"Mir, apa aku boleh minta izin untuk mencari Diana?" Abian bertanya takut-takut. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang, dan ia benar-benar khawatir karena gadis itu pergi tanpa membawa uang atau pun ponsel. Dan hingga detik ini Diana tidak ada tanda-tanda mau kembali.Sementara Miranda terus menempel di lengan pria itu. Miranda seolah sengaja membuat Abian tidak bisa lepas dari dirinya. "Ayolah Abian ... kita jarang libur bersama dan punya waktu berduaan seperti ini. Diana pasti baik-baik saja. Nanti juga kalau sudah sadar dia akan kembali ke sini. Dia tidak mungkin bisa pergi jauh karena barang-barangnya masih di sini.""Justru itu yang membuatku khawatir Mir. Kamu ngusir dia tanpa membawa uang dan ponsel. Bagaimana caranya dia bertahan hidup kalau dua pokok kehidupannya saja masih ada di sini!""Pasti dia sudah minta tolong temannya lah! Diana bukan gadis bodoh. Dia mungkin sudah menghubungi Raka atau teman lainnya," kekeh Miranda. Dia tetap tidak membolehkan Abian pergi mencari
Bram menarik napas dalam guna menetralkan sedikit emosinya. Dia melihat Diana mencicit ketakutan karena ucapan kasarnya, dan ia tidak mau sang cucu menantu itu jadi trauma karena ulah Bram sendiri.“Maafkan Kakek Diana! Kakek tidak bermaksud membuat kamu ketakutan apalagi tertekan,” ujarnya. Diana menggeleng. Mata gadis itu berkaca-kaca dan terlihat meloloskan buliran bening dari ujung mata bagian kiri.“Tidak papa Kek. Maafkan aku karena sudah bersikap tidak tahu diri,” kata gadis itu.Kakek Bram semakin merasa bersalah. Tapi dia merasa tidak salah mencarikan seorang istri untuk cucunya, Diana memiliki pembawaan lembut dan kadang tegas di satu sisi. Bram bisa tahu itu karena Diana sempat bersikap jutek saat mengira Kakek Bram yang akan menikahi gadis itu. Dia terus menolak kebaikan Bram, bahkan menghindari kontak fisik dengan lelaki tua itu. Contohnya saat disentuh bahunya Diana tidak mau. Sejauh ini Kakek Bram menebak Diana adalah gadis yang penuh pertahanan diri.“Sebenarnya Kake
Abian buru-buru menuruni anak tangga. Orang pertama yang Abian cari setelah melihat Diana tidak ada di kamarnya adalah kakeknya sendiri.Ya, ia yakin Diana pasti sudah disembunyikan sang Kakek karena Abian sudah menyia-nyiakan gadis itu sejak tadi pagi. Kakeknya mungkin marah, jadi sengaja menyembunyikan Diana di tempat yang tidak bisa ditemukan oleh Abian."Kakek menyembunyikan Diana di mana?" tuduh Abian tanpa basa-basi. Lelaki itu bahkan belum selesai menuruni undakan tangga tapi suara dari mulutnya sudah lebih dulu sampai ke telinga Kakek Bram."Kenapa kamu tanya Kakek?""Ayolah Kek ... Kakek pasti sengaja menyembunyikan Diana! Sekarang dia ada di mana?" kesal Abian."Dicari yang benar dulu Bian! Apa kamu sudah masuk ke dalam? Memangnya kemana lagi Diana pergi kalau tidak ada di kamar?" Kakek Bram menjawab tanpa mengalihkan pandangannya pada buku yang sedang dibaca. Abian buru-buru naik ke atas lagi. Memang tadi ia sangat panik sampai tidak sempat mencari Diana di dalam kamar. P
"Ada orang!" Diana melepas pagutan bibirnya begitu saja. Membuat seseorang di depannya mendengkus kecewa disertai guratan wajah sedikit marah."Biarkan saja! Paling juga pelayan nanyain aku mau makan malam di kamar apa di bawah!" Abian hendak mencium gadis itu lagi, akan tetapi Diana mendorong pelan dada Abian supaya lelaki itu segera membukakan pintu terlebih dahulu."Bukain dulu Mas. Gak enak sama yang di luar!""Aku juga nggak enak diganggu kayak gini!" "Mas--" Diana merengek seperti bocah, membuat Abian semakin mengerucutkan bibir, Namun kakinya tetap melangkah menuju pintu dan membukanya seperempat bagian. "Ada apa?" tanya Abian disertai bentakkan saat melihat muka pelayan yang ada di depannya. Dia benar-benar menyorotkan tatapan murka sampai si pelayan kebingungan sendiri dengan sikap Abian yang tidak biasa.Merasa takut, pelayan itu langsung mundur dengan kepala tertunduk. Ia tidak tahu apa salahnya sampai Abian tega membentaknya seperti itu."Maafkan saya, Tuan! Anda sudah
"Kakek memata-matai kami?" Abian berseru tidak terima saat melihat foto-foto yang berjejer acak di atas meja. Bisa-bisanya sang Kakek memiliki foto Diana yang sedang jalan kaki ke tempat kerja, pikir Abian. Jelas ia curiga kalau selama ini sang Kakek memang memata-matai mereka berdua tanpa sepengetahuan Abian."Jangan salah paham dulu Bian. Itu adalah gambar yang tidak sengaja diambil oleh orang suruhan Kakek saat tak sengaja melihat Diana jalan pagi-pagi sekali. Dari gambar itu sudah jelas kalau kamu selama ini menelantarkan Diana, buktinya dia selalu jalan kaki padahal tempat kerja kalian saling berseberangan.""Itu tidak benar Kek! Diana jalan kaki karena kemauannya sendiri. Kalau tidak percaya tanya saja pada Diana. Apa perlu aku panggil Diana sekarang?"Reaksi Abian terlihat panik meski sang Kakek masih terlihat santai. Bram semakin yakin kalau selama ini Abian tidak memperlakukan Diana dengan baik, baik yang ia ketahui, ataupun yang tidak dirinya ketahui sekalipun."Tidak perl
"Istri pajangan?"Abian termenung meratapi ucapan Diana. Seonggok rasa malu mengantarkan gerakan cepat pada tangan Abian supaya segera menarik diri dari dada milik gadis itu.Diana pun sedikit mengernyit. Ia menimbang ucapannya kembali. Tapi memang tidak ada yang salah dengan ucapan Diana barusan. Sejak awal gadis itu tidak ada dalam prioritas Abian. Dia cuma orang asing yang muncul begitu saja di hidup Abian dan mengacaukan segalanya.Ah, mengingat semua itu Diana jadi miris sendiri. Ia masih ingat saat pertama kali mereka bertemu dan Abian mengecapnya sebagai wanita pembawa sial.Sial!Ialah kata keramat yang menurut Diana paling menyakitkan untuk didengar. Sepanjang hidup Diana, ia tidak pernah berharap dirinya dilahirkan sebagai manusia pembawa sial. Tapi sekarang bukan saatnya untuk Diana bersikap tidak tahu diri. Diana ingat benar perkataan Kakek Bram bahwa apa pun keadaannya dia tidak bisa bercerai dengan Abian.Dia hanya memiliki dua opsi, mencoba membuat Abian menyukainya,
"Jawab Di! Aku lagi nanya ini loh!"Abian sengaja meremas keras-keras bagian itu. Membuat Diana yang tadinya sedang menikmati jadi tersentak dengan kelakukannya."Maaf! Abis aku gemes sama kamu! Kenapa gak mau jawab si?" Abian pura-pura marah. Tapi Diana benar-benar malu menjawab pertanyaan nyeleneh pria itu. Seperti tidak ada pertanyaan lain saja, pikirnya.Kenapa tidak langsung sat set saja si? Kenapa harus nanya hal-hal yang berbau sensitif model begitu?"Mas, lampunya bisa dimatikan dulu?" izin Diana. Ia merasa tak nyaman saat melihat Abian memandang tubuhnya dalam keadaan terang benderang begini. Juga sekaligus mengalihkan pertanyaan Abian yang aneh itu."Jawab pertanyaan aku dulu Di!" Abian menekankan nada bicara karena sejak tadi diabaikan. Terpaksa tangannya harus ditarik dari benda kesayangan itu karena harus mencari remot lampu di atas nakas. Abian lantas mematikan semua lampu dan menyisakan lampu tidur bercahaya pendar.Karena suasana sudah mendukung. Abian melucuti pakaian
Pagi menyapa, kini Diana dapat melihat sosok Abian baru yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Semalam akhirnya mereka bisa tidur dengan nyaman setelah saling memuaskan.Abian benar-benar teguh dengan janjinya. Ia tidak berani melakukan perbuatan lebih dan memastikan Diana dalam keadaan aman dan tentunya masih perawan."Di kamu sudah bangun?" Abian membuka matanya perlahan saat melihat Diana sedang tersenyum ke arahnya. Sepasang pengantin baru itu jadi saling pandang dalam suasana yang sulit diartikan."Aku sudah bangun dari 1 jam lalu. Tapi pengin liat mas Abian dulu. Jadi belum mandi.""Mandi bareng sama aku mau," tawar Abian. Gelengan kepala langsung melayang sebagai jawaban. Abian hanya dapat mendengkus kecewa. Sudah ia tebak jawaban Diana pasti akan seperti itu."Kenapa nggak mau terus, Diana?""Aku malu Mas!" aku gadis itu."Kan aku udah liat semuanya. Bahkan sekarang kita masih dalam keadaan nggak pakai baju," ujar Abian.Semalam Abian merengek dan meminta Diana tidur dalam kead