Maura dan Rama memandang ke arah David secara bersamaan. Mereka berdua merasa aneh dengan tanggapan spontan dari suami Chika itu. Harusnya, Flo yang menjawab pertanyaan Maura tadi, bukan David. Namun, sepertinya itu bukan hal aneh bagi Chika. Wanita itu tetap santai dan tersenyum sambil memandang heran pada Maura bergantian pada Rama.“Kenapa? Kok kalian jadi gitu? Ada yang aneh, ya?” tanya Chika pada Rama dan kemudian menatap ke arah Maura.“Nggak apa-apa, Kak. Mungkin, karena belum terbiasa aja.” Rama menjawab cepat meski terlihat canggung dalam mengatakannya.“Oh gitu. Nanti lama-lama juga biasa kok. Ya udah, buruan kita pulang.” Chika mengajak keduanya dengan senyum lebar.Maura dan Rama mengikuti langkah tiga beranak itu sampai ke luar bandara. Kemudian, David memisahkan diri karena harus mengambil mobil di parkiran. Setelahnya, mereka menunggu di pembatas jalan dan Flo melihat ada yang menjual es cream di luar bandara.Gadis itu sangat senang dan mengajak Chika untuk pergi membe
“Ayo masuk!” seru David dari dalam mobil mewahnya itu.“Wait. Flo sedang dibawa Rama, di sana.” Chika menunjuk ke arah Rama dan Flo berada dan mereka sedang mengantri ice cream.“Ayo, jalan dulu. Kita berputar. Nanti dimarahi petugas parkir di depan pintu masuk seperti ini.” David berkata dengan tetap mengajak Maura dan Chika masuk ke dalam mobil.“David benar. Ayo kita masuk ke mobil dulu, Mau.” Chika mengajak Maura yang masih termenung memikirkan pertanyaan dari kakak sahabatnya itu tadi.Chika membantu Maura membawa koper dan barang lainnya ke dalam mobil. Pria yang disangka oleh Maura adalah suami wanita itu. Ternyata, selama belasan tahun mereka hanya hidup di bawah satu atap tanpa ikatan pernikahan. Kalau di Indonesia, tentu saja itu dinamakan dengan kumpul kebo.Maura duduk di kursi tengah sementara Chika duduk di samping David mengemudi. Mereka mengitari sebuah bundaran yang cukup luas dan saat sampai di depan penjual ice cream, Flo dan Rama sudah selesai dengan satu ice cream
Maura ditinggalkan bersama Rama di dalam kamar berukuran sangat luas itu. Sementara David dan Chika pergi entah ke mana membawa anak mereka – Flo. Rama membantu Maura membereskan barang-barang yang dibawa wanita itu ke tempat yang sudah disediakan.“Rama ... kita nggak usah lama-lama di rumah ini, ya. Kamu ada kenalan di negara ini yang bisa kasih kerjaan nggak?” tanya Maura dengan raut wajah cemas.“Kenapa? Kamu nggak nyaman ada di sini? Apa yang terjadi saat aku pergi beli ice cream dengan Flo tadi?” tanya Rama yang langsung mencecar Maura.“Mmm ... nggak ada. Aku hanya nggak mau merepotkan kakak kamu dan suaminya lama-lama di sini,” jawab Maura berbohong.“Jangan berbohong sama aku, Mau. Aku bukan orang yang baru mengenal kamu hari ini. Ada yang membuat kamu nggak nyaman berada di sini kan?”Maura terdiam saat mendengar pertanyaan dari Rama itu, dan memang sahabatnya lebih tau tentang dia yang sebenarnya tanpa diminta. Maura tidak ingin berbohong kepada Rama. Namun, rasanya juga ta
