----
Langit senja melukis semburat jingga di balik tirai jendela besar ruang keluarga. Mauren baru saja menyelesaikan pekerjaannya di kamar ketika langkah-langkah kecil membawanya turun ke lantai bawah. Niatnya sederhana—hanya ingin mengambil segelas air. Namun langkah itu, yang awalnya biasa saja, ternyata membawa Mauren ke sebuah percakapan yang akan mengguncang dunianya.
Di ruang tamu, suara tegas tapi dingin milik Ibu Ares menggema, mengisi keheningan rumah megah itu.
“Ares, kamu tahu apa yang keluarga kita harapkan darimu,” kata wanita paruh baya itu, nadanya penuh tekanan.
Mauren berhenti di tengah tangga, menyembunyikan diri di balik dinding. Telinganya menangkap setiap kata, sementara jantungnya berdetak lebih cepat.
“Sudah delapan tahun menikah dengan Ava, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda. Apa kamu mau terus membiarkan garis keturunan kita berhenti di sini?”
“Ibu ...” Ares menjawab, suaranya lelah namun tetap berusaha tenang. “Aku dan Ava sedang berusaha. Ini bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.”
“Berusaha?” Nada Ibu Ares berubah menjadi sinis, disertai tawa kecil yang menyakitkan. “Kalau memang berusaha, hasilnya pasti sudah ada! Jangan membuang waktu, Ares. Kalau Ava tidak bisa memberimu anak, mungkin sudah saatnya kamu menikah lagi.”
Mauren menahan napas, matanya membelalak. Pernikahan lagi? Itu tak pernah terlintas di pikirannya.
“Ibu,” Ares menjawab tegas, “Aku tidak akan melakukan itu. Aku mencintai Ava. Dia istriku. Aku tidak akan menyakitinya dengan cara seperti itu.”
“Kalau begitu, cerai saja!” sergah Ibu Ares tajam. “Jangan buang waktumu dengan wanita yang tak bisa memberikan keturunan. Keluarga ini membutuhkan ahli waris, dan itu tugasmu.”
Mauren menggigit bibir, tangannya gemetar mendengar ucapan itu. Cerai? Ia tak bisa membayangkan kakaknya, Ava, yang lembut dan penuh cinta, kehilangan pria yang begitu ia sayangi. Namun di balik kekhawatiran itu, pikiran lain muncul di benak Mauren, meluncur perlahan seperti bisikan.
Bukankah aku bisa membantu?
Mauren memejamkan mata. Pikiran itu gila. Mustahil. Namun semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin pikiran itu berakar kuat. Jika Ares membutuhkan anak untuk menyelamatkan pernikahannya, bukankah ia bisa menjadi jawaban?
---
Malam itu, Mauren tidak bisa tidur. Matanya terus menatap langit-langit kamar, pikirannya berputar-putar.
“Ini bukan tentang aku,” bisiknya pada diri sendiri. “Ini tentang Kak Ares dan Kak Ava. Aku hanya ingin membantu.”
Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu ada bagian dari dirinya yang ingin lebih dari itu. Ia ingin merasakan cinta Ares, meski hanya sekejap, bahkan jika itu berarti ia harus berkorban segalanya.
Namun keesokan paginya, kenyataan menyergapnya dengan kekuatan yang baru. Saat melihat Ava tertawa bersama Ares di meja makan, Mauren menyadari ada ikatan kuat di antara keduanya yang tak bisa ia patahkan.
Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri, Apakah aku benar-benar ingin melibatkan diri dalam hubungan mereka? Tapi meski ia tahu jawabannya seharusnya "tidak," hasrat yang tertahan selama bertahun-tahun itu terus mendorongnya maju.
Hari-hari berikutnya, Mauren mencoba mencari celah. Ia menciptakan momen dengan Ares—membawa kopi saat Ares bekerja di ruang tamu, menemaninya membersihkan taman, atau sekadar berbicara hal-hal kecil.
