---
Matahari sudah tinggi ketika Ares duduk di ruang tengah rumah keluarganya. Sofa tua yang ia duduki membawa ingatan masa kecil, tapi hari itu hanya rasa sesak yang memenuhi dadanya. Di depannya, ibunya duduk dengan wajah yang tampak tenang, tapi sorot matanya penuh tuntutan.
"Ares, kau tahu umurmu tidak lagi muda," ucap ibunya, memulai pembicaraan yang selama ini Ares hindari.
"Ibu," Ares menarik napas dalam, mencoba menjaga ketenangannya, "kita sudah membahas ini berkali-kali."
"Tapi kali ini Ibu tidak bisa membiarkanmu terus seperti ini," potong ibunya dengan nada tegas.
"Kau harus menikah lagi. Setidaknya dengan wanita yang bisa memberimu keturunan. Keluarga kita membutuhkan penerus, Ares."
Ares mendengus, memalingkan wajah. "Hidupku baik-baik saja bersama Ava. Aku tidak butuh istri baru hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Apalagi ide gila ini."
"Jadi sekarang kau menyebut keinginan Ibu gila?" suara ibunya mulai meninggi, meski ekspresinya tetap tenang.
"Ibu ...," Ares mengusap wajahnya, berusaha mengendalikan emosi.
"Hidupku adalah pilihanku. Tidak ada yang salah dengan pernikahanku dengan Ava. Kami hanya butuh waktu."
"Ini bukan soal waktu!" Ibunya menatapnya tajam, nada kasih sayang di suaranya masih tersisa meski mulai memudar.
"Ares, dengarkan Ibu. Ini demi kebaikanmu. Demi keluarga kita. Apa kau ingin keluarga besar kita tidak punya penerus?"
Ares menatap ibunya, pandangannya mengeras. "Ibu, aku punya hak atas hidupku sendiri. Tolong, berhenti memaksaku. Beri kami ruang untuk menyelesaikan masalah kami."
Keheningan menggantung di udara, begitu tegang hingga terasa berat. Ares tahu, ada luka di hati ibunya karena kata-katanya, tapi ia tidak bisa mundur.
---
Di sisi lain di pusat kota, Ava duduk di kursi rumah sakit, menatap jendela yang memamerkan langit biru cerah. Hari itu adalah jadwal terapinya—rutinitas yang telah menjadi bagian dari hidupnya sejak vonis kanker datang tanpa peringatan.
"Aku harus sembuh," bisiknya pada dirinya sendiri, pelan tapi penuh tekad. Kata-kata itu ia ulang seperti mantra setiap kali rasa sakit datang menghantam tubuhnya.
Setelah sesi terapi selesai, Ava bersandar di kursi tunggu, napasnya sedikit tersengal. Tangannya gemetar saat ia meraih ponselnya. Di layar, foto Mauren—adiknya yang sedang menuntut ilmu di Australia—tersenyum ceria. Ava merasa dadanya menghangat sekaligus sesak oleh rindu.
Dengan cepat, ia menekan nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala. Hanya butuh beberapa detik sebelum suara ceria Mauren terdengar di ujung telepon.
"Kak Ava! Tumben menelpon. Apa kabar, Kak?"
Ava tersenyum tipis, suara adiknya terasa seperti pelukan yang menenangkan. "Kakak baik, Dek. Kamu gimana di sana? Kuliahmu lancar?"
"Lancar, Kak. Aku lagi sibuk proyek akhir semester. Seru, sih! Kakak gimana? Pernikahan Kakak aman, kan?"
Ava terdiam sejenak. Bibirnya membuka, tapi kata-kata terasa sulit keluar. Ia tidak ingin Mauren tahu betapa rumit situasi yang sedang ia hadapi.
"Kami baik-baik saja, Dek," Ava akhirnya berujar, mencoba terdengar ceria. "Masih berjuang soal kehamilan, tapi jangan khawatirkan Kakak."