“Rama ... makasih ya karna kamu selalu ada untukku,” lirih Maura dengan tenang.“Ssstt ... jangan bahas masalah itu lagi. Makasih dan maaf itu dua kata yang nggak boleh kamu ucapkan ke aku. Oke?”“Apa salahnya aku berterima kasih sama kamu dan meminta maaf karena udah selalu merepotkan kamu? Aku nggak mau dianggap sebagai orang yang nggak tau terima kasih dan selalu memanfaatkan kebaikan kamu,” ungkap Maura terdengar begitu sungguh-sungguh.“Kenapa kamu ngomong gitu sih? Aku nggak pernah mempermasalahkan hal itu!” ucap Rama dengan nada tegas pada Maura.“Kamu memang nggak pernah. Tapi, kakak kamu akan selalu beranggapan seperti itu.”“Persetan dengan dia, Mau.”“Dia kakakmu, Rama! Jangan hancurkan hubungan kalian hanya karena aku.”“Walau kamu nggak ada, hubunganku sama dia sebenarnya juga udah hancur dari lama, Mau. Kamu jangan menyalahkan diri karena hal itu lagi. Harusnya aku yang minta maaf sama kamu, udah membawa kamu ke tempat yang salah dan menganggap bahwa itu adalah tempat te
Satu jam sudah Rama menunggu di luar ruang bersalin. Sejak tadi terdengar suara Maura berjuang keras mengedan anaknya untuk bisa keluar. Para dokter dan perawat juga terdengar menyemangati Maura.Sampai tiba detik di mana Rama mendengar suara tangisan bayi yang sangat nyaring. Rama reflek berdiri dan tersenyum haru saat mendengar suara tangisan bayi itu.“Alhamdulillah. Anakku sudah lahir,” ucapnya reflek.Rama memang sudah berjanji dan bertekad dalam hatinya sejak kehamilan Maura masih lima bulan. Dia akan menganggap dan memperlakukan anak itu seperti anaknya sendiri. Walaupun tetap tidak ada ikatan yang jelas dalam hubungannya dengan Maura, tetap saja Rama akan menganggap anak itu adalah anaknya sendiri.Perawat keluar ruangan dan membawa seorang bayi mungil yang dibungkus rapi dalam kain bedung berwarna merah muda. Bayi itu terlihat sangat gemoy dan tenang di dalam gendongan sang perawat wanita.“Selamat, ya Pak. Anak ini adalah perempuan dan dia sangat cantik seperti ibunya. Seben
“Selamat atas kelahiran putri pertamanya, Pak Gani. Anaknya sangat cantik dan lucu, mirip sama mamanya.” Seorang dokter baru saja memberikan seorang bayi perempuan kepada Gani.Tepat di hari yang sama dengan Maura melahirkan putrinya – Melody, Sarah juga melahirkan seorang bayi perempuan dengan operasi ceasar. Sarah sebenarnya bisa melahirkan normal, akan tetapi dia tidak ingin menahan rasa sakit. Jadi, dia meminta operasi kepada dokter untuk proses persalinan pertamanya.“Syukurlah, Dok. Bagaimana dengan istri saya, Dok?” tanya Gani setelah menatap putrinya sekilas, seperti tak ada rasa dan ikatan batin.“Bu Sarah masih dalam pengaruh bius. Akan kita pindahkan sebentar lagi ke ruang rawat inap. Biasanya akan bangun satu jam ke depan, Pak.” Dokter itu menjelaskan kepada Gani.“Oke, Dok. Kalau gitu, saya nunggu di luar aja. Ibu saya masih duduk menunggu di luar.”“Baik, Pak Gani.”Gani segera keluar dari ruangan operasi itu dengan perasaan yang seperti tak tenang. Ketika menemani Sarah
Hari-hari berlalu dengan cepat dan saat ini adalah ulang tahun pertama Kesya – putri yang dilahirkan oleh Sarah satu tahun lalu. Rumah itu penuh dengan orang-orang yang sibuk menghias rumah. Sarah memutuskan untuk membuat perayaan besar untuk ulang tahun pertama putrinya itu.“Ma, mas Gani di mana?” tanya Sarah yang sejak tadi sudah wara wiri di ruangan depan rumah mereka dan juga taman yang luas.“Di kantor. Katanya ada meeting penting siang ini,” jawab Wulan singkat sambil mempersiapkan yang bisa dia persiapkan.“Ya ampun! Padahal udah dibilang jangan ke mana-mana. Aku tuh butuh dia di sini buat nanti siang. Ulang tahun Kesya sebentar lagi dan mas Gani malah pergi ke kantor,” gerutu Sarah dengan nada kesal dan wajahnya yang sudah petak persegi bulat lonjong atau apalah itu.“Kamu telpon aja dia. Minta dia jangan sampai telat datang siang ini, kan bisa!”“Jadi, dia datang pas acara mau dimulai doang gitu, Ma? Lalu, apa bedanya dia sama tamu yang lain? Tamu aja datangnya sebelum acara
