“Ayo masuk!” seru David dari dalam mobil mewahnya itu.“Wait. Flo sedang dibawa Rama, di sana.” Chika menunjuk ke arah Rama dan Flo berada dan mereka sedang mengantri ice cream.“Ayo, jalan dulu. Kita berputar. Nanti dimarahi petugas parkir di depan pintu masuk seperti ini.” David berkata dengan tetap mengajak Maura dan Chika masuk ke dalam mobil.“David benar. Ayo kita masuk ke mobil dulu, Mau.” Chika mengajak Maura yang masih termenung memikirkan pertanyaan dari kakak sahabatnya itu tadi.Chika membantu Maura membawa koper dan barang lainnya ke dalam mobil. Pria yang disangka oleh Maura adalah suami wanita itu. Ternyata, selama belasan tahun mereka hanya hidup di bawah satu atap tanpa ikatan pernikahan. Kalau di Indonesia, tentu saja itu dinamakan dengan kumpul kebo.Maura duduk di kursi tengah sementara Chika duduk di samping David mengemudi. Mereka mengitari sebuah bundaran yang cukup luas dan saat sampai di depan penjual ice cream, Flo dan Rama sudah selesai dengan satu ice cream
Maura ditinggalkan bersama Rama di dalam kamar berukuran sangat luas itu. Sementara David dan Chika pergi entah ke mana membawa anak mereka – Flo. Rama membantu Maura membereskan barang-barang yang dibawa wanita itu ke tempat yang sudah disediakan.“Rama ... kita nggak usah lama-lama di rumah ini, ya. Kamu ada kenalan di negara ini yang bisa kasih kerjaan nggak?” tanya Maura dengan raut wajah cemas.“Kenapa? Kamu nggak nyaman ada di sini? Apa yang terjadi saat aku pergi beli ice cream dengan Flo tadi?” tanya Rama yang langsung mencecar Maura.“Mmm ... nggak ada. Aku hanya nggak mau merepotkan kakak kamu dan suaminya lama-lama di sini,” jawab Maura berbohong.“Jangan berbohong sama aku, Mau. Aku bukan orang yang baru mengenal kamu hari ini. Ada yang membuat kamu nggak nyaman berada di sini kan?”Maura terdiam saat mendengar pertanyaan dari Rama itu, dan memang sahabatnya lebih tau tentang dia yang sebenarnya tanpa diminta. Maura tidak ingin berbohong kepada Rama. Namun, rasanya juga ta
“Rama ... makasih ya karna kamu selalu ada untukku,” lirih Maura dengan tenang.“Ssstt ... jangan bahas masalah itu lagi. Makasih dan maaf itu dua kata yang nggak boleh kamu ucapkan ke aku. Oke?”“Apa salahnya aku berterima kasih sama kamu dan meminta maaf karena udah selalu merepotkan kamu? Aku nggak mau dianggap sebagai orang yang nggak tau terima kasih dan selalu memanfaatkan kebaikan kamu,” ungkap Maura terdengar begitu sungguh-sungguh.“Kenapa kamu ngomong gitu sih? Aku nggak pernah mempermasalahkan hal itu!” ucap Rama dengan nada tegas pada Maura.“Kamu memang nggak pernah. Tapi, kakak kamu akan selalu beranggapan seperti itu.”“Persetan dengan dia, Mau.”“Dia kakakmu, Rama! Jangan hancurkan hubungan kalian hanya karena aku.”“Walau kamu nggak ada, hubunganku sama dia sebenarnya juga udah hancur dari lama, Mau. Kamu jangan menyalahkan diri karena hal itu lagi. Harusnya aku yang minta maaf sama kamu, udah membawa kamu ke tempat yang salah dan menganggap bahwa itu adalah tempat te
Satu jam sudah Rama menunggu di luar ruang bersalin. Sejak tadi terdengar suara Maura berjuang keras mengedan anaknya untuk bisa keluar. Para dokter dan perawat juga terdengar menyemangati Maura.Sampai tiba detik di mana Rama mendengar suara tangisan bayi yang sangat nyaring. Rama reflek berdiri dan tersenyum haru saat mendengar suara tangisan bayi itu.“Alhamdulillah. Anakku sudah lahir,” ucapnya reflek.Rama memang sudah berjanji dan bertekad dalam hatinya sejak kehamilan Maura masih lima bulan. Dia akan menganggap dan memperlakukan anak itu seperti anaknya sendiri. Walaupun tetap tidak ada ikatan yang jelas dalam hubungannya dengan Maura, tetap saja Rama akan menganggap anak itu adalah anaknya sendiri.Perawat keluar ruangan dan membawa seorang bayi mungil yang dibungkus rapi dalam kain bedung berwarna merah muda. Bayi itu terlihat sangat gemoy dan tenang di dalam gendongan sang perawat wanita.“Selamat, ya Pak. Anak ini adalah perempuan dan dia sangat cantik seperti ibunya. Seben