Ares tetap ramah, seperti biasanya, meski sesekali ada tatapan heran di wajahnya. Ia tak menyadari bahwa di balik senyum Mauren ada sebuah niat yang terus berkembang.
Namun di malam saat Ava keluar untuk menghadiri acara kantor, Mauren melihat celah itu. Ia memasuki ruang kerja Ares, mengumpulkan keberanian yang tersisa untuk melangkah.
“Kak Ares,” panggilnya lembut sambil melangkah masuk.
Ares mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. “Oh, ada apa, Ren?”
“Tidak apa-apa,” jawab Mauren, duduk di sofa. “Aku cuma lihat Kakak kelihatan lelah. Apa ada yang bisa kubantu?”
Ares menggeleng, menghela napas panjang. “Tidak, Ren. Aku cuma banyak pikiran.”
Mauren menatapnya, mencoba mencari keberanian. “Kak, aku dengar percakapanmu dengan Ibu waktu itu ...”
Ares menatapnya tajam, kaget. “Kamu dengar?”
Mauren mengangguk pelan. “Maaf, aku tidak sengaja. Tapi aku terus memikirkannya, Kak.”
“Mauren, itu masalah yang sangat pribadi,” jawab Ares tegas.
“Tapi aku ingin membantu,” potong Mauren, suaranya nyaris bergetar.
Ares mengerutkan kening. “Membantu? Maksudmu apa?”
Mauren menelan ludah, mencoba mengendalikan dirinya. “Kakak membutuhkan anak untuk menyelamatkan pernikahan ini, kan? Aku ... aku bisa membantumu.”
Ruangan itu menjadi sunyi. Ares menatapnya, bingung dan kaget. “Mauren, apa maksudmu? Itu ... tidak masuk akal.”
“Aku serius, Kak,” Mauren mendesak, suaranya hampir berbisik. “Aku bisa memberikan anak itu untukmu. Diam-diam. Setelah semuanya selesai, aku akan pergi. Tidak ada yang perlu tahu.”
“Mauren, itu salah!” sergah Ares, suaranya meninggi untuk pertama kalinya.
“Tapi bukankah lebih baik seperti ini daripada Kakak harus menikah lagi atau menceraikan Kak Ava?” Mauren memohon, air matanya mulai mengalir.
Ares berdiri, menatapnya dengan ekspresi campur aduk—marah, bingung, dan kecewa. “Mauren, aku tidak percaya kamu bisa berpikir seperti itu.”
Mauren menunduk, suaranya gemetar. “Aku hanya ingin membantu, Kak. Aku tidak ingin melihat Kak Ava terluka.”
Ares menghela napas berat, lalu berkata dengan nada yang lebih lembut. “Mauren, aku menghargai niatmu. Tapi ini bukan caranya. Jangan pernah berpikir seperti ini lagi.”
---
Malam itu, Mauren menangis sendirian di kamarnya. Ia tahu apa yang ia tawarkan salah, tapi ia merasa begitu putus asa untuk membantu.
Namun di balik air mata itu, ia merasa lega. Ares tetap teguh pada cintanya untuk Ava.
Mauren tahu waktunya di rumah ini tidak akan lama lagi. Ia memutuskan untuk pergi, mencari tempat di mana ia bisa memulai kembali, jauh dari bayang-bayang perasaan yang salah ini.
Di luar, bintang-bintang bersinar redup di langit malam. Mauren menatap mereka, berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi melangkah ke arah yang bisa menghancurkan orang-orang yang ia cintai.
