----
Langit sore menyelimuti kota dengan warna keemasannya. Di beranda rumah mewah itu, Mauren duduk sambil menyesap teh hangatnya. Angin tipis membawa aroma hujan yang sebentar lagi akan turun. Matanya tertuju pada halaman depan, tempat Ares dan Ava bercanda di bawah pohon flamboyan. Tawa Ava melengking riang, seolah menggema di hati Mauren, memecah keheningan sore yang tenang.
Mauren tahu ia seharusnya tak membiarkan tatapannya terhenti terlalu lama pada Ares. Namun, seperti magnet, pandangannya selalu kembali pada sosok pria itu. Cara Ares berbicara lembut, melindungi Ava, dan tertawa ringan ketika Ava menggoda, membuat dada Mauren sesak dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
"Aku ingin punya suami seperti itu," gumamnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam deru angin. Ia buru-buru meneguk teh, mencoba menenggelamkan pikirannya sendiri.
---
“Ren, ayo bantu aku di dapur,” suara Ava memecah lamunannya.
Mauren tergeragap, cangkir teh di tangannya nyaris terlepas. Ia menghela napas panjang, berusaha mengembalikan fokusnya.
“Iya, Kak,” jawabnya sambil berdiri dan melangkah ke dalam rumah.
Ava sibuk mengiris sayuran di meja dapur. “Nanti malam Ares mau masak buat kita. Katanya dia mau coba resep baru. Jadi aku siapin dulu bahannya.”
Mauren mengangguk kecil, bibirnya melengkungkan senyum tipis. Ares? Masak untuk istrinya? Lagi-lagi sempurna.
“Kak Ava, Kak Ares itu... memang selalu perhatian, ya?” tanyanya tiba-tiba, tanpa sadar kata-katanya meluncur begitu saja.
Ava menghentikan irisan pisau, lalu tertawa pelan. “Iya, Ren. Dia memang seperti itu sejak dulu. Kadang aku sendiri heran, kenapa dia mau bertahan dengan aku yang banyak kurangnya.” Ava menatap Mauren dengan senyum penuh cinta.
“Dia selalu membuatku merasa istimewa.”
Kata-kata itu seperti belati yang menusuk pelan di hati Mauren. Ia merasa dadanya mencelos, tapi tetap memaksakan senyum samar.
“Kakak beruntung punya suami seperti Kak Ares,” bisiknya hampir tak terdengar.
“Tentu saja,” jawab Ava tanpa keraguan sedikit pun.
Langkah kaki terdengar mendekat, memecah suasana canggung. Ares masuk ke dapur membawa sekotak jamur segar.
“Aku sudah siap, tinggal masak. Nanti bantu cicip, ya?” katanya sambil tersenyum ramah.
“Pasti!” sahut Ava riang, langsung mendekati suaminya.
Sementara itu, Mauren hanya berdiri terpaku. Ada sesuatu dalam cara Ares memandang Ava—sesuatu yang tulus, penuh cinta, dan membuat Mauren kembali merasa hampa. Ia tahu, tatapan seperti itu tidak akan pernah ia terima dari pria seperti Ares.
Tidak, aku tidak boleh seperti ini. Aku tidak boleh seperti Ibu, pikirnya keras.
---
Setelah makan malam selesai, Mauren memilih menyendiri di kamarnya. Suara tawa Ava dan Ares masih terdengar samar dari ruang tamu, mengisi rumah dengan kebahagiaan yang seharusnya membuat semua orang tersenyum. Namun, kebahagiaan itu justru membuat Mauren semakin tenggelam dalam kesendiriannya.
Ia membuka jendela kaca, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Tatapannya jatuh pada langit gelap, tempat bintang-bintang berkelip redup di kejauhan.
“Aku tidak mau menjadi seperti dia,” bisiknya, suaranya nyaris hilang tertelan angin.
Bayangan ibunya kembali melintas—wanita yang pernah menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Meski Mauren hanya tahu sedikit dari cerita lama itu, ia paham betul konsekuensinya. Ibunya pernah mencintai pria yang salah dan menghancurkan kehidupan keluarga lain.
“Aku tidak akan menjadi seperti Ibu,” tekadnya, meski ia tahu tekad itu goyah setiap kali Ares tersenyum padanya.
