“Rama ... makasih ya karna kamu selalu ada untukku,” lirih Maura dengan tenang.“Ssstt ... jangan bahas masalah itu lagi. Makasih dan maaf itu dua kata yang nggak boleh kamu ucapkan ke aku. Oke?”“Apa salahnya aku berterima kasih sama kamu dan meminta maaf karena udah selalu merepotkan kamu? Aku nggak mau dianggap sebagai orang yang nggak tau terima kasih dan selalu memanfaatkan kebaikan kamu,” ungkap Maura terdengar begitu sungguh-sungguh.“Kenapa kamu ngomong gitu sih? Aku nggak pernah mempermasalahkan hal itu!” ucap Rama dengan nada tegas pada Maura.“Kamu memang nggak pernah. Tapi, kakak kamu akan selalu beranggapan seperti itu.”“Persetan dengan dia, Mau.”“Dia kakakmu, Rama! Jangan hancurkan hubungan kalian hanya karena aku.”“Walau kamu nggak ada, hubunganku sama dia sebenarnya juga udah hancur dari lama, Mau. Kamu jangan menyalahkan diri karena hal itu lagi. Harusnya aku yang minta maaf sama kamu, udah membawa kamu ke tempat yang salah dan menganggap bahwa itu adalah tempat te
Satu jam sudah Rama menunggu di luar ruang bersalin. Sejak tadi terdengar suara Maura berjuang keras mengedan anaknya untuk bisa keluar. Para dokter dan perawat juga terdengar menyemangati Maura.Sampai tiba detik di mana Rama mendengar suara tangisan bayi yang sangat nyaring. Rama reflek berdiri dan tersenyum haru saat mendengar suara tangisan bayi itu.“Alhamdulillah. Anakku sudah lahir,” ucapnya reflek.Rama memang sudah berjanji dan bertekad dalam hatinya sejak kehamilan Maura masih lima bulan. Dia akan menganggap dan memperlakukan anak itu seperti anaknya sendiri. Walaupun tetap tidak ada ikatan yang jelas dalam hubungannya dengan Maura, tetap saja Rama akan menganggap anak itu adalah anaknya sendiri.Perawat keluar ruangan dan membawa seorang bayi mungil yang dibungkus rapi dalam kain bedung berwarna merah muda. Bayi itu terlihat sangat gemoy dan tenang di dalam gendongan sang perawat wanita.“Selamat, ya Pak. Anak ini adalah perempuan dan dia sangat cantik seperti ibunya. Seben
“Selamat atas kelahiran putri pertamanya, Pak Gani. Anaknya sangat cantik dan lucu, mirip sama mamanya.” Seorang dokter baru saja memberikan seorang bayi perempuan kepada Gani.Tepat di hari yang sama dengan Maura melahirkan putrinya – Melody, Sarah juga melahirkan seorang bayi perempuan dengan operasi ceasar. Sarah sebenarnya bisa melahirkan normal, akan tetapi dia tidak ingin menahan rasa sakit. Jadi, dia meminta operasi kepada dokter untuk proses persalinan pertamanya.“Syukurlah, Dok. Bagaimana dengan istri saya, Dok?” tanya Gani setelah menatap putrinya sekilas, seperti tak ada rasa dan ikatan batin.“Bu Sarah masih dalam pengaruh bius. Akan kita pindahkan sebentar lagi ke ruang rawat inap. Biasanya akan bangun satu jam ke depan, Pak.” Dokter itu menjelaskan kepada Gani.“Oke, Dok. Kalau gitu, saya nunggu di luar aja. Ibu saya masih duduk menunggu di luar.”“Baik, Pak Gani.”Gani segera keluar dari ruangan operasi itu dengan perasaan yang seperti tak tenang. Ketika menemani Sarah
Hari-hari berlalu dengan cepat dan saat ini adalah ulang tahun pertama Kesya – putri yang dilahirkan oleh Sarah satu tahun lalu. Rumah itu penuh dengan orang-orang yang sibuk menghias rumah. Sarah memutuskan untuk membuat perayaan besar untuk ulang tahun pertama putrinya itu.“Ma, mas Gani di mana?” tanya Sarah yang sejak tadi sudah wara wiri di ruangan depan rumah mereka dan juga taman yang luas.“Di kantor. Katanya ada meeting penting siang ini,” jawab Wulan singkat sambil mempersiapkan yang bisa dia persiapkan.“Ya ampun! Padahal udah dibilang jangan ke mana-mana. Aku tuh butuh dia di sini buat nanti siang. Ulang tahun Kesya sebentar lagi dan mas Gani malah pergi ke kantor,” gerutu Sarah dengan nada kesal dan wajahnya yang sudah petak persegi bulat lonjong atau apalah itu.“Kamu telpon aja dia. Minta dia jangan sampai telat datang siang ini, kan bisa!”“Jadi, dia datang pas acara mau dimulai doang gitu, Ma? Lalu, apa bedanya dia sama tamu yang lain? Tamu aja datangnya sebelum acara