To be continued ☘️ ☘️ ☘️ ☘️ ☘️
Ares memijat pelipisnya yang berdenyut. Ia duduk di ruang kerjanya dengan kepala penuh beban. Sudah beberapa minggu ini ibunya semakin sering membahas soal cucu.Awalnya, ia hanya menganggapnya sebagai keluhan biasa, tapi belakangan intensitasnya semakin meningkat. Hari ini, ia baru saja menghadiri makan siang keluarga di mana ibunya tanpa malu-malu kembali menyebutkan betapa pentingnya keturunan dalam keluarga mereka.“Cucu itu bukan sekadar penerus, Ares. Itu simbol keberlangsungan keluarga kita. Apa kau mau aku mati tanpa melihat darah dagingmu lahir?” suara ibunya terngiang di telinganya, penuh tekanan dan tuntutan.Ares mencoba mengalihkan topik saat itu, tapi ibunya lebih cepat. Ia bahkan mulai membandingkan Ava dengan istri-istri teman Ares yang sudah memiliki anak.“Lihatlah teman-temanmu, semua istri mereka sudah melahirkan. Kau tidak kasihan pada keluargamu sendiri? Atau mungkin … sudah waktunya kau pikirkan pilihan lain?”Kata-kata itu membuat darah Ares berdesir. Pilihan la
Pesona Mauren di Mata SunnyMauren duduk di ruang tamu rumah Ares, mengenakan dress sederhana berwarna pastel yang mempertegas kesan anggun dan bersahaja. Ia tengah berbicara dengan Sunny, ibu Ares, yang tampak lebih ceria dari biasanya. Senyum di wajah Sunny menunjukkan betapa ia menikmati percakapan dengan Mauren.“Aku tidak tahu bagaimana caranya kau bisa membuat teh ini begitu nikmat, Mauren. Rasanya berbeda dari teh yang biasa disajikan,” kata Sunny sambil menyesap cangkirnya.Mauren tersenyum lembut. “Tidak ada rahasia, Tante. Mungkin hanya karena aku menambahkan sedikit jahe. Itu resep dari ibu kami dulu, katanya bagus untuk kesehatan.”Sunny mengangguk penuh penghargaan. “Oh, ibu kalian pasti wanita yang luar biasa. Melihatmu, aku bisa membayangkan seperti apa dia. Kau ini adik Ava, tapi caramu membawa diri begitu berbeda.”Mauren hanya tersenyum, tidak ingin terlalu banyak bicara. Ia tahu bahwa Sunny tidak begitu menyukai kakaknya, Ava, meskipun sudah menikah dengan Ares sela
Malam telah larut, tetapi Ares masih duduk di ruang tamu. Hatinya terasa berat, pikirannya penuh dengan tekanan dari ibunya yang semakin sering membahas soal cucu, perceraian, dan wanita lain. Malam itu, Ava sudah tidur lebih dulu. Ia merasa tidak enak hati membangunkan istrinya untuk berbagi beban. Maka, ia memilih duduk sendiri, menyesap segelas wine.Saat itu, langkah kaki ringan terdengar dari arah dapur. Mauren muncul dengan mengenakan piyama longgar, membawa segelas teh hangat.“Kak Ares, kau belum tidur?” tanyanya sambil mendekat.Ares tersenyum kecil. “Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang kupikirkan.”Mauren duduk di sofa seberang. “Mungkin kau butuh teh untuk menenangkan pikiran. Aku baru saja membuatnya, dan aku bisa buatkan untukmu juga.”Ares menggeleng. “Tidak perlu repot-repot, Mauren. Aku hanya ingin waktu untuk merenung.”Namun Mauren tetap bangkit, pergi ke dapur, dan kembali dengan secangkir teh hangat. Ia meletakkannya di depan Ares. “Minumlah. Kalau kau terus sepe