---
Keesokan paginya, Mauren bangun lebih awal dari biasanya. Ia memutuskan membersihkan taman belakang untuk mengisi waktu, berharap kerja fisik bisa mengalihkan pikirannya. Namun, begitu ia keluar, ia melihat Ares sudah lebih dulu di sana, menyapu daun-daun yang berserakan.
“Pagi, Dek. Bangun pagi sekali,” sapanya dengan senyum ramah.
Mauren menelan ludah, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. “Pagi, Kak. Aku pikir, aku bisa bantu-bantu di sini.”
Ares mengangguk. “Bagus. Ava pasti senang kalau taman ini rapi.”
Obrolan ringan pun mengalir. Ares bertanya tentang kuliah Mauren, rencana liburannya, dan hal-hal kecil lainnya. Semuanya terasa biasa, namun perhatian kecil itu cukup membuat hati Mauren bergetar.
Ketika selesai, Ares menatapnya dengan senyum yang hangat. “Terima kasih sudah membantu. Ava pasti senang lihat hasilnya.”
“Sama-sama,” jawab Mauren pelan, suaranya nyaris tenggelam.
---
Di malam hari, saat semua sudah tidur, Mauren duduk termenung di ruang tengah. Ia memandangi foto pernikahan Ava dan Ares yang terpajang di meja kecil. Wajah keduanya begitu bahagia, seolah dunia hanya milik mereka.
“Aku hanya ingin seseorang seperti dia,” bisiknya jujur pada dirinya sendiri.
Namun, ia segera menghapus air matanya. “Tapi tidak dengan cara ini. Aku tidak akan pernah menyakitimu, Kak Ava. Aku janji.”
Mauren tahu perasaan itu harus dimatikan sebelum ia kehilangan kendali. Ia hanya berharap waktu akan membantunya melupakan.
TBC ☘️ ☘️ ☘️ ☘️
----Langit senja melukis semburat jingga di balik tirai jendela besar ruang keluarga. Mauren baru saja menyelesaikan pekerjaannya di kamar ketika langkah-langkah kecil membawanya turun ke lantai bawah. Niatnya sederhana—hanya ingin mengambil segelas air. Namun langkah itu, yang awalnya biasa saja, ternyata membawa Mauren ke sebuah percakapan yang akan mengguncang dunianya.Di ruang tamu, suara tegas tapi dingin milik Ibu Ares menggema, mengisi keheningan rumah megah itu.“Ares, kamu tahu apa yang keluarga kita harapkan darimu,” kata wanita paruh baya itu, nadanya penuh tekanan.Mauren berhenti di tengah tangga, menyembunyikan diri di balik dinding. Telinganya menangkap setiap kata, sementara jantungnya berdetak lebih cepat.“Sudah delapan tahun menikah dengan Ava, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda. Apa kamu mau terus membiarkan garis keturunan kita berhenti di sini?”“Ibu ...” Ares menjawab, suaranya lelah namun tetap berusaha tenang. “Aku dan Ava sedang berusaha. Ini bukan
Ares memijat pelipisnya yang berdenyut. Ia duduk di ruang kerjanya dengan kepala penuh beban. Sudah beberapa minggu ini ibunya semakin sering membahas soal cucu.Awalnya, ia hanya menganggapnya sebagai keluhan biasa, tapi belakangan intensitasnya semakin meningkat. Hari ini, ia baru saja menghadiri makan siang keluarga di mana ibunya tanpa malu-malu kembali menyebutkan betapa pentingnya keturunan dalam keluarga mereka.“Cucu itu bukan sekadar penerus, Ares. Itu simbol keberlangsungan keluarga kita. Apa kau mau aku mati tanpa melihat darah dagingmu lahir?” suara ibunya terngiang di telinganya, penuh tekanan dan tuntutan.Ares mencoba mengalihkan topik saat itu, tapi ibunya lebih cepat. Ia bahkan mulai membandingkan Ava dengan istri-istri teman Ares yang sudah memiliki anak.“Lihatlah teman-temanmu, semua istri mereka sudah melahirkan. Kau tidak kasihan pada keluargamu sendiri? Atau mungkin … sudah waktunya kau pikirkan pilihan lain?”Kata-kata itu membuat darah Ares berdesir. Pilihan la