Wulan tetap tidak mengatakan apa yang saat ini dirasakannya pada Gani. Wanita itu memilih untuk tetap diam dan tidak memperpanjang masalah yang menurutnya masih bisa diredam.“Jujur aja sama aku, Ma. Apa yang sedang Mama pikirkan saat ini?” tanya Gani pada Wulan dengan nada yang sangat lembut.“Mama hanya rindu pada Maura. Terserah kamu mau marah dan benci sama dia, atau nggak percaya sama sekali sama semua kebaikan dan ketulusan dia selama ini. Tapi, Mama ini orang tua dan Mama merasa bahwa Maura nggak seperti yang dikatakan oleh Sarah dulu.”“Jangan dibahas lagi tentang dia di rumah ini, Ma!”“Kenapa? Kamu merasa bisa hidup tanpa dia? Selama ini apa kamu baik-baik aja, Gan?” tanya Wulan dengan sedikit menekan Gani.“Mama nanya apaan sih, Ma? Selama ini kita baik-baik aja kan? Aku tetap menjalani hidupku seperti biasa. Ada atau nggak ada dia, toh semuanya sama aja kok, Ma. Nggak ada pengaruhnya sama sekali!” ungkap Gani dengan penuh penekanan.“Kamu juga bisa membohongi orang lain at
Tanpa disadarinya, nama Maura jelas tercetus dengan alami dari mulut Gani dan itu membuat Wulan tersenyum tipis. Dia tahu bahwa Gani masih belum bisa melupakan Maura dan bahkan setahun belakangan hidup tersiksa dengan ketiadaan Maura di sisinya.Kehadiran Maura memang sangat singkat dalam hidupnya, akan tetapi Gani mampu jatuh separah itu dan berubah sangat drastis seperti sekarang. Hanya Wulan yang benar-benar menyadari perasaan Gani satu tahun belakangan ini.“Kamu sebaiknya nggak usah mikirin hal lain lagi. Sekarang, mandi dan ganti pakaian. Acara Kesya nggak lama lagi akan dimulai. Kasian Sarah tuh dari tadi udah riwet sendiri,” bujuk Wulan yang sama sekali tidak membahas satu ucapan Gani tadi yang berhubungan dengan Maura.Bukannya Wulan tidak senang, hanya saja dia merasa harus pura-pura tidak mendengar semua ocehan Gani tadi. Wulan tidak ingin Gani menjadi malu atau akhirnya benar-benar membuang Maura dari dalam hati dan juga pikirannya.“Aku lelah, Ma. Tadinya aku lupa kalau h
“I-iya, Mas.”Sarah bergegas memanggil sopir Gani keluar rumah dengan wajah yang tampak takut. Bagaimana dia tidak takut jika mendengar suara bariton Gani yang menggelegar seperti itu. Sarah tidak lagi punya keberanian membantah, apalagi saat rahasianya hampir saja terbongkar.“Untung mama cepet pingsan begini. Aku harus cari cara supaya bisa membela diri di depan mas Gani nanti. Semoga, mama nggak bisa sadar lagi.” Sarah berkata di dalam hatinya sambil menatap Gani yang menggendong Wulan dan masuk ke dalam mobil.Sarah tidak bisa ikut karena dia harus tetap melanjutkan acara ulang tahun Kesya. Dia tidak mau rugi dan tidak mau kalau acara itu akhirnya batal. Sarah sudah menunggu lama untuk hari ini dan Kesya juga harus punya tempat yang jelas di rumah ini, sebagai ahli waris Gani tentunya. Semua orang harus tahu posisi Kesya dan Sarah tidak mau menunda waktu lagi.“Mba ... gimana acara dek Kesya?” tanya Juminah itu pada Sarah.“Gimana apanya? Ya tetap lanjut, dong. Kamu nggak liat nih
“Jo! Jaga bicaramu itu! Kamu tau kan sekarang kamu sedang berada di mana?” tanya Sarah dengan suara yang ditekankan.“Aku tau dan aku sadar dengan penuh di mana aku berada sekarang. Kamu nggak perlu mengingatkan aku tentang itu, Sarah,” sahut Jonatan dengan tegas pula kepada Sarah.“Mending kamu pulang dulu deh, Jo. Aku bisa bawa Kesya ketemu sama kamu besok. Hari ini nggak bisa, Kesya ada acara.” Sarah dengan jelas mengusir Jonatan dari rumahnya itu.Jo jelas mengatakan bahwa Kesya adalah putrinya dan dia ingin bertemu bayi perempuan itu sekarang. Namun, Sarah menghalangi Jo untuk bertemu Kesya dan bahkan mengusir lelaki itu dari rumahnya. Sarah tidak marah atau membantah ucapan Jonatan sama sekali saat sahabat terbaiknya itu mengatakan Kesya sebagai putrinya.Saat Sarah berusaha menyeret tangan Jonatan ke arah pintu keluar, pria itu menyentak tangannya dan tampak menatap Sarah dengan penuh kemarahan. Baru sekali ini Sarah melihat Jonatan dalam keadaan marah seperti itu.“Kamu ini ke