Hari-hari terus berlalu, dan hubungan antara Ares dan Mauren semakin erat, meski kedekatan itu masih berada dalam bayang-bayang keheningan. Ava, yang selalu memperhatikan, mulai merasakan sesuatu yang sulit ia ungkapkan. Mauren tampak semakin sering berada di sisi Ares, bukan hanya saat makan malam keluarga, tetapi juga pada momen-momen yang biasanya menjadi waktu pribadi Ava dan suaminya.Malam itu, Ava duduk di depan cermin kamar tidur mereka, menyisir rambutnya dengan perlahan. Ares masuk ke kamar, menutup pintu dengan hati-hati. Ava meliriknya melalui pantulan cermin, lalu tersenyum kecil.“Ares, kau pulang lebih awal dari biasanya,” katanya.Ares mengangguk sambil melepas jasnya. “Aku memutuskan untuk tidak lembur hari ini. Aku pikir kita bisa makan malam bersama.”Ava terdiam sesaat. “Itu ide yang bagus. Tapi ... sepertinya Mauren juga ikut makan malam tadi, bukan?”Ares melirik istrinya dengan tatapan bingung. “Ya, dia sedang membantu di dapur. Kenapa?”Ava menggeleng pelan. “T
Ares kini duduk di ruang kerjanya yang sunyi, pandangannya kosong menatap layar komputer yang menyala. Pikirannya tak sepenuhnya berada di ruangan itu. Ada pergolakan emosi yang ia rasakan, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi. Perasaan aneh dan tak terduga terhadap Mauren mulai menghantui benaknya.Mauren adalah wanita yang berbeda dari Ava. Ia ceria, energik, dan selalu tahu bagaimana mencairkan suasana. Ketika Ava sibuk dengan penyakitnya yang ia sembunyikan, Mauren menjadi satu-satunya tempat Ares merasa dihargai dan diperhatikan. Meskipun awalnya ia hanya menganggap Mauren sebagai adik kecil dari istrinya saja, namun kini segalanya mulai terasa berbeda.Ares memijat pelipisnya yang berdenyut memikirkan ini semua, ia mencoba menepis pikiran-pikiran yang belakangan ini perlahan menguasainya. Ia mencintai Ava—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini selama ini. Mereka telah menikah lama, yakni selama delapan tahun, meskipun belum dikaruniai anak, pernikahan mereka aw
Di suatu malam yang tenang, Ava sedang duduk di ruang tamu, menatap gelapnya malam melalui jendela. Perasaan gelisah dan curiga terhadap Ares semakin kuat. Selama beberapa minggu terakhir, ia merasakan ada sesuatu yang tidak biasa antara suaminya dan Mauren. Sikap Ares yang semakin dingin terhadapnya, ditambah dengan keakraban yang terlihat jelas antara Ares dan Mauren, membuat hatinya semakin resah.Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan. Setelah beberapa saat berjuang dengan pikirannya sendiri, Ava memutuskan untuk tidak lagi diam. Ia merasa harus menemukan jawabannya, apa pun risikonya.Esok harinya, saat Ares akan pergi bekerja, Ava memanfaatkan waktu itu untuk menyelidiki. Ia masuk ke ruang kerja Ares, tempat yang biasanya tidak pernah ia sentuh. Ruangan itu terlihat teratur seperti biasa, tetapi Ava merasa ada sesuatu yang tersimpan di tempat ini, sesuatu yang bisa mengungkapkan kebenaran pikirnya.Ia mulai membuka laci m
Pagi itu, Ava merasa kepalanya berat. Mata yang sembab akibat tangis malam sebelumnya sulit ia sembunyikan. Ia bangkit dari tempat tidur dengan perasaan campur aduk, antara kekecewaan terhadap Ares dan ketakutan akan langkah selanjutnya. Ava tahu ia harus bertindak tegas, tetapi sebelum ia sempat memutuskan, suara ketukan keras di pintu depan mengalihkan pikirannya.Saat membuka pintu, ia melihat ibu Ares berdiri di sana, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Ava merasa tak nyaman. Perempuan tua itu melangkah masuk tanpa menunggu undangan, membawa aura ketegangan yang langsung memenuhi ruangan.“Kita perlu bicara,” kata ibu Ares dengan nada serius, menatap Ava dari atas hingga bawah.Ava mencoba bersikap tenang, meski ia sudah menduga pembicaraan ini tak akan berjalan lancar. Ia menyiapkan secangkir teh untuk ibu Ares, yang hanya duduk dengan tangan terlipat, seperti mempersiapkan serangan.“Kamu tahu apa yang ingin kubicarakan,” ibu Ares memulai setelah beberapa menit keheningan