Wulan tetap tidak mengatakan apa yang saat ini dirasakannya pada Gani. Wanita itu memilih untuk tetap diam dan tidak memperpanjang masalah yang menurutnya masih bisa diredam.“Jujur aja sama aku, Ma. Apa yang sedang Mama pikirkan saat ini?” tanya Gani pada Wulan dengan nada yang sangat lembut.“Mama hanya rindu pada Maura. Terserah kamu mau marah dan benci sama dia, atau nggak percaya sama sekali sama semua kebaikan dan ketulusan dia selama ini. Tapi, Mama ini orang tua dan Mama merasa bahwa Maura nggak seperti yang dikatakan oleh Sarah dulu.”“Jangan dibahas lagi tentang dia di rumah ini, Ma!”“Kenapa? Kamu merasa bisa hidup tanpa dia? Selama ini apa kamu baik-baik aja, Gan?” tanya Wulan dengan sedikit menekan Gani.“Mama nanya apaan sih, Ma? Selama ini kita baik-baik aja kan? Aku tetap menjalani hidupku seperti biasa. Ada atau nggak ada dia, toh semuanya sama aja kok, Ma. Nggak ada pengaruhnya sama sekali!” ungkap Gani dengan penuh penekanan.“Kamu juga bisa membohongi orang lain at
“Apa salahnya kalau aku ngomong seperti itu ke dia, Mas? Biar dia tau posisinya seperti apa dan selama dia pergi, kamu nggak menunggu dia sama sekali.”“Kamu udah berbohong dan membuat aku buruk di mata Maura!”“Mas! Memangnya kamu mau dia berpikir selama dia pergi dengan selingkuhannya itu, kamu nggak bahagia dan nggak bisa move on dari dia? Sementara, dia sama laki-laki itu hidup bahagia sampai punya anak.”Mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Sarah, tentu saja Gani merasa bahwa semua itu ada benarnya juga. Gani tidak ingin terlihat sebagai lelaki yang patah hati di hadapan Maura. Sementara dia bahagia dengan lelaki lain di hidupnya.Sarah tahu bahwa dalam hatinya, Gani membenarkan yang baru saja dia katakan. Tidak sulit untuk menebak jalan pikiran Gani saat ini. Hanya saja, Sarah tidak mau terlalu menggebu gebu dan terlihat konyol di depan Gani.Saat ini, yang perlu dia lakukan adalah mengambil kembali kepercayaan Gani dan merusak pikirannya tentang Maura. Sarah har
“Mas Gani nggak usah jadi mempertanyakan hal itu. Sekarang yang dibahas adalah tentang mba Sarah dan pil yang waktu itu ada di kamarnya. Aku udah simpan dan aku udah bawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Hasilnya ... itu adalah pil KB dosis tinggi.”Maura menjelaskan hal yang sebenarnya dan sudah terpendam sangat lama di hatinya. Kertas hasil pemeriksaan obat itu pun masih tersimpan dengan baik di antara barang-barang berharga Maura.Hal itu karena Maura yakin suatu saat nanti dia akan membutuhkan kertas dari dokter yang sudah diterimanya dua tahun silam itu.“Jangan percaya sama ucapan dia, Mas. Bisa aja dia bohong sama kamu, Mas. Kita nggak tau obat apa yang dia ambil dari kamar aku dan obat apa pula yang dia bawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Orang kalau udah memang niatnya buruk, sampai kapan pun akan tetap buruk, Mas.” Sarah dengan cepat menjabarkan hal itu seperti sedang mencari pembelaan diri dengan menydutkan Maura.Maura menyunggingkan senyuman sinisnya pada Sarah. “Kalau Mb