Pesona Mauren di Mata SunnyMauren duduk di ruang tamu rumah Ares, mengenakan dress sederhana berwarna pastel yang mempertegas kesan anggun dan bersahaja. Ia tengah berbicara dengan Sunny, ibu Ares, yang tampak lebih ceria dari biasanya. Senyum di wajah Sunny menunjukkan betapa ia menikmati percakapan dengan Mauren.“Aku tidak tahu bagaimana caranya kau bisa membuat teh ini begitu nikmat, Mauren. Rasanya berbeda dari teh yang biasa disajikan,” kata Sunny sambil menyesap cangkirnya.Mauren tersenyum lembut. “Tidak ada rahasia, Tante. Mungkin hanya karena aku menambahkan sedikit jahe. Itu resep dari ibu kami dulu, katanya bagus untuk kesehatan.”Sunny mengangguk penuh penghargaan. “Oh, ibu kalian pasti wanita yang luar biasa. Melihatmu, aku bisa membayangkan seperti apa dia. Kau ini adik Ava, tapi caramu membawa diri begitu berbeda.”Mauren hanya tersenyum, tidak ingin terlalu banyak bicara. Ia tahu bahwa Sunny tidak begitu menyukai kakaknya, Ava, meskipun sudah menikah dengan Ares sela
Malam telah larut, tetapi Ares masih duduk di ruang tamu. Hatinya terasa berat, pikirannya penuh dengan tekanan dari ibunya yang semakin sering membahas soal cucu, perceraian, dan wanita lain. Malam itu, Ava sudah tidur lebih dulu. Ia merasa tidak enak hati membangunkan istrinya untuk berbagi beban. Maka, ia memilih duduk sendiri, menyesap segelas wine.Saat itu, langkah kaki ringan terdengar dari arah dapur. Mauren muncul dengan mengenakan piyama longgar, membawa segelas teh hangat.“Kak Ares, kau belum tidur?” tanyanya sambil mendekat.Ares tersenyum kecil. “Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang kupikirkan.”Mauren duduk di sofa seberang. “Mungkin kau butuh teh untuk menenangkan pikiran. Aku baru saja membuatnya, dan aku bisa buatkan untukmu juga.”Ares menggeleng. “Tidak perlu repot-repot, Mauren. Aku hanya ingin waktu untuk merenung.”Namun Mauren tetap bangkit, pergi ke dapur, dan kembali dengan secangkir teh hangat. Ia meletakkannya di depan Ares. “Minumlah. Kalau kau terus sepe
Hari-hari terus berlalu, dan hubungan antara Ares dan Mauren semakin erat, meski kedekatan itu masih berada dalam bayang-bayang keheningan. Ava, yang selalu memperhatikan, mulai merasakan sesuatu yang sulit ia ungkapkan. Mauren tampak semakin sering berada di sisi Ares, bukan hanya saat makan malam keluarga, tetapi juga pada momen-momen yang biasanya menjadi waktu pribadi Ava dan suaminya.Malam itu, Ava duduk di depan cermin kamar tidur mereka, menyisir rambutnya dengan perlahan. Ares masuk ke kamar, menutup pintu dengan hati-hati. Ava meliriknya melalui pantulan cermin, lalu tersenyum kecil.“Ares, kau pulang lebih awal dari biasanya,” katanya.Ares mengangguk sambil melepas jasnya. “Aku memutuskan untuk tidak lembur hari ini. Aku pikir kita bisa makan malam bersama.”Ava terdiam sesaat. “Itu ide yang bagus. Tapi ... sepertinya Mauren juga ikut makan malam tadi, bukan?”Ares melirik istrinya dengan tatapan bingung. “Ya, dia sedang membantu di dapur. Kenapa?”Ava menggeleng pelan. “T
Ares kini duduk di ruang kerjanya yang sunyi, pandangannya kosong menatap layar komputer yang menyala. Pikirannya tak sepenuhnya berada di ruangan itu. Ada pergolakan emosi yang ia rasakan, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi. Perasaan aneh dan tak terduga terhadap Mauren mulai menghantui benaknya.Mauren adalah wanita yang berbeda dari Ava. Ia ceria, energik, dan selalu tahu bagaimana mencairkan suasana. Ketika Ava sibuk dengan penyakitnya yang ia sembunyikan, Mauren menjadi satu-satunya tempat Ares merasa dihargai dan diperhatikan. Meskipun awalnya ia hanya menganggap Mauren sebagai adik kecil dari istrinya saja, namun kini segalanya mulai terasa berbeda.Ares memijat pelipisnya yang berdenyut memikirkan ini semua, ia mencoba menepis pikiran-pikiran yang belakangan ini perlahan menguasainya. Ia mencintai Ava—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini selama ini. Mereka telah menikah lama, yakni selama delapan tahun, meskipun belum dikaruniai anak, pernikahan mereka aw