Di suatu malam yang sunyi, hanya terdengar dentingan jam yang berdetik. Ares duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang berkecamuk. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya beberapa bulan terakhir terasa seperti benang kusut yang sulit diurai. Hubunganya dengan Ava yang semakin dingin, belum lagi desakan ibunya untuk menikahi Mauren, dan sekarang perasaan bersalahnya yang terus menghantui dan menjadi beban yang kian tak tertahankan.Di atas meja kerjanya, tergeletak laporan medis Ava yang tak sengaja ia baca beberapa hari sebelumnya. Dokumen itu menjadi titik balik yang memaksanya merenungkan sejauh mana ia telah melukai wanita yang dulu ia sudah berjanji untuk mencintai dan menlindungi. Namun, di sisi lain, kehadiran Mauren juga telah mengguncang hatinya. Ia tidak bisa memungkiri kenyamanan yang ia rasakan saat bersama wanita itu, sebuah perasaan yang telah lama hilang dari hubungannya dengan Ava.Keputusan yang harus ia buat tidak hanya melibatkan dirinya sendiri, tetapi juga kehidup
Di suatu malam yang sunyi, hanya terdengar dentingan jam yang berdetik. Ares duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang berkecamuk. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya beberapa bulan terakhir terasa seperti benang kusut yang sulit diurai. Hubunganya dengan Ava yang semakin dingin, belum lagi desakan ibunya untuk menikahi Mauren, dan sekarang perasaan bersalahnya yang terus menghantui dan menjadi beban yang kian tak tertahankan.Di atas meja kerjanya, tergeletak laporan medis Ava yang tak sengaja ia baca beberapa hari sebelumnya. Dokumen itu menjadi titik balik yang memaksanya merenungkan sejauh mana ia telah melukai wanita yang dulu ia sudah berjanji untuk mencintai dan menlindungi. Namun, di sisi lain, kehadiran Mauren juga telah mengguncang hatinya. Ia tidak bisa memungkiri kenyamanan yang ia rasakan saat bersama wanita itu, sebuah perasaan yang telah lama hilang dari hubungannya dengan Ava.Keputusan yang harus ia buat tidak hanya melibatkan dirinya sendiri, tetapi juga kehidup
Pagi itu, Ava merasa kepalanya berat. Mata yang sembab akibat tangis malam sebelumnya sulit ia sembunyikan. Ia bangkit dari tempat tidur dengan perasaan campur aduk, antara kekecewaan terhadap Ares dan ketakutan akan langkah selanjutnya. Ava tahu ia harus bertindak tegas, tetapi sebelum ia sempat memutuskan, suara ketukan keras di pintu depan mengalihkan pikirannya.Saat membuka pintu, ia melihat ibu Ares berdiri di sana, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Ava merasa tak nyaman. Perempuan tua itu melangkah masuk tanpa menunggu undangan, membawa aura ketegangan yang langsung memenuhi ruangan.“Kita perlu bicara,” kata ibu Ares dengan nada serius, menatap Ava dari atas hingga bawah.Ava mencoba bersikap tenang, meski ia sudah menduga pembicaraan ini tak akan berjalan lancar. Ia menyiapkan secangkir teh untuk ibu Ares, yang hanya duduk dengan tangan terlipat, seperti mempersiapkan serangan.“Kamu tahu apa yang ingin kubicarakan,” ibu Ares memulai setelah beberapa menit keheningan