“Selamat atas kelahiran putri pertamanya, Pak Gani. Anaknya sangat cantik dan lucu, mirip sama mamanya.” Seorang dokter baru saja memberikan seorang bayi perempuan kepada Gani.Tepat di hari yang sama dengan Maura melahirkan putrinya – Melody, Sarah juga melahirkan seorang bayi perempuan dengan operasi ceasar. Sarah sebenarnya bisa melahirkan normal, akan tetapi dia tidak ingin menahan rasa sakit. Jadi, dia meminta operasi kepada dokter untuk proses persalinan pertamanya.“Syukurlah, Dok. Bagaimana dengan istri saya, Dok?” tanya Gani setelah menatap putrinya sekilas, seperti tak ada rasa dan ikatan batin.“Bu Sarah masih dalam pengaruh bius. Akan kita pindahkan sebentar lagi ke ruang rawat inap. Biasanya akan bangun satu jam ke depan, Pak.” Dokter itu menjelaskan kepada Gani.“Oke, Dok. Kalau gitu, saya nunggu di luar aja. Ibu saya masih duduk menunggu di luar.”“Baik, Pak Gani.”Gani segera keluar dari ruangan operasi itu dengan perasaan yang seperti tak tenang. Ketika menemani Sarah
Hari-hari berlalu dengan cepat dan saat ini adalah ulang tahun pertama Kesya – putri yang dilahirkan oleh Sarah satu tahun lalu. Rumah itu penuh dengan orang-orang yang sibuk menghias rumah. Sarah memutuskan untuk membuat perayaan besar untuk ulang tahun pertama putrinya itu.“Ma, mas Gani di mana?” tanya Sarah yang sejak tadi sudah wara wiri di ruangan depan rumah mereka dan juga taman yang luas.“Di kantor. Katanya ada meeting penting siang ini,” jawab Wulan singkat sambil mempersiapkan yang bisa dia persiapkan.“Ya ampun! Padahal udah dibilang jangan ke mana-mana. Aku tuh butuh dia di sini buat nanti siang. Ulang tahun Kesya sebentar lagi dan mas Gani malah pergi ke kantor,” gerutu Sarah dengan nada kesal dan wajahnya yang sudah petak persegi bulat lonjong atau apalah itu.“Kamu telpon aja dia. Minta dia jangan sampai telat datang siang ini, kan bisa!”“Jadi, dia datang pas acara mau dimulai doang gitu, Ma? Lalu, apa bedanya dia sama tamu yang lain? Tamu aja datangnya sebelum acara
Wulan tetap tidak mengatakan apa yang saat ini dirasakannya pada Gani. Wanita itu memilih untuk tetap diam dan tidak memperpanjang masalah yang menurutnya masih bisa diredam.“Jujur aja sama aku, Ma. Apa yang sedang Mama pikirkan saat ini?” tanya Gani pada Wulan dengan nada yang sangat lembut.“Mama hanya rindu pada Maura. Terserah kamu mau marah dan benci sama dia, atau nggak percaya sama sekali sama semua kebaikan dan ketulusan dia selama ini. Tapi, Mama ini orang tua dan Mama merasa bahwa Maura nggak seperti yang dikatakan oleh Sarah dulu.”“Jangan dibahas lagi tentang dia di rumah ini, Ma!”“Kenapa? Kamu merasa bisa hidup tanpa dia? Selama ini apa kamu baik-baik aja, Gan?” tanya Wulan dengan sedikit menekan Gani.“Mama nanya apaan sih, Ma? Selama ini kita baik-baik aja kan? Aku tetap menjalani hidupku seperti biasa. Ada atau nggak ada dia, toh semuanya sama aja kok, Ma. Nggak ada pengaruhnya sama sekali!” ungkap Gani dengan penuh penekanan.“Kamu juga bisa membohongi orang lain at
Tanpa disadarinya, nama Maura jelas tercetus dengan alami dari mulut Gani dan itu membuat Wulan tersenyum tipis. Dia tahu bahwa Gani masih belum bisa melupakan Maura dan bahkan setahun belakangan hidup tersiksa dengan ketiadaan Maura di sisinya.Kehadiran Maura memang sangat singkat dalam hidupnya, akan tetapi Gani mampu jatuh separah itu dan berubah sangat drastis seperti sekarang. Hanya Wulan yang benar-benar menyadari perasaan Gani satu tahun belakangan ini.“Kamu sebaiknya nggak usah mikirin hal lain lagi. Sekarang, mandi dan ganti pakaian. Acara Kesya nggak lama lagi akan dimulai. Kasian Sarah tuh dari tadi udah riwet sendiri,” bujuk Wulan yang sama sekali tidak membahas satu ucapan Gani tadi yang berhubungan dengan Maura.Bukannya Wulan tidak senang, hanya saja dia merasa harus pura-pura tidak mendengar semua ocehan Gani tadi. Wulan tidak ingin Gani menjadi malu atau akhirnya benar-benar membuang Maura dari dalam hati dan juga pikirannya.“Aku lelah, Ma. Tadinya aku lupa kalau h