Di suatu malam yang tenang, Ava sedang duduk di ruang tamu, menatap gelapnya malam melalui jendela. Perasaan gelisah dan curiga terhadap Ares semakin kuat. Selama beberapa minggu terakhir, ia merasakan ada sesuatu yang tidak biasa antara suaminya dan Mauren. Sikap Ares yang semakin dingin terhadapnya, ditambah dengan keakraban yang terlihat jelas antara Ares dan Mauren, membuat hatinya semakin resah.Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan. Setelah beberapa saat berjuang dengan pikirannya sendiri, Ava memutuskan untuk tidak lagi diam. Ia merasa harus menemukan jawabannya, apa pun risikonya.Esok harinya, saat Ares akan pergi bekerja, Ava memanfaatkan waktu itu untuk menyelidiki. Ia masuk ke ruang kerja Ares, tempat yang biasanya tidak pernah ia sentuh. Ruangan itu terlihat teratur seperti biasa, tetapi Ava merasa ada sesuatu yang tersimpan di tempat ini, sesuatu yang bisa mengungkapkan kebenaran pikirnya.Ia mulai membuka laci m
Pagi itu, Ava merasa kepalanya berat. Mata yang sembab akibat tangis malam sebelumnya sulit ia sembunyikan. Ia bangkit dari tempat tidur dengan perasaan campur aduk, antara kekecewaan terhadap Ares dan ketakutan akan langkah selanjutnya. Ava tahu ia harus bertindak tegas, tetapi sebelum ia sempat memutuskan, suara ketukan keras di pintu depan mengalihkan pikirannya.Saat membuka pintu, ia melihat ibu Ares berdiri di sana, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Ava merasa tak nyaman. Perempuan tua itu melangkah masuk tanpa menunggu undangan, membawa aura ketegangan yang langsung memenuhi ruangan.“Kita perlu bicara,” kata ibu Ares dengan nada serius, menatap Ava dari atas hingga bawah.Ava mencoba bersikap tenang, meski ia sudah menduga pembicaraan ini tak akan berjalan lancar. Ia menyiapkan secangkir teh untuk ibu Ares, yang hanya duduk dengan tangan terlipat, seperti mempersiapkan serangan.“Kamu tahu apa yang ingin kubicarakan,” ibu Ares memulai setelah beberapa menit keheningan
Di suatu malam yang sunyi, hanya terdengar dentingan jam yang berdetik. Ares duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang berkecamuk. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya beberapa bulan terakhir terasa seperti benang kusut yang sulit diurai. Hubunganya dengan Ava yang semakin dingin, belum lagi desakan ibunya untuk menikahi Mauren, dan sekarang perasaan bersalahnya yang terus menghantui dan menjadi beban yang kian tak tertahankan.Di atas meja kerjanya, tergeletak laporan medis Ava yang tak sengaja ia baca beberapa hari sebelumnya. Dokumen itu menjadi titik balik yang memaksanya merenungkan sejauh mana ia telah melukai wanita yang dulu ia sudah berjanji untuk mencintai dan menlindungi. Namun, di sisi lain, kehadiran Mauren juga telah mengguncang hatinya. Ia tidak bisa memungkiri kenyamanan yang ia rasakan saat bersama wanita itu, sebuah perasaan yang telah lama hilang dari hubungannya dengan Ava.Keputusan yang harus ia buat tidak hanya melibatkan dirinya sendiri, tetapi juga kehidup
Pagi itu, Ava merasa kepalanya berat. Mata yang sembab akibat tangis malam sebelumnya sulit ia sembunyikan. Ia bangkit dari tempat tidur dengan perasaan campur aduk, antara kekecewaan terhadap Ares dan ketakutan akan langkah selanjutnya. Ava tahu ia harus bertindak tegas, tetapi sebelum ia sempat memutuskan, suara ketukan keras di pintu depan mengalihkan pikirannya.Saat membuka pintu, ia melihat ibu Ares berdiri di sana, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Ava merasa tak nyaman. Perempuan tua itu melangkah masuk tanpa menunggu undangan, membawa aura ketegangan yang langsung memenuhi ruangan.“Kita perlu bicara,” kata ibu Ares dengan nada serius, menatap Ava dari atas hingga bawah.Ava mencoba bersikap tenang, meski ia sudah menduga pembicaraan ini tak akan berjalan lancar. Ia menyiapkan secangkir teh untuk ibu Ares, yang hanya duduk dengan tangan terlipat, seperti mempersiapkan serangan.“Kamu tahu apa yang ingin kubicarakan,” ibu Ares memulai setelah beberapa menit keheningan
Di suatu malam yang tenang, Ava sedang duduk di ruang tamu, menatap gelapnya malam melalui jendela. Perasaan gelisah dan curiga terhadap Ares semakin kuat. Selama beberapa minggu terakhir, ia merasakan ada sesuatu yang tidak biasa antara suaminya dan Mauren. Sikap Ares yang semakin dingin terhadapnya, ditambah dengan keakraban yang terlihat jelas antara Ares dan Mauren, membuat hatinya semakin resah.Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan. Setelah beberapa saat berjuang dengan pikirannya sendiri, Ava memutuskan untuk tidak lagi diam. Ia merasa harus menemukan jawabannya, apa pun risikonya.Esok harinya, saat Ares akan pergi bekerja, Ava memanfaatkan waktu itu untuk menyelidiki. Ia masuk ke ruang kerja Ares, tempat yang biasanya tidak pernah ia sentuh. Ruangan itu terlihat teratur seperti biasa, tetapi Ava merasa ada sesuatu yang tersimpan di tempat ini, sesuatu yang bisa mengungkapkan kebenaran pikirnya.Ia mulai membuka laci m
Ares kini duduk di ruang kerjanya yang sunyi, pandangannya kosong menatap layar komputer yang menyala. Pikirannya tak sepenuhnya berada di ruangan itu. Ada pergolakan emosi yang ia rasakan, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi. Perasaan aneh dan tak terduga terhadap Mauren mulai menghantui benaknya.Mauren adalah wanita yang berbeda dari Ava. Ia ceria, energik, dan selalu tahu bagaimana mencairkan suasana. Ketika Ava sibuk dengan penyakitnya yang ia sembunyikan, Mauren menjadi satu-satunya tempat Ares merasa dihargai dan diperhatikan. Meskipun awalnya ia hanya menganggap Mauren sebagai adik kecil dari istrinya saja, namun kini segalanya mulai terasa berbeda.Ares memijat pelipisnya yang berdenyut memikirkan ini semua, ia mencoba menepis pikiran-pikiran yang belakangan ini perlahan menguasainya. Ia mencintai Ava—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini selama ini. Mereka telah menikah lama, yakni selama delapan tahun, meskipun belum dikaruniai anak, pernikahan mereka aw
Hari-hari terus berlalu, dan hubungan antara Ares dan Mauren semakin erat, meski kedekatan itu masih berada dalam bayang-bayang keheningan. Ava, yang selalu memperhatikan, mulai merasakan sesuatu yang sulit ia ungkapkan. Mauren tampak semakin sering berada di sisi Ares, bukan hanya saat makan malam keluarga, tetapi juga pada momen-momen yang biasanya menjadi waktu pribadi Ava dan suaminya.Malam itu, Ava duduk di depan cermin kamar tidur mereka, menyisir rambutnya dengan perlahan. Ares masuk ke kamar, menutup pintu dengan hati-hati. Ava meliriknya melalui pantulan cermin, lalu tersenyum kecil.“Ares, kau pulang lebih awal dari biasanya,” katanya.Ares mengangguk sambil melepas jasnya. “Aku memutuskan untuk tidak lembur hari ini. Aku pikir kita bisa makan malam bersama.”Ava terdiam sesaat. “Itu ide yang bagus. Tapi ... sepertinya Mauren juga ikut makan malam tadi, bukan?”Ares melirik istrinya dengan tatapan bingung. “Ya, dia sedang membantu di dapur. Kenapa?”Ava menggeleng pelan. “T
Malam telah larut, tetapi Ares masih duduk di ruang tamu. Hatinya terasa berat, pikirannya penuh dengan tekanan dari ibunya yang semakin sering membahas soal cucu, perceraian, dan wanita lain. Malam itu, Ava sudah tidur lebih dulu. Ia merasa tidak enak hati membangunkan istrinya untuk berbagi beban. Maka, ia memilih duduk sendiri, menyesap segelas wine.Saat itu, langkah kaki ringan terdengar dari arah dapur. Mauren muncul dengan mengenakan piyama longgar, membawa segelas teh hangat.“Kak Ares, kau belum tidur?” tanyanya sambil mendekat.Ares tersenyum kecil. “Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang kupikirkan.”Mauren duduk di sofa seberang. “Mungkin kau butuh teh untuk menenangkan pikiran. Aku baru saja membuatnya, dan aku bisa buatkan untukmu juga.”Ares menggeleng. “Tidak perlu repot-repot, Mauren. Aku hanya ingin waktu untuk merenung.”Namun Mauren tetap bangkit, pergi ke dapur, dan kembali dengan secangkir teh hangat. Ia meletakkannya di depan Ares. “Minumlah. Kalau kau terus sepe
Pesona Mauren di Mata SunnyMauren duduk di ruang tamu rumah Ares, mengenakan dress sederhana berwarna pastel yang mempertegas kesan anggun dan bersahaja. Ia tengah berbicara dengan Sunny, ibu Ares, yang tampak lebih ceria dari biasanya. Senyum di wajah Sunny menunjukkan betapa ia menikmati percakapan dengan Mauren.“Aku tidak tahu bagaimana caranya kau bisa membuat teh ini begitu nikmat, Mauren. Rasanya berbeda dari teh yang biasa disajikan,” kata Sunny sambil menyesap cangkirnya.Mauren tersenyum lembut. “Tidak ada rahasia, Tante. Mungkin hanya karena aku menambahkan sedikit jahe. Itu resep dari ibu kami dulu, katanya bagus untuk kesehatan.”Sunny mengangguk penuh penghargaan. “Oh, ibu kalian pasti wanita yang luar biasa. Melihatmu, aku bisa membayangkan seperti apa dia. Kau ini adik Ava, tapi caramu membawa diri begitu berbeda.”Mauren hanya tersenyum, tidak ingin terlalu banyak bicara. Ia tahu bahwa Sunny tidak begitu menyukai kakaknya, Ava, meskipun sudah menikah dengan Ares sela
Ares memijat pelipisnya yang berdenyut. Ia duduk di ruang kerjanya dengan kepala penuh beban. Sudah beberapa minggu ini ibunya semakin sering membahas soal cucu.Awalnya, ia hanya menganggapnya sebagai keluhan biasa, tapi belakangan intensitasnya semakin meningkat. Hari ini, ia baru saja menghadiri makan siang keluarga di mana ibunya tanpa malu-malu kembali menyebutkan betapa pentingnya keturunan dalam keluarga mereka.“Cucu itu bukan sekadar penerus, Ares. Itu simbol keberlangsungan keluarga kita. Apa kau mau aku mati tanpa melihat darah dagingmu lahir?” suara ibunya terngiang di telinganya, penuh tekanan dan tuntutan.Ares mencoba mengalihkan topik saat itu, tapi ibunya lebih cepat. Ia bahkan mulai membandingkan Ava dengan istri-istri teman Ares yang sudah memiliki anak.“Lihatlah teman-temanmu, semua istri mereka sudah melahirkan. Kau tidak kasihan pada keluargamu sendiri? Atau mungkin … sudah waktunya kau pikirkan pilihan lain?”Kata-kata itu membuat darah Ares berdesir. Pilihan la
----Langit senja melukis semburat jingga di balik tirai jendela besar ruang keluarga. Mauren baru saja menyelesaikan pekerjaannya di kamar ketika langkah-langkah kecil membawanya turun ke lantai bawah. Niatnya sederhana—hanya ingin mengambil segelas air. Namun langkah itu, yang awalnya biasa saja, ternyata membawa Mauren ke sebuah percakapan yang akan mengguncang dunianya.Di ruang tamu, suara tegas tapi dingin milik Ibu Ares menggema, mengisi keheningan rumah megah itu.“Ares, kamu tahu apa yang keluarga kita harapkan darimu,” kata wanita paruh baya itu, nadanya penuh tekanan.Mauren berhenti di tengah tangga, menyembunyikan diri di balik dinding. Telinganya menangkap setiap kata, sementara jantungnya berdetak lebih cepat.“Sudah delapan tahun menikah dengan Ava, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda. Apa kamu mau terus membiarkan garis keturunan kita berhenti di sini?”“Ibu ...” Ares menjawab, suaranya lelah namun tetap berusaha tenang. “Aku dan Ava sedang berusaha. Ini bukan