Aku sangat bisa, Mas. Aku masih menyimpan hasil laporan tentang obat itu. Aku masuk ke kamar saat itu dan kamu tau juga kan, Mas? Kamu yang suruh aku tutup pintu kamar kamu dan mba Sarah? Itu waktu mama masuk rumah sakit dan kalian berdua menemani mama di sana. Aku sendirian di rumah dan kita berbalas pesan.”Memori ingatan Gani kembali mengilas masa lalu yang memang masih terpatri dalam otaknya. Dia ingat saat itu di mana Maura terpaksa pulang ke rumah dan sendirian di rumah. Hal itu dia lakukan agar Sarah tidak terus-terusan menyakiti hati Maura.“Ya. Aku sangat ingat dan masih terekam jelas dalam otakku,” jawab Gani singkat.“Kamu pasti juga masih ingat waktu kamu suruh aku mengambil dua butir obat yang berserakan di atas kasur kamu dan mba Sarah?” tanya Maura sekali lagi.Gani semakin teringat dengan hari itu dan dia memang meminta Maura untuk mengambil dua butir obat itu. Maura mengadukan padanya bahwa di kamar itu berserakan banyak sekali obat yang tidak tahu obat apa.Sebagai
“Apa maksud kamu, Mau?” tanya Gani yang kini mengguncang bahu Maura.Hal itu tentu saja membuat Melody menjadi terkejut dan takut. Bayi perempuan yang lucu itu langsung menangis sambil memeluk erat tubuh Maura. Maura tidak tega mendengar buah hatinya menangis ketakutan seperti itu.“Apa yang kamu lakukan, Mas? Kamu membuat Melody menjadi takut!” ucap Maura dan menepis tangan Gani dengan kasar.“Sayang ... nggak apa-apa, Sayang. Mami di sini, Nak. Nggak usah takut lagi, ya.” Maura berusaha menenangkan Melody dan hal itu membuat Gani tercengang.Jiwa keibuan jelas terlihat dari raut wajah Maura dan Sarah juga sedikit terkesip. Dia bahkan tidak pernah berkata selembut dan semanis itu kepada Kesya. Walaupuan Kesya terlahir dari rahimnya, akan tetapi dia sama sekali tidak pernah menyayangi Kesya seperti yang baru saja ditampilkan Maura kepada putrinya – Melody.Tangisan itu mereda dan Maura merasa lega secara bersamaan. Namun, sorot matanya jelas menatap ke arah Gani dengan tajam. Dia tida
“Jo-Jonathan? Siapa yang kamu maksud, Mas? Aku nggak tau sama sekali!” ucap Sarah gugup dan panik ketika nama Jonathan disebut oleh Gani.“Jangan bersandiwara lagi di depanku, Sarah. Aku bukan laki-laki bodoh yang bisa kamu tipu dan kamu bodohi terus,” ungkap Gani yang berusaha menahan amarahnya karena mengingat ini adalah rumah sakit dan tidak boleh ada kebisingan di sini.“Mas! Jangan bicara sembarangan kalau nggak ada bukti. Apa kamu pernah liat aku dekat sama pria lain selama ini, Mas? Kamu tau dengan jelas siapa-siapa aja teman aku kan?”“Aku nggak pernah tau siapa aja yang kamu simpan dan bohongi dari aku.”“Siapa yang udah mencuci otak kamu, Mas? Sepertinya ... semenjak kedatangan Maura dalam rumah tangga kita, kamu terlalu banyak berubah.”“Jangan sebut lagi nama wanita itu di sini. Dia nggak ada hubungannya sama sekali dengan yang aku bicarakan saat ini dengan kamu, Sarah!”“Tapi, memang dia yang membuat kamu berubah, Mas. Kamu jadi nggak percaya sama aku dan cinta kamu ke ak
Gani tidak bisa tenang dengan ucapan yang dilontarkan oleh Wulan tadi. Belum sempat wanita itu menjawab pertanyaan Gani, kondisinya kembali drop dan tak sadarkan diri hingga saat ini. Sedangkan Gani masih saja penasaran dengan kata-kata yang tadi dikatakan oleh Wulan kepadanya.“Kenapa tadi mama ngomong gitu? Apa mungkin memang, anak itu adalah anakku?” tanya Gani di dalam hatinya sambil terus duduk dan menunggu dokter selesai memeriksa Wulan di dalam ruangan.“Nggak. Itu nggak mungkin terjadi dan sepertinya memang nggak mungkin benar. dia udah pergi saat itu dan aku tau dia nggak hamil saat pergi. Usia anak itu memang pas seperti dia yang waktu itu baru menikah sama aku. Jadi, ada kemungkinan dia hamil sebelum menikah sama aku kan?” tanya Gani lagi seorang diri dan seperti sedang berbicara pada lantai keramik rumah sakit.“Tapi ... anak itu punya beberapa kesamaan sama aku. Dari mata dan hidungnya, itu mirip aku. Bibirnya mirip sama Maura, dan senyumannya sama persis dengan Maura. ba
