Abian dan Raka berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju kebun belakang rumah Kakek Bram setelah mendapat informasi dari salah seorang pelayan bahwa Kakek Bram sedang berkebun di sana. Sesampainya di kebun, mereka melihat Kakek Bram sedang tekun merawat tanaman-tanamannya dengan cekatan.Dia melirik sedikit kedatangan Abian dan Raka tapi tetap lanjut memotong daun bunga mawar."Kek!" sapa Abian."Ada apa gerangan kalian datang ke sini, cucuku?" Bram bertanya sok polos sambil tersenyum ramah. Namun Abian tak berniat untuk berbasa-basi, ia langsung menyampaikan maksud kedatangannya."Tidak usah basa-basi, Kek. Langsung ke inti saja! Tadi Diana baru saja mengirim surat gugatan cerai padaku," ujar Abian dengan nada yang keras dan kesal."Oh, ya?" Kakek Bram berpura-pura terkejut, walaupun sebenarnya ia sudah mengetahui masalah tersebut. "Kakek pasti sudah tahu lah. Sekarang beri tahu aku dimana alamat Diana dan anakku." Abian semakin menegaskan, matanya menatap tajam ke arah Kakek Bram
Abian terus berlutut di kebun bunga meskipun waktu telah berlalu 5 jam lamanya. Langit mulai menampakkan gelapnya malam, dan hujan yang turun kini hanya menyisakan gerimis tipis-tipis yang menerpa wajahnya. Namun, tekad Abian tak bergeming sedikit pun."Kita lihat siapa yang akan mati duluan, aku atau justru harapanku," gumam Abian.Di sampingnya, Raka tetap setia menemani sahabatnya itu. Berkali-kali ia mencoba membujuk Abian untuk kembali ke dalam rumah, mengingat wajah Abian sudah pucat dan bibirnya mulai membiru akibat dingin."Sudah, Bian, masuk ke dalam saja. Lihat wajahmu, sudah pucat sekali!" ujar Raka khawatir.Namun Abian tetap keras kepala. Dia tidak mau mengalah dan bertekad untuk terus berlutut di kebun bunga itu. Dalam hatinya, Abian ingin menunjukkan kepada Diana dan anaknya betapa besar pengorbanan yang ia relakan demi mereka."Aku tidak akan berhenti berlutut sampai aku mati. Biar Diana dan anakku tahu kalau aku rela berkorban buat dia!" seru Abian dengan mata berkaca
"Diana!" teriak Abian histeris, keringat dingin mengucur deras membasahi keningnya.Dengan nafas terengah-engah, Abian bangun ke posisi terduduk. Pemandangan dinding berwarna krem, tempat tidur besi, dan bau antiseptik langsung menyadarkannya bahwa ia berada di sebuah rumah sakit."Ini rumah sakit, bukan rumah Diana!" suara Raka tiba-tiba menginterupsi lamunan Abian, membuatnya menoleh dengan ekspresi kaget sekaligus menyadarkan Abian kalau apa yang dilihatnya sekarang bukanlah mimpi."Diana di mana?" tanya Abian dengan mata membelalak.Raka tersenyum sebal. Lalu hidungnya mendengkus malas beberapa saat kemudian."Belum waktunya ketemu Diana, Bian! Sembuh dulu! Kamu gak sadar kalau sekarang kamu lagi ada di ranjang rumah sakit. Baru aja bangun sudah nyariin Diana," ujar Raka dengan nada tak bersahabat, tapi tangannya tetap setia menepuk-nepuk punggung Abian."Aku sakit apa?" tanya Abian bingung, masih berusaha mencerna situasi saat ini."Demam tinggi selama dua hari. Untung nggak kena
Abian berdiri di depan sebuah villa megah yang dikelilingi oleh taman indah.Itu adalah tempat di mana dia pernah merasakan kebahagiaan bersama orang tua dan keluarga yang lengkap. Villa yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya kini telah berpindah tangan.Air mata tak bisa Abian tahan saat mengenang kenangan manis yang pernah ia jalani di tempat itu. Dulu, saat kedua orang tuanya masih ada, hidup Abian penuh dengan canda tawa dan kasih sayang.Namun, kini semua itu sudah berlalu, dan Abian harus menerima kenyataan bahwa dirinya sudah dewasa dan harus menghadapi hidup yang penuh tantangan.Sambil menatap villa tersebut, Abian merasa penasaran dan rindu dengan sosok penghuni yang kini menempati tempat itu.Diana, wanita yang menjadi istrinya, telah dua tahun ia tak pernah bertemu, baik secara raga maupun wujud.Mengetahui bahwa Diana tinggal di villa tersebut, perasaan rindu dan penasaran yang menyelimuti hati Abian menjadi semakin kuat!Sambil mengusap air mata yang menetes, Abian b
Sudah satu jam lebih Abian duduk di ruang tamu. Di rumahnya ini, segala yang ada terasa asing untuk Abian.Dia bahkan tidak berani mencari keberadaan anaknya. Sejak Diana menyuruh Abian menunggu tak ada satu pun orang yang datang menemuinya. Bahkan untuk sekadar menyambut kedatangan Abian atau memberi segelas minumam saja tidak ada.Kenapa para pembantu di rumah ini yang dulu banyak sekali? Apa jangan-jangan Diana hanya hidup berdua dengan Azka?Masa sih?Di rumah sebesar ini? Pikir Abian.Lelaki itu memutuskan keliling villa karena dihantui rasa bosan. Kaki Abian terus melangkah, menyusuri ruangan demi ruangan sampai tak sadar langkahnya terhenti di depan kamar yang pintunya agak terbuka.Dalam siam Abian mencoba melihat pemandangan yang ada di dalam sana. Ternyata Diana sedang berusaha menidurkan Azka.Perempuan itu tampak telaten mengusap-usap kepala Azka dengan posisi Azka yang masih menempel pada dadanya."Manisnya," gumam Abian tanpa sadar.Rasanya Abian ingin ikut melompat ke
"Diana?" Pria itu menyapa Diana dengan lembut.Sungguh hati Abian langsung terbakar saat Diana begitu lugas melempar senyumnya pada pria itu.Ya, sepertinya Abian tidak bisa mengambil hati Diana dengan cara santai sesuai rencananya. Dia harus membuat gebrakan baru supaya dua mahluk menyebalkan itu sadar kalau posisi Abian dalam hubungan ini masih sangat penting.Abian masih suami Diana secara sah. Mereka belum bercerai bahkan Abian belum pernah mengucapkan kata itu sama sekali."Mas Pras?""Iya Diana. Kamu lagi sama siapa?" tanya Pras karena belum melihat wajah Abian.Pras?Abian mengerutkan kening. Tunggu dulu!Sepertinya Abian tidak asing dengan nama itu.Saat matanya melirik ke samping, memperhatikan lebih jelas wajah pria itu, ternyata memang benar Pras yang dimaksud Abian adalah Pras mantan temanya dulu."Pras, kenapa kamu bisa ada di sini? Di rumah istriku," ucap Abian penuh penekanan."Loh, Bian?" Pras justru terkekeh. "Sudah lama kita nggak ketemu ya. Maaf aku belum sempat mem
“Lunasi hutangmu!”Suara menggelar Kakek Bram memenuhi kontrakan sempit milik Firman. Lelaki tua itu bersiap menarik pelatuk untuk ditembakkan bila mana targetnya kabur lagi. Firman mengangkat dua tangannya ke atas. Dia adalah mantan orang kepercayaan Bram. Bisa dibilang dia adalah sahabat yang sudah dianggap saudara. Namun karena gelap mata, Firman menggelapkan beberapa aset milik Kakek Bram senilai ratusan juta di masa lalu. Lelaki itu berjanji akan mengembalikan, nyata sudah puluhan tahun dia main kabur-kaburan dan berhasil menghindari kejaran orang-orang Bram. “Kali ini aku tidak akan membiarkanmu lolos, Fir. Jika kau tidak bisa melunasi hutangmu, maka nyawamu harus menjadi gantinya!” seru Bram lagi. Dia yang akan membunuh lelaki sialan itu dengan tangannya sendiri.Firman menarik napas panjang. Dia melirik sebuah pintu di mana putrinya yang tidak berguna sedang bersembunyi di sana.“Tunggu sebentar. Aku sudah menyiapkan sesuatu untukmu dari jauh-jauh hari.”Lelaki itu melengga
Deretan cluster mewah menjadi pemandangan Diana untuk pertama kali setelah menempuh perjalanan kurang lebih 12 jam. Mobil yang mereka tumpangi tiba di depan gerbang hitam yang rumahnya sangat mewah. Rumah itu terlihat mirip istana dengan halaman yang cukup luas.Perjalanan dari gerbang menuju rumah menjadi pemandangan yang paling indah. Banyak lampu-lampu taman. Diana bisa membayangkan betapa indahnya bermain di taman ini jika hari sudah siang. Gadis itu berdecak kagum. Namun semua keheranannya luntur tatkala ia mengingat pernikahan yang akan dilaksanakan besok pagi. “Ehem!” Suara dehaman Bram membuat Diana tersentak. Gadis itu menoleh dengan sepasang mata sembab dan guratan lelah di antara kantung mata.“Setelah ini kamu bisa langsung istirahat Diana. Besok akan ada pelayan yang akan membangunkanmu pagi-pagi sekali,” ucap Bram. Diana hanya mengangguk tanpa bicara. Selama dalam perjalanan memang gadis itu terus diam dan hanya sesekali menjawab pertanyaan Bram. Dia merasa tidak perl