"Kak Ava," suara Mauren melembut, "kalau ada apa-apa, bilang, ya. Aku pasti pulang kalau Kakak butuh aku."
Ava menggeleng, meski tahu Mauren tak bisa melihatnya. "Tidak perlu. Kejar cita-citamu, itu sudah cukup membuat Kakak bahagia."
---
Sementara itu, Ares melangkah keluar dari rumah ibunya dengan hati yang masih bergemuruh. Rasanya seperti melangkah membawa beban ratusan kilo di bahunya. Ia menghempaskan tubuhnya ke kursi mobil, menyalakan mesin, dan membiarkan musik mengalun pelan. Tapi pikirannya terus berputar.
Apakah ia egois? Apakah ia salah karena memilih mempertahankan Ava? Ia mencintainya, tapi apakah cinta cukup untuk mengatasi tekanan ini?
Di jalan yang sama, Ava dalam perjalanan pulang. Meski tubuhnya lelah, hatinya terasa lebih ringan setelah berbicara dengan Mauren. Ada tekad yang terus tumbuh dalam dirinya—untuk bertahan, untuk sembuh. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang-orang yang mencintainya.
Namun, hidup sering kali memberikan kejutan yang tidak terduga. Tanpa disadari, jalan mereka segera bertemu—bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam benang takdir yang terus mempersatukan cinta, tekanan, dan harapan.
Di titik itu, cerita mereka akan berubah, membawa keputusan yang tidak mudah, tapi mungkin akan menjadi jawaban dari pertanyaan yang selama ini menggantung di hati keduanya.
Ava berhenti di lampu merah, matanya tertuju pada seorang penjual bunga yang berdiri di pinggir jalan. Buket mawar putih di tangannya mengingatkannya pada hari-hari awal pernikahannya dengan Ares. Hari-hari di mana semuanya terasa lebih sederhana, penuh tawa, dan impian yang belum ternodai. Ia mendesah pelan. Saat lampu berubah hijau, ia melanjutkan perjalanan dengan pikiran yang melayang ke masa lalu.
Sementara itu, Ares memutuskan untuk tidak langsung pulang. Ia membelokkan mobilnya ke sebuah taman yang sepi, tempat ia dan Ava biasa duduk bersama, merencanakan masa depan mereka. Angin sore yang lembut menyapa wajahnya saat ia keluar dari mobil. Ia berjalan ke bangku tua di bawah pohon besar dan duduk di sana, membiarkan pikirannya mengembara.
Pikirannya melayang ke Ava. Senyumnya, semangatnya, kekuatannya menghadapi kanker yang tak pernah sekalipun mengurangi cintanya pada wanita itu. Tapi tekanan dari keluarganya terus menghantui, membuatnya merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tidak memiliki arah benar.
"Apa aku cukup kuat untuk melawan semuanya demi dia?" gumamnya pada diri sendiri.
Di saat yang sama, Ava tiba di rumah, meletakkan tasnya, dan menyalakan lampu ruang tamu. Ia menatap foto pernikahan mereka di dinding, matanya berkaca-kaca. "Ares, aku harap kau tidak menyerah," bisiknya, seolah berbicara pada foto itu.
Namun, waktu tidak pernah berhenti. Hari itu, sebuah keputusan mulai tumbuh dalam hati mereka masing-masing—sebuah keputusan yang mungkin akan mengubah segalanya.
