Benar saja yang diperkirakan oleh Rama tadi, tidak berselang lama dia pergi, Maura melihat seorang wanita dengan anak perempuan di sampingnya memegang papan nama bertuliskan Rama dan Maura. Hal itu membuat Maura langsung berdiri untuk melambaikan tangan ke arah mereka.“Kamu Maura?” tanya Chika saat mendekati Maura dengan ramah.“Iya, Kak. Aku Maura. Salam kenal, ya Kak.” Maura menjawab dan menjawab tangan Chika dengan sopan.“Hello, Aunty. Aku Flo,” ucap seorang anak perempuan kecil berusia tujuh tahunan dan bahasa Indonesianya tentu saja berlogat Spanyol.“Hai, Flo. Kamu sweet banget, Sayang.” Maura mengelus pipi Flo dengan lembut.“Thank you, Aunty. Kamu juga sweet.”Maura mendengar logat Spanyol Flo yang dibalut dengan bahasa Indonesia dan menjadikan kesan unik. Flo dan Chika terlihat sangat mirip sekali dan saat ini seorang pria bule datang menyusul dari belakang dan langsung memeluk Chika dengan mesra.“Sorry, Honey. Sedikit ada masalah di tempat parkiran tadi.” Pria itu meminta
Maura dan Rama memandang ke arah David secara bersamaan. Mereka berdua merasa aneh dengan tanggapan spontan dari suami Chika itu. Harusnya, Flo yang menjawab pertanyaan Maura tadi, bukan David. Namun, sepertinya itu bukan hal aneh bagi Chika. Wanita itu tetap santai dan tersenyum sambil memandang heran pada Maura bergantian pada Rama.“Kenapa? Kok kalian jadi gitu? Ada yang aneh, ya?” tanya Chika pada Rama dan kemudian menatap ke arah Maura.“Nggak apa-apa, Kak. Mungkin, karena belum terbiasa aja.” Rama menjawab cepat meski terlihat canggung dalam mengatakannya.“Oh gitu. Nanti lama-lama juga biasa kok. Ya udah, buruan kita pulang.” Chika mengajak keduanya dengan senyum lebar.Maura dan Rama mengikuti langkah tiga beranak itu sampai ke luar bandara. Kemudian, David memisahkan diri karena harus mengambil mobil di parkiran. Setelahnya, mereka menunggu di pembatas jalan dan Flo melihat ada yang menjual es cream di luar bandara.Gadis itu sangat senang dan mengajak Chika untuk pergi membe
“Ayo masuk!” seru David dari dalam mobil mewahnya itu.“Wait. Flo sedang dibawa Rama, di sana.” Chika menunjuk ke arah Rama dan Flo berada dan mereka sedang mengantri ice cream.“Ayo, jalan dulu. Kita berputar. Nanti dimarahi petugas parkir di depan pintu masuk seperti ini.” David berkata dengan tetap mengajak Maura dan Chika masuk ke dalam mobil.“David benar. Ayo kita masuk ke mobil dulu, Mau.” Chika mengajak Maura yang masih termenung memikirkan pertanyaan dari kakak sahabatnya itu tadi.Chika membantu Maura membawa koper dan barang lainnya ke dalam mobil. Pria yang disangka oleh Maura adalah suami wanita itu. Ternyata, selama belasan tahun mereka hanya hidup di bawah satu atap tanpa ikatan pernikahan. Kalau di Indonesia, tentu saja itu dinamakan dengan kumpul kebo.Maura duduk di kursi tengah sementara Chika duduk di samping David mengemudi. Mereka mengitari sebuah bundaran yang cukup luas dan saat sampai di depan penjual ice cream, Flo dan Rama sudah selesai dengan satu ice cream
Maura ditinggalkan bersama Rama di dalam kamar berukuran sangat luas itu. Sementara David dan Chika pergi entah ke mana membawa anak mereka – Flo. Rama membantu Maura membereskan barang-barang yang dibawa wanita itu ke tempat yang sudah disediakan.“Rama ... kita nggak usah lama-lama di rumah ini, ya. Kamu ada kenalan di negara ini yang bisa kasih kerjaan nggak?” tanya Maura dengan raut wajah cemas.“Kenapa? Kamu nggak nyaman ada di sini? Apa yang terjadi saat aku pergi beli ice cream dengan Flo tadi?” tanya Rama yang langsung mencecar Maura.“Mmm ... nggak ada. Aku hanya nggak mau merepotkan kakak kamu dan suaminya lama-lama di sini,” jawab Maura berbohong.“Jangan berbohong sama aku, Mau. Aku bukan orang yang baru mengenal kamu hari ini. Ada yang membuat kamu nggak nyaman berada di sini kan?”Maura terdiam saat mendengar pertanyaan dari Rama itu, dan memang sahabatnya lebih tau tentang dia yang sebenarnya tanpa diminta. Maura tidak ingin berbohong kepada Rama. Namun, rasanya juga ta
“Rama ... makasih ya karna kamu selalu ada untukku,” lirih Maura dengan tenang.“Ssstt ... jangan bahas masalah itu lagi. Makasih dan maaf itu dua kata yang nggak boleh kamu ucapkan ke aku. Oke?”“Apa salahnya aku berterima kasih sama kamu dan meminta maaf karena udah selalu merepotkan kamu? Aku nggak mau dianggap sebagai orang yang nggak tau terima kasih dan selalu memanfaatkan kebaikan kamu,” ungkap Maura terdengar begitu sungguh-sungguh.“Kenapa kamu ngomong gitu sih? Aku nggak pernah mempermasalahkan hal itu!” ucap Rama dengan nada tegas pada Maura.“Kamu memang nggak pernah. Tapi, kakak kamu akan selalu beranggapan seperti itu.”“Persetan dengan dia, Mau.”“Dia kakakmu, Rama! Jangan hancurkan hubungan kalian hanya karena aku.”“Walau kamu nggak ada, hubunganku sama dia sebenarnya juga udah hancur dari lama, Mau. Kamu jangan menyalahkan diri karena hal itu lagi. Harusnya aku yang minta maaf sama kamu, udah membawa kamu ke tempat yang salah dan menganggap bahwa itu adalah tempat te
Satu jam sudah Rama menunggu di luar ruang bersalin. Sejak tadi terdengar suara Maura berjuang keras mengedan anaknya untuk bisa keluar. Para dokter dan perawat juga terdengar menyemangati Maura.Sampai tiba detik di mana Rama mendengar suara tangisan bayi yang sangat nyaring. Rama reflek berdiri dan tersenyum haru saat mendengar suara tangisan bayi itu.“Alhamdulillah. Anakku sudah lahir,” ucapnya reflek.Rama memang sudah berjanji dan bertekad dalam hatinya sejak kehamilan Maura masih lima bulan. Dia akan menganggap dan memperlakukan anak itu seperti anaknya sendiri. Walaupun tetap tidak ada ikatan yang jelas dalam hubungannya dengan Maura, tetap saja Rama akan menganggap anak itu adalah anaknya sendiri.Perawat keluar ruangan dan membawa seorang bayi mungil yang dibungkus rapi dalam kain bedung berwarna merah muda. Bayi itu terlihat sangat gemoy dan tenang di dalam gendongan sang perawat wanita.“Selamat, ya Pak. Anak ini adalah perempuan dan dia sangat cantik seperti ibunya. Seben
“Selamat atas kelahiran putri pertamanya, Pak Gani. Anaknya sangat cantik dan lucu, mirip sama mamanya.” Seorang dokter baru saja memberikan seorang bayi perempuan kepada Gani.Tepat di hari yang sama dengan Maura melahirkