Sejak foto mesra Abian tersebar luas, hidupnya berubah drastis. Dulu ia seorang CEO yang dihormati, kini ia terpuruk dan hanya bisa berbaring di atas ranjang, tubuhnya semakin lemah dan kurus karena kurang makan. Sudah satu minggu berlalu, namun Abian tak kunjung bangkit dari keterpurukannya.Kakek Bram, yang sangat mencintai cucunya, tak tega melihat keadaan Abian yang semakin memburuk. Terlebih Raka terus merengek dan menyuruh Bram memaafkan Diana."Ayolah Kek! Tolong Abian. Aku sungguh tidak tega melihat keadaanya.""Mau bagaimana lagi? Diana sudah terlanjur sakit hati apalagi saat dirinya melihat foto mesra Abian dan Miranda. Meskipun nantinya Abian bisa membuktikan kalau dia dijebak, tetap saja foto itu bukan editan.""Tapi itu bukan atas dasar kemauan Abian Kek. Oke saya tahu Abian bersalah, tapi apa dia pantas diperlakukan seperti ini. Setidaknya bantu Abian bertemu Diana satu kali saja agar dia bisa menjelaskan langsung pada Diana!""Hmmm. Nanti coba Kakek bicarakan dengan Dia
Sorot mata Diana yang teduh menatap layar ponselnya saat melakukan panggilan video dengan Abian. Rasa cinta terpancar jelas dari wajah Diana, namun sayangnya rasa cinta itu tak cukup untuk mengobati hati yang terluka karena ulah Abian sendiri."Maaf Mas. Aku tidak bisa kembali sama Mas Bian," ucap Diana dengan suara yang bergetar. "Bukannya aku tidak cinta lagi, tapi aku terus-terusan terbayang foto mesra Mas Bian sama Mbak Miranda. Aku rasa aku nggak bisa hidup dalam bayang-bayang seperti itu. Kalau kita bersama, mungkin aku bakalan sesak napas setiap hari!"Abian terdiam, matanya membulat tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Nafasnya terasa berat, seperti ditusuk oleh seribu jarum saat mendengar kata-kata Diana. Dia merasa seolah hatinya diperas hingga tak ada sisa air mata yang bisa jatuh."Diana, aku...," Abian mencoba menjelaskan, namun Diana menggoyang kepala pelan, menandakan bahwa dia tak ingin mendengar penjelasan apa pun dari Abian. Hatinya telah rapuh, tak ma
Setelah berjanji pada Diana akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik, Abian menunjukkan tekadnya yang bulat untuk menepati janjinya. Langkah pertama yang ia ambil adalah dengan berani menghadapi fitnah yang dulu merenggut segalanya darinya. Menyadari betapa besar konsekuensi dari tindakan mantannya, Abian mengumpulkan tim kuasa hukum terbaik untuk membersihkan namanya. Ia mengadakan konferensi pers yang penuh emosional, mengungkap bahwa selama ini ia menjadi korban penjebakan tak berdasar."Para pelaku sudah dijerat hukuman dengan pasalnya masing-masing. Saya harap ke depannya tidak ada yang mengalami hal serupa seperti saya," ucap Abian pada awak media. Saat orang yang terbukti menjadi dalang penjebakan Abian akhirnya tertangkap dan diadili sesuai hukum, dukungan dari publik pun semakin menggema. Abian disambut dengan hangat dan apresiasi yang luar biasa dari netizen, meskipun ia belum bisa kembali menjabat sebagai CEO di perusahaannya. Namun, perlahan tapi pasti, semanga
Abian menyandarkan punggungnya ke belakang, tangan gemetar memegang file gugatan cerai yang baru saja diterimanya dari Diana. Wajahnya pucat pasi, perasaan hancur dan kecewa bercampur menjadi satu. Selama dua tahun ini, dia telah berjuang keras demi masa depan mereka berdua, dan kini ternyata semua sia-sia."Kenapa Diana minta cerai?" tanya Abian dengan suara parau, tak mampu menyembunyikan rasa pilunya."Diana sudah punya calon suami lain. Katanya Diana ingin menikah!" sahut Raka. Sorot mata teduh itu terlihat menatap iba pada sahabatnya. Namun Raka pun tak tahu harus berbuat apa selain menyuruh Abian bangkit dan melupakan harapannya bersama Diana."Apa kau bilang? Kau tidak sedang bercanda kan, Rak? Aku di sini berjuang mati-matian buat Diana dan anak kita. Kenapa dia tega sekali melakukan itu?" Abian menatap Raka dengan mata yang memerah, mencoba mencari kebenaran di balik ucapan temannya itu."Untuk apa aku bohong. Orang suruhanmu bilang sendiri! Kakek juga mengizinkan." Rendi men