TBC ☘️ 🥀 🥀 🥀 🥀
----Ava duduk di ruang tengah, menatap layar laptopnya yang penuh angka dan grafik. Suasana rumah terasa sunyi. Hanya denting jam dinding yang memecah keheningan, seakan mengingatkan waktu yang terus berjalan. Namun, pikiran Ava melayang jauh—memikirkan pernikahan yang dulu ia bayangkan penuh kebahagiaan, kini terasa seperti labirin tanpa ujung.Notifikasi di ponselnya membuyarkan lamunannya. Ava melirik layar, ternyata pesan dari Mauren."Kak Ava, lagi ngapain? Aku ada kejutan buat kamu! Tunggu di rumah yaaa."Ava tersenyum kecil. Mauren, seperti biasa, tahu cara membuatnya merasa lebih baik. Meski hubungan mereka diawali dengan konflik keluarga yang rumit, Ava tak pernah bisa benar-benar marah atau membenci adik tirinya itu.Mauren adalah anak dari istri kedua ayahnya. Kehadiran gadis itu pernah menjadi badai yang menghancurkan keluarganya. Ibu Ava meninggal karena sakit tak lama setelah mengetahui suaminya menikah lagi. Namun, semua itu kini terasa seperti bayangan masa lalu yang
----Langit sore menyelimuti kota dengan warna keemasannya. Di beranda rumah mewah itu, Mauren duduk sambil menyesap teh hangatnya. Angin tipis membawa aroma hujan yang sebentar lagi akan turun. Matanya tertuju pada halaman depan, tempat Ares dan Ava bercanda di bawah pohon flamboyan. Tawa Ava melengking riang, seolah menggema di hati Mauren, memecah keheningan sore yang tenang.Mauren tahu ia seharusnya tak membiarkan tatapannya terhenti terlalu lama pada Ares. Namun, seperti magnet, pandangannya selalu kembali pada sosok pria itu. Cara Ares berbicara lembut, melindungi Ava, dan tertawa ringan ketika Ava menggoda, membuat dada Mauren sesak dengan perasaan yang sulit dijelaskan."Aku ingin punya suami seperti itu," gumamnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam deru angin. Ia buru-buru meneguk teh, mencoba menenggelamkan pikirannya sendiri.---“Ren, ayo bantu aku di dapur,” suara Ava memecah lamunannya.Mauren tergeragap, cangkir teh di tangannya nyaris terlepas. Ia menghela napas p
----Langit senja melukis semburat jingga di balik tirai jendela besar ruang keluarga. Mauren baru saja menyelesaikan pekerjaannya di kamar ketika langkah-langkah kecil membawanya turun ke lantai bawah. Niatnya sederhana—hanya ingin mengambil segelas air. Namun langkah itu, yang awalnya biasa saja, ternyata membawa Mauren ke sebuah percakapan yang akan mengguncang dunianya.Di ruang tamu, suara tegas tapi dingin milik Ibu Ares menggema, mengisi keheningan rumah megah itu.“Ares, kamu tahu apa yang keluarga kita harapkan darimu,” kata wanita paruh baya itu, nadanya penuh tekanan.Mauren berhenti di tengah tangga, menyembunyikan diri di balik dinding. Telinganya menangkap setiap kata, sementara jantungnya berdetak lebih cepat.“Sudah delapan tahun menikah dengan Ava, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda. Apa kamu mau terus membiarkan garis keturunan kita berhenti di sini?”“Ibu ...” Ares menjawab, suaranya lelah namun tetap berusaha tenang. “Aku dan Ava sedang berusaha. Ini bukan
Ares memijat pelipisnya yang berdenyut. Ia duduk di ruang kerjanya dengan kepala penuh beban. Sudah beberapa minggu ini ibunya semakin sering membahas soal cucu.Awalnya, ia hanya menganggapnya sebagai keluhan biasa, tapi belakangan intensitasnya semakin meningkat. Hari ini, ia baru saja menghadiri makan siang keluarga di mana ibunya tanpa malu-malu kembali menyebutkan betapa pentingnya keturunan dalam keluarga mereka.“Cucu itu bukan sekadar penerus, Ares. Itu simbol keberlangsungan keluarga kita. Apa kau mau aku mati tanpa melihat darah dagingmu lahir?” suara ibunya terngiang di telinganya, penuh tekanan dan tuntutan.Ares mencoba mengalihkan topik saat itu, tapi ibunya lebih cepat. Ia bahkan mulai membandingkan Ava dengan istri-istri teman Ares yang sudah memiliki anak.“Lihatlah teman-temanmu, semua istri mereka sudah melahirkan. Kau tidak kasihan pada keluargamu sendiri? Atau mungkin … sudah waktunya kau pikirkan pilihan lain?”Kata-kata itu membuat darah Ares berdesir. Pilihan la
Pesona Mauren di Mata SunnyMauren duduk di ruang tamu rumah Ares, mengenakan dress sederhana berwarna pastel yang mempertegas kesan anggun dan bersahaja. Ia tengah berbicara dengan Sunny, ibu Ares, yang tampak lebih ceria dari biasanya. Senyum di wajah Sunny menunjukkan betapa ia menikmati percakapan dengan Mauren.“Aku tidak tahu bagaimana caranya kau bisa membuat teh ini begitu nikmat, Mauren. Rasanya berbeda dari teh yang biasa disajikan,” kata Sunny sambil menyesap cangkirnya.Mauren tersenyum lembut. “Tidak ada rahasia, Tante. Mungkin hanya karena aku menambahkan sedikit jahe. Itu resep dari ibu kami dulu, katanya bagus untuk kesehatan.”Sunny mengangguk penuh penghargaan. “Oh, ibu kalian pasti wanita yang luar biasa. Melihatmu, aku bisa membayangkan seperti apa dia. Kau ini adik Ava, tapi caramu membawa diri begitu berbeda.”Mauren hanya tersenyum, tidak ingin terlalu banyak bicara. Ia tahu bahwa Sunny tidak begitu menyukai kakaknya, Ava, meskipun sudah menikah dengan Ares sela
Malam telah larut, tetapi Ares masih duduk di ruang tamu. Hatinya terasa berat, pikirannya penuh dengan tekanan dari ibunya yang semakin sering membahas soal cucu, perceraian, dan wanita lain. Malam itu, Ava sudah tidur lebih dulu. Ia merasa tidak enak hati membangunkan istrinya untuk berbagi beban. Maka, ia memilih duduk sendiri, menyesap segelas wine.Saat itu, langkah kaki ringan terdengar dari arah dapur. Mauren muncul dengan mengenakan piyama longgar, membawa segelas teh hangat.“Kak Ares, kau belum tidur?” tanyanya sambil mendekat.Ares tersenyum kecil. “Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang kupikirkan.”Mauren duduk di sofa seberang. “Mungkin kau butuh teh untuk menenangkan pikiran. Aku baru saja membuatnya, dan aku bisa buatkan untukmu juga.”Ares menggeleng. “Tidak perlu repot-repot, Mauren. Aku hanya ingin waktu untuk merenung.”Namun Mauren tetap bangkit, pergi ke dapur, dan kembali dengan secangkir teh hangat. Ia meletakkannya di depan Ares. “Minumlah. Kalau kau terus sepe
Hari-hari terus berlalu, dan hubungan antara Ares dan Mauren semakin erat, meski kedekatan itu masih berada dalam bayang-bayang keheningan. Ava, yang selalu memperhatikan, mulai merasakan sesuatu yang sulit ia ungkapkan. Mauren tampak semakin sering berada di sisi Ares, bukan hanya saat makan malam keluarga, tetapi juga pada momen-momen yang biasanya menjadi waktu pribadi Ava dan suaminya.Malam itu, Ava duduk di depan cermin kamar tidur mereka, menyisir rambutnya dengan perlahan. Ares masuk ke kamar, menutup pintu dengan hati-hati. Ava meliriknya melalui pantulan cermin, lalu tersenyum kecil.“Ares, kau pulang lebih awal dari biasanya,” katanya.Ares mengangguk sambil melepas jasnya. “Aku memutuskan untuk tidak lembur hari ini. Aku pikir kita bisa makan malam bersama.”Ava terdiam sesaat. “Itu ide yang bagus. Tapi ... sepertinya Mauren juga ikut makan malam tadi, bukan?”Ares melirik istrinya dengan tatapan bingung. “Ya, dia sedang membantu di dapur. Kenapa?”Ava menggeleng pelan. “T