Gani sudah menunggu selama hampir lima belas menit di luar ruangan, dan memang belum ada tanda-tanda Maura akan keluar dari ruangan anak. Hingga akhirnya dengan terpaksa Gani meninggalkan tempat itu karena sudah dihubungi oleh perawat yang menjaga Wulan.“Aku pasti akan menemukan kamu, Mau.” Gani bergumam sambil melangkah pergi.Gani menuju ke ruangan di mana Wulan saat ini berada dan sudah dipasangi dengan alat-alat medis. Wulan tersenyum dengan wajah yang pucat saat melihat Gani datang mendekat.“Kamu dari mana, Nak?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar.“Aku tadi keluar sebentar, Ma. Merokok. Mama nungguin aku dari tadi, ya? Maaf, ya Ma.” Gani berbohong menjawab pertanyaan Wulan.Sebagai orang tua, jelas saja Wulan bisa tahu jika Gani berbohong padanya. Namun, dia tidak ingin bertanya lebih lanjut tentang hal itu kepada Gani.“Nggak, baru aja Mama bangun.”“Mama mau apa?”“Senyummu.”Hening. Tidak ada sahutan dari Gani ketika mendengar jawaban dari ibunya itu. Dia tahu dengan jela
“Kamu kan ayahnya Melody. Masa kamu nggak bisa jawab pertanyaan dia sih?” tanya Maura setelah beberapa saat terdiam mendengar pertanyaan Rama tadi.Kini giliran Rama yang terdiam setelah Maura berbicara. Dia tidak menyangka sama sekali kalau jawaban Maura adalah kata-kata seperti itu. Namun, jujur saja di dalam hatinya Rama merasa senang karena pada akhirnya Maura mau mengatakan hal itu.“Iya, dong. Siniin dulu anak ayah yang cantik. Maminya pasti capek dari tadi gendongin boneka embul ini,” ucap Rama dan segera mengambil Melody dari gendongan Maura.Maura tidak mengelak dari Rama dan dengan senang hati memindahkan putrinya pada Rama. Mereka sudah tinggal bersama dalam hitungan tahun. Bagi Melody, tentu saja Rama memang adalah sosok ayah yang dicintainya. Bayi perempuan itu terlihat sangat nyaman pada Rama dan tertawa girang saat dipangku sang ayah.“Kamu jangan nangis nanti kalau diperiksa sama dokter, ya Sayang. Ayah akan selalu ada di samping kamu dan menjaga kamu dengan sepenuh ji
“Tunggu aja nanti, Sarah. Aku pasti bisa membongkar kebohongan kamu selama ini. Udah lama aku curiga sama kamu dan Kesya. Gimana pun aku marah sama Sarah, kalau memang Kesya itu anak kandungku, nggak mungkin aku nggak merasa ada ikatan batin sama anak itu. Tapi, terus terang aja selama ini hatiku memang nggak bisa untuk dekat dan menyayangi dia seperti yang seharusnya.”Gani berkata seorang diri tentang bagaimana sikapnya selama ini kepada Kesya. Dia sendiri mengakui bahwa perasaannya tidak bisa dibohongi. Gani tidak bisa menyayangi Kesya seperti yang seharusnya dia lakukan sebagai seorang ayah.Itu sebabnya, sejak kelahiran Kesya ke dunia ini, Gani jadi jarang di rumah. Dia lebih suka menghabiskan waktu di kantor atau ruang kerjanya di rumah besar itu.Gani masih duduk seorang diri di dalam mobilnya saat Juminah sudah pergi lagi ke UGD untuk membantunya mengorek informasi yang bisa dia dapatkan. Saat itu pula, seorang wanita berjalan di depan mobil Gani dengan menggendong seorang bay