Abian dan Raka berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju kebun belakang rumah Kakek Bram setelah mendapat informasi dari salah seorang pelayan bahwa Kakek Bram sedang berkebun di sana. Sesampainya di kebun, mereka melihat Kakek Bram sedang tekun merawat tanaman-tanamannya dengan cekatan.Dia melirik sedikit kedatangan Abian dan Raka tapi tetap lanjut memotong daun bunga mawar."Kek!" sapa Abian."Ada apa gerangan kalian datang ke sini, cucuku?" Bram bertanya sok polos sambil tersenyum ramah. Namun Abian tak berniat untuk berbasa-basi, ia langsung menyampaikan maksud kedatangannya."Tidak usah basa-basi, Kek. Langsung ke inti saja! Tadi Diana baru saja mengirim surat gugatan cerai padaku," ujar Abian dengan nada yang keras dan kesal."Oh, ya?" Kakek Bram berpura-pura terkejut, walaupun sebenarnya ia sudah mengetahui masalah tersebut. "Kakek pasti sudah tahu lah. Sekarang beri tahu aku dimana alamat Diana dan anakku." Abian semakin menegaskan, matanya menatap tajam ke arah Kakek Bram
Abian terus berlutut di kebun bunga meskipun waktu telah berlalu 5 jam lamanya. Langit mulai menampakkan gelapnya malam, dan hujan yang turun kini hanya menyisakan gerimis tipis-tipis yang menerpa wajahnya. Namun, tekad Abian tak bergeming sedikit pun."Kita lihat siapa yang akan mati duluan, aku atau justru harapanku," gumam Abian.Di sampingnya, Raka tetap setia menemani sahabatnya itu. Berkali-kali ia mencoba membujuk Abian untuk kembali ke dalam rumah, mengingat wajah Abian sudah pucat dan bibirnya mulai membiru akibat dingin."Sudah, Bian, masuk ke dalam saja. Lihat wajahmu, sudah pucat sekali!" ujar Raka khawatir.Namun Abian tetap keras kepala. Dia tidak mau mengalah dan bertekad untuk terus berlutut di kebun bunga itu. Dalam hatinya, Abian ingin menunjukkan kepada Diana dan anaknya betapa besar pengorbanan yang ia relakan demi mereka."Aku tidak akan berhenti berlutut sampai aku mati. Biar Diana dan anakku tahu kalau aku rela berkorban buat dia!" seru Abian dengan mata berkaca
"Diana!" teriak Abian histeris, keringat dingin mengucur deras membasahi keningnya.Dengan nafas terengah-engah, Abian bangun ke posisi terduduk. Pemandangan dinding berwarna krem, tempat tidur besi, dan bau antiseptik langsung menyadarkannya bahwa ia berada di sebuah rumah sakit."Ini rumah sakit, bukan rumah Diana!" suara Raka tiba-tiba menginterupsi lamunan Abian, membuatnya menoleh dengan ekspresi kaget sekaligus menyadarkan Abian kalau apa yang dilihatnya sekarang bukanlah mimpi."Diana di mana?" tanya Abian dengan mata membelalak.Raka tersenyum sebal. Lalu hidungnya mendengkus malas beberapa saat kemudian."Belum waktunya ketemu Diana, Bian! Sembuh dulu! Kamu gak sadar kalau sekarang kamu lagi ada di ranjang rumah sakit. Baru aja bangun sudah nyariin Diana," ujar Raka dengan nada tak bersahabat, tapi tangannya tetap setia menepuk-nepuk punggung Abian."Aku sakit apa?" tanya Abian bingung, masih berusaha mencerna situasi saat ini."Demam tinggi selama dua hari. Untung nggak kena
Abian berdiri di depan sebuah villa megah yang dikelilingi oleh taman indah.Itu adalah tempat di mana dia pernah merasakan kebahagiaan bersama orang tua dan keluarga yang lengkap. Villa yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya kini telah berpindah tangan.Air mata tak bisa Abian tahan saat mengenang kenangan manis yang pernah ia jalani di tempat itu. Dulu, saat kedua orang tuanya masih ada, hidup Abian penuh dengan canda tawa dan kasih sayang.Namun, kini semua itu sudah berlalu, dan Abian harus menerima kenyataan bahwa dirinya sudah dewasa dan harus menghadapi hidup yang penuh tantangan.Sambil menatap villa tersebut, Abian merasa penasaran dan rindu dengan sosok penghuni yang kini menempati tempat itu.Diana, wanita yang menjadi istrinya, telah dua tahun ia tak pernah bertemu, baik secara raga maupun wujud.Mengetahui bahwa Diana tinggal di villa tersebut, perasaan rindu dan penasaran yang menyelimuti hati Abian menjadi semakin kuat!Sambil mengusap air mata yang menetes, Abian b