Ares kini duduk di ruang kerjanya yang sunyi, pandangannya kosong menatap layar komputer yang menyala. Pikirannya tak sepenuhnya berada di ruangan itu. Ada pergolakan emosi yang ia rasakan, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi. Perasaan aneh dan tak terduga terhadap Mauren mulai menghantui benaknya.Mauren adalah wanita yang berbeda dari Ava. Ia ceria, energik, dan selalu tahu bagaimana mencairkan suasana. Ketika Ava sibuk dengan penyakitnya yang ia sembunyikan, Mauren menjadi satu-satunya tempat Ares merasa dihargai dan diperhatikan. Meskipun awalnya ia hanya menganggap Mauren sebagai adik kecil dari istrinya saja, namun kini segalanya mulai terasa berbeda.Ares memijat pelipisnya yang berdenyut memikirkan ini semua, ia mencoba menepis pikiran-pikiran yang belakangan ini perlahan menguasainya. Ia mencintai Ava—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini selama ini. Mereka telah menikah lama, yakni selama delapan tahun, meskipun belum dikaruniai anak, pernikahan mereka aw
Di suatu malam yang sunyi, hanya terdengar dentingan jam yang berdetik. Ares duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang berkecamuk. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya beberapa bulan terakhir terasa seperti benang kusut yang sulit diurai. Hubunganya dengan Ava yang semakin dingin, belum lagi desakan ibunya untuk menikahi Mauren, dan sekarang perasaan bersalahnya yang terus menghantui dan menjadi beban yang kian tak tertahankan.Di atas meja kerjanya, tergeletak laporan medis Ava yang tak sengaja ia baca beberapa hari sebelumnya. Dokumen itu menjadi titik balik yang memaksanya merenungkan sejauh mana ia telah melukai wanita yang dulu ia sudah berjanji untuk mencintai dan menlindungi. Namun, di sisi lain, kehadiran Mauren juga telah mengguncang hatinya. Ia tidak bisa memungkiri kenyamanan yang ia rasakan saat bersama wanita itu, sebuah perasaan yang telah lama hilang dari hubungannya dengan Ava.Keputusan yang harus ia buat tidak hanya melibatkan dirinya sendiri, tetapi juga kehidup
Pagi itu, Ava merasa kepalanya berat. Mata yang sembab akibat tangis malam sebelumnya sulit ia sembunyikan. Ia bangkit dari tempat tidur dengan perasaan campur aduk, antara kekecewaan terhadap Ares dan ketakutan akan langkah selanjutnya. Ava tahu ia harus bertindak tegas, tetapi sebelum ia sempat memutuskan, suara ketukan keras di pintu depan mengalihkan pikirannya.Saat membuka pintu, ia melihat ibu Ares berdiri di sana, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Ava merasa tak nyaman. Perempuan tua itu melangkah masuk tanpa menunggu undangan, membawa aura ketegangan yang langsung memenuhi ruangan.“Kita perlu bicara,” kata ibu Ares dengan nada serius, menatap Ava dari atas hingga bawah.Ava mencoba bersikap tenang, meski ia sudah menduga pembicaraan ini tak akan berjalan lancar. Ia menyiapkan secangkir teh untuk ibu Ares, yang hanya duduk dengan tangan terlipat, seperti mempersiapkan serangan.“Kamu tahu apa yang ingin kubicarakan,” ibu Ares memulai setelah beberapa menit keheningan
Di suatu malam yang tenang, Ava sedang duduk di ruang tamu, menatap gelapnya malam melalui jendela. Perasaan gelisah dan curiga terhadap Ares semakin kuat. Selama beberapa minggu terakhir, ia merasakan ada sesuatu yang tidak biasa antara suaminya dan Mauren. Sikap Ares yang semakin dingin terhadapnya, ditambah dengan keakraban yang terlihat jelas antara Ares dan Mauren, membuat hatinya semakin resah.Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan. Setelah beberapa saat berjuang dengan pikirannya sendiri, Ava memutuskan untuk tidak lagi diam. Ia merasa harus menemukan jawabannya, apa pun risikonya.Esok harinya, saat Ares akan pergi bekerja, Ava memanfaatkan waktu itu untuk menyelidiki. Ia masuk ke ruang kerja Ares, tempat yang biasanya tidak pernah ia sentuh. Ruangan itu terlihat teratur seperti biasa, tetapi Ava merasa ada sesuatu yang tersimpan di tempat ini, sesuatu yang bisa mengungkapkan kebenaran pikirnya.Ia mulai membuka laci m
Ares kini duduk di ruang kerjanya yang sunyi, pandangannya kosong menatap layar komputer yang menyala. Pikirannya tak sepenuhnya berada di ruangan itu. Ada pergolakan emosi yang ia rasakan, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi. Perasaan aneh dan tak terduga terhadap Mauren mulai menghantui benaknya.Mauren adalah wanita yang berbeda dari Ava. Ia ceria, energik, dan selalu tahu bagaimana mencairkan suasana. Ketika Ava sibuk dengan penyakitnya yang ia sembunyikan, Mauren menjadi satu-satunya tempat Ares merasa dihargai dan diperhatikan. Meskipun awalnya ia hanya menganggap Mauren sebagai adik kecil dari istrinya saja, namun kini segalanya mulai terasa berbeda.Ares memijat pelipisnya yang berdenyut memikirkan ini semua, ia mencoba menepis pikiran-pikiran yang belakangan ini perlahan menguasainya. Ia mencintai Ava—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini selama ini. Mereka telah menikah lama, yakni selama delapan tahun, meskipun belum dikaruniai anak, pernikahan mereka aw
Hari-hari terus berlalu, dan hubungan antara Ares dan Mauren semakin erat, meski kedekatan itu masih berada dalam bayang-bayang keheningan. Ava, yang selalu memperhatikan, mulai merasakan sesuatu yang sulit ia ungkapkan. Mauren tampak semakin sering berada di sisi Ares, bukan hanya saat makan malam keluarga, tetapi juga pada momen-momen yang biasanya menjadi waktu pribadi Ava dan suaminya.Malam itu, Ava duduk di depan cermin kamar tidur mereka, menyisir rambutnya dengan perlahan. Ares masuk ke kamar, menutup pintu dengan hati-hati. Ava meliriknya melalui pantulan cermin, lalu tersenyum kecil.“Ares, kau pulang lebih awal dari biasanya,” katanya.Ares mengangguk sambil melepas jasnya. “Aku memutuskan untuk tidak lembur hari ini. Aku pikir kita bisa makan malam bersama.”Ava terdiam sesaat. “Itu ide yang bagus. Tapi ... sepertinya Mauren juga ikut makan malam tadi, bukan?”Ares melirik istrinya dengan tatapan bingung. “Ya, dia sedang membantu di dapur. Kenapa?”Ava menggeleng pelan. “T
Malam telah larut, tetapi Ares masih duduk di ruang tamu. Hatinya terasa berat, pikirannya penuh dengan tekanan dari ibunya yang semakin sering membahas soal cucu, perceraian, dan wanita lain. Malam itu, Ava sudah tidur lebih dulu. Ia merasa tidak enak hati membangunkan istrinya untuk berbagi beban. Maka, ia memilih duduk sendiri, menyesap segelas wine.Saat itu, langkah kaki ringan terdengar dari arah dapur. Mauren muncul dengan mengenakan piyama longgar, membawa segelas teh hangat.“Kak Ares, kau belum tidur?” tanyanya sambil mendekat.Ares tersenyum kecil. “Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang kupikirkan.”Mauren duduk di sofa seberang. “Mungkin kau butuh teh untuk menenangkan pikiran. Aku baru saja membuatnya, dan aku bisa buatkan untukmu juga.”Ares menggeleng. “Tidak perlu repot-repot, Mauren. Aku hanya ingin waktu untuk merenung.”Namun Mauren tetap bangkit, pergi ke dapur, dan kembali dengan secangkir teh hangat. Ia meletakkannya di depan Ares. “Minumlah. Kalau kau terus sepe
Pesona Mauren di Mata SunnyMauren duduk di ruang tamu rumah Ares, mengenakan dress sederhana berwarna pastel yang mempertegas kesan anggun dan bersahaja. Ia tengah berbicara dengan Sunny, ibu Ares, yang tampak lebih ceria dari biasanya. Senyum di wajah Sunny menunjukkan betapa ia menikmati percakapan dengan Mauren.“Aku tidak tahu bagaimana caranya kau bisa membuat teh ini begitu nikmat, Mauren. Rasanya berbeda dari teh yang biasa disajikan,” kata Sunny sambil menyesap cangkirnya.Mauren tersenyum lembut. “Tidak ada rahasia, Tante. Mungkin hanya karena aku menambahkan sedikit jahe. Itu resep dari ibu kami dulu, katanya bagus untuk kesehatan.”Sunny mengangguk penuh penghargaan. “Oh, ibu kalian pasti wanita yang luar biasa. Melihatmu, aku bisa membayangkan seperti apa dia. Kau ini adik Ava, tapi caramu membawa diri begitu berbeda.”Mauren hanya tersenyum, tidak ingin terlalu banyak bicara. Ia tahu bahwa Sunny tidak begitu menyukai kakaknya, Ava, meskipun sudah menikah dengan Ares sela
Ares memijat pelipisnya yang berdenyut. Ia duduk di ruang kerjanya dengan kepala penuh beban. Sudah beberapa minggu ini ibunya semakin sering membahas soal cucu.Awalnya, ia hanya menganggapnya sebagai keluhan biasa, tapi belakangan intensitasnya semakin meningkat. Hari ini, ia baru saja menghadiri makan siang keluarga di mana ibunya tanpa malu-malu kembali menyebutkan betapa pentingnya keturunan dalam keluarga mereka.“Cucu itu bukan sekadar penerus, Ares. Itu simbol keberlangsungan keluarga kita. Apa kau mau aku mati tanpa melihat darah dagingmu lahir?” suara ibunya terngiang di telinganya, penuh tekanan dan tuntutan.Ares mencoba mengalihkan topik saat itu, tapi ibunya lebih cepat. Ia bahkan mulai membandingkan Ava dengan istri-istri teman Ares yang sudah memiliki anak.“Lihatlah teman-temanmu, semua istri mereka sudah melahirkan. Kau tidak kasihan pada keluargamu sendiri? Atau mungkin … sudah waktunya kau pikirkan pilihan lain?”Kata-kata itu membuat darah Ares berdesir. Pilihan la
----Langit senja melukis semburat jingga di balik tirai jendela besar ruang keluarga. Mauren baru saja menyelesaikan pekerjaannya di kamar ketika langkah-langkah kecil membawanya turun ke lantai bawah. Niatnya sederhana—hanya ingin mengambil segelas air. Namun langkah itu, yang awalnya biasa saja, ternyata membawa Mauren ke sebuah percakapan yang akan mengguncang dunianya.Di ruang tamu, suara tegas tapi dingin milik Ibu Ares menggema, mengisi keheningan rumah megah itu.“Ares, kamu tahu apa yang keluarga kita harapkan darimu,” kata wanita paruh baya itu, nadanya penuh tekanan.Mauren berhenti di tengah tangga, menyembunyikan diri di balik dinding. Telinganya menangkap setiap kata, sementara jantungnya berdetak lebih cepat.“Sudah delapan tahun menikah dengan Ava, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda. Apa kamu mau terus membiarkan garis keturunan kita berhenti di sini?”“Ibu ...” Ares menjawab, suaranya lelah namun tetap berusaha tenang. “Aku dan Ava sedang berusaha. Ini bukan