alice dengan cepat, dan itu sepertinya Lukas. Alice berlari menaiki tangga dan menuju ke arah kamarnya. Ketika Lukas berkali-kali hampir menangkapnya, Alice melemparkan benda apa saja yang mampu diraihnya ke arah Lukas. Lemparan Alice bisa dikatakan semua akurat dan cepat, beberapa kali Lukas tidak mampu menghindar dari lemparan Alice dan tubuhnya terasa cukup sakit. 'Kebe
"Kamu? Kenapa setiap kali kemari selalu terluka? Apa kamu bergabung dalam genk preman atau mafia?" ujar seorang dokter wanita paruh baya. Gavin mencari rumah sakit terdekat, dan kebetulan sekali dokter wanita ini adalah dokter yang sama yang mengobati luka Alice dan menjahitnya terakhir kali ketika dia terluka. "Kali ini memar bekas cekikan, dan luka di kepala. Besok-besok kamu akan kemari dengan luka apalagi?" Alice memandang dokter dengan gelisah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, agar dokter itu berhenti mengomel. Sedangkan Gavin, dia menatap bingung kepada dokter itu dan Alice. "Apa kalian pernah bertemu? Istriku pernah berobat disini?" tanya Gavin heran. "Ya, dia sebelumnya.." "I_itu..mengenai luka di bahuku sebelumnya, jadi dokter..." Alice melihat plakat nama di dada dokter itu, "Dokter Sonia, dia yang menjahit lukaku dan mengobatinya. Aku terjatuh di sekitar sini karena ceroboh." "Ceroboh?! Tidak, itu adalah bekas goresan pi....." "Dokter Sonia, tolong se
"Gavin, aku mau tetap berlatih hari ini di Dojo. Bolehkah?" tanya Alice ketika sarapan pagi. "Alice, kamu masih terluka. Beristirahatlah selama 2 hari." "Tapi, karena sering berlatih, kemarin setidaknya aku.." "Kamu bisa berlatih setelah sembuh, jangan memaksakan diri. Kamu sehabis terluka." "Baiklah, aku tidak akan berlatih bela diri dulu. Tapi, sepertinya aku harus membeli sesuatu di pusat perbelanjaan, ada beberapa barang keperluan yang aku butuhkan segera. Bolehkah?" "Kenapa tidak meminta Weni saja untuk membelikannya?" tanya Gavin. "Gavin, aku lebih senang mencari keperluanku sendiri. Ijinkan aku pergi berbelanja. Oke?!" Gavin sedikit heran karena Alice bersikeras bepergian keluar meski sedang terluka, namun akhirnya dia menyetujuinya. "Baiklah, biarkan beberapa bodyguard menemanimu. Oke?!" Gavin akhirnya menyerah dan mengijinkan Alice pergi keluar rumah dengan catatan dia ditemani beberapa bodyguard untuk menjaganya. "Oke," Alice senang akhirnya memiliki alasan
"Halo, Tuan Alpha. Aku mengira bahwa anda akan ikut kembali bersama Tuan Liam ke Casia." Alice semula akan beranjak pergi setelah Liam memasuki pesawat, namun suara itu membuatnya menghentikan langkahnya. 'Pria ini lagi,' batin Alice setelah menoleh ke arah suara itu. "Ya, aku tidak kembali ke Casia. Ada sedikit hal yang harus aku urus di sini selama beberapa hari," jawab Alice singkat. "Apa anda sedang sibuk? Maukah pergi minum secangkir kopi denganku?" tanyanya. "Maaf, Tuan Mario. Aku ada keperluan mendesak." Drrtt ddrrttt Alice lupa mematikan nada dering telepon selulernya, dia melihat sekilas nama siapa yang memanggilnya, itu adalah 'Gavin'. Dari kejauhan sini, Alice melirik sekilas ke arah Gavin. Dia sedang meletakkan telepon selulernya ke telinganya. Namun, tiba-tiba saja Gavin menatap ke arahnya. Alice dengan panik, menolak panggilan tersebut. Gavin terlihat menekan tuts telepon selulernya, dan meletakkannya ke telinganya lagi. Alice merasakan telepon selulernya
Beberapa jam yang lalu. "Dias, dimana kamu berada?" tanya Lukas padanya di telepon. "Aku sedang di pusat perbelanjaan mengikuti Alice Rayes. Dia sekarang sedang...." "Dias, ada apa?" tanya Lukas. "Sekarang Alpha dan Jake juga ada di sini, di toko tempat Alice Rayes berada. Alpha membeli sebuah setelan pria baru dan ke ruang ganti." "Apa maksudmu?" "Dia... " Dias heran melihat bahwa Alpha sudah keluar dari kamar ganti dengan cepat. "Alpha sudah berganti pakaian dengan setelan yang dibelinya barusan, dia sudah berjalan keluar dari kamar ganti." "Kemana Alpha dan Jake sekarang? Dan Alice Rayes?" "Sepertinya Jake dan Alpha terburu-buru pergi. Sedangkan Alice, dia masih berada di dalam ruang ganti." "Benarkah?" tanya Lukas, dia merasa keanehan. "Lukas, Alice Rayes sudah keluar dari kamar ganti. Dia saat ini sedang membayar belanjaannya." "Apa kamu tidak melihat sesuatu yang aneh?" "Tampaknya tidak ada, dia terlihat seperti biasa." "Awasi dia terus Dias, aku akan