Di suatu malam yang tenang, Ava sedang duduk di ruang tamu, menatap gelapnya malam melalui jendela. Perasaan gelisah dan curiga terhadap Ares semakin kuat. Selama beberapa minggu terakhir, ia merasakan ada sesuatu yang tidak biasa antara suaminya dan Mauren. Sikap Ares yang semakin dingin terhadapnya, ditambah dengan keakraban yang terlihat jelas antara Ares dan Mauren, membuat hatinya semakin resah.Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan. Setelah beberapa saat berjuang dengan pikirannya sendiri, Ava memutuskan untuk tidak lagi diam. Ia merasa harus menemukan jawabannya, apa pun risikonya.Esok harinya, saat Ares akan pergi bekerja, Ava memanfaatkan waktu itu untuk menyelidiki. Ia masuk ke ruang kerja Ares, tempat yang biasanya tidak pernah ia sentuh. Ruangan itu terlihat teratur seperti biasa, tetapi Ava merasa ada sesuatu yang tersimpan di tempat ini, sesuatu yang bisa mengungkapkan kebenaran pikirnya.Ia mulai membuka laci m
Ares kini duduk di ruang kerjanya yang sunyi, pandangannya kosong menatap layar komputer yang menyala. Pikirannya tak sepenuhnya berada di ruangan itu. Ada pergolakan emosi yang ia rasakan, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi. Perasaan aneh dan tak terduga terhadap Mauren mulai menghantui benaknya.Mauren adalah wanita yang berbeda dari Ava. Ia ceria, energik, dan selalu tahu bagaimana mencairkan suasana. Ketika Ava sibuk dengan penyakitnya yang ia sembunyikan, Mauren menjadi satu-satunya tempat Ares merasa dihargai dan diperhatikan. Meskipun awalnya ia hanya menganggap Mauren sebagai adik kecil dari istrinya saja, namun kini segalanya mulai terasa berbeda.Ares memijat pelipisnya yang berdenyut memikirkan ini semua, ia mencoba menepis pikiran-pikiran yang belakangan ini perlahan menguasainya. Ia mencintai Ava—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini selama ini. Mereka telah menikah lama, yakni selama delapan tahun, meskipun belum dikaruniai anak, pernikahan mereka aw
Hari-hari terus berlalu, dan hubungan antara Ares dan Mauren semakin erat, meski kedekatan itu masih berada dalam bayang-bayang keheningan. Ava, yang selalu memperhatikan, mulai merasakan sesuatu yang sulit ia ungkapkan. Mauren tampak semakin sering berada di sisi Ares, bukan hanya saat makan malam keluarga, tetapi juga pada momen-momen yang biasanya menjadi waktu pribadi Ava dan suaminya.Malam itu, Ava duduk di depan cermin kamar tidur mereka, menyisir rambutnya dengan perlahan. Ares masuk ke kamar, menutup pintu dengan hati-hati. Ava meliriknya melalui pantulan cermin, lalu tersenyum kecil.“Ares, kau pulang lebih awal dari biasanya,” katanya.Ares mengangguk sambil melepas jasnya. “Aku memutuskan untuk tidak lembur hari ini. Aku pikir kita bisa makan malam bersama.”Ava terdiam sesaat. “Itu ide yang bagus. Tapi ... sepertinya Mauren juga ikut makan malam tadi, bukan?”Ares melirik istrinya dengan tatapan bingung. “Ya, dia sedang membantu di dapur. Kenapa?”Ava menggeleng pelan. “T
Malam telah larut, tetapi Ares masih duduk di ruang tamu. Hatinya terasa berat, pikirannya penuh dengan tekanan dari ibunya yang semakin sering membahas soal cucu, perceraian, dan wanita lain. Malam itu, Ava sudah tidur lebih dulu. Ia merasa tidak enak hati membangunkan istrinya untuk berbagi beban. Maka, ia memilih duduk sendiri, menyesap segelas wine.Saat itu, langkah kaki ringan terdengar dari arah dapur. Mauren muncul dengan mengenakan piyama longgar, membawa segelas teh hangat.“Kak Ares, kau belum tidur?” tanyanya sambil mendekat.Ares tersenyum kecil. “Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang kupikirkan.”Mauren duduk di sofa seberang. “Mungkin kau butuh teh untuk menenangkan pikiran. Aku baru saja membuatnya, dan aku bisa buatkan untukmu juga.”Ares menggeleng. “Tidak perlu repot-repot, Mauren. Aku hanya ingin waktu untuk merenung.”Namun Mauren tetap bangkit, pergi ke dapur, dan kembali dengan secangkir teh hangat. Ia meletakkannya di depan Ares. “Minumlah. Kalau kau terus sepe
Pesona Mauren di Mata SunnyMauren duduk di ruang tamu rumah Ares, mengenakan dress sederhana berwarna pastel yang mempertegas kesan anggun dan bersahaja. Ia tengah berbicara dengan Sunny, ibu Ares, yang tampak lebih ceria dari biasanya. Senyum di wajah Sunny menunjukkan betapa ia menikmati percakapan dengan Mauren.“Aku tidak tahu bagaimana caranya kau bisa membuat teh ini begitu nikmat, Mauren. Rasanya berbeda dari teh yang biasa disajikan,” kata Sunny sambil menyesap cangkirnya.Mauren tersenyum lembut. “Tidak ada rahasia, Tante. Mungkin hanya karena aku menambahkan sedikit jahe. Itu resep dari ibu kami dulu, katanya bagus untuk kesehatan.”Sunny mengangguk penuh penghargaan. “Oh, ibu kalian pasti wanita yang luar biasa. Melihatmu, aku bisa membayangkan seperti apa dia. Kau ini adik Ava, tapi caramu membawa diri begitu berbeda.”Mauren hanya tersenyum, tidak ingin terlalu banyak bicara. Ia tahu bahwa Sunny tidak begitu menyukai kakaknya, Ava, meskipun sudah menikah dengan Ares sela
Ares memijat pelipisnya yang berdenyut. Ia duduk di ruang kerjanya dengan kepala penuh beban. Sudah beberapa minggu ini ibunya semakin sering membahas soal cucu.Awalnya, ia hanya menganggapnya sebagai keluhan biasa, tapi belakangan intensitasnya semakin meningkat. Hari ini, ia baru saja menghadiri makan siang keluarga di mana ibunya tanpa malu-malu kembali menyebutkan betapa pentingnya keturunan dalam keluarga mereka.“Cucu itu bukan sekadar penerus, Ares. Itu simbol keberlangsungan keluarga kita. Apa kau mau aku mati tanpa melihat darah dagingmu lahir?” suara ibunya terngiang di telinganya, penuh tekanan dan tuntutan.Ares mencoba mengalihkan topik saat itu, tapi ibunya lebih cepat. Ia bahkan mulai membandingkan Ava dengan istri-istri teman Ares yang sudah memiliki anak.“Lihatlah teman-temanmu, semua istri mereka sudah melahirkan. Kau tidak kasihan pada keluargamu sendiri? Atau mungkin … sudah waktunya kau pikirkan pilihan lain?”Kata-kata itu membuat darah Ares berdesir. Pilihan la
----Langit senja melukis semburat jingga di balik tirai jendela besar ruang keluarga. Mauren baru saja menyelesaikan pekerjaannya di kamar ketika langkah-langkah kecil membawanya turun ke lantai bawah. Niatnya sederhana—hanya ingin mengambil segelas air. Namun langkah itu, yang awalnya biasa saja, ternyata membawa Mauren ke sebuah percakapan yang akan mengguncang dunianya.Di ruang tamu, suara tegas tapi dingin milik Ibu Ares menggema, mengisi keheningan rumah megah itu.“Ares, kamu tahu apa yang keluarga kita harapkan darimu,” kata wanita paruh baya itu, nadanya penuh tekanan.Mauren berhenti di tengah tangga, menyembunyikan diri di balik dinding. Telinganya menangkap setiap kata, sementara jantungnya berdetak lebih cepat.“Sudah delapan tahun menikah dengan Ava, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda. Apa kamu mau terus membiarkan garis keturunan kita berhenti di sini?”“Ibu ...” Ares menjawab, suaranya lelah namun tetap berusaha tenang. “Aku dan Ava sedang berusaha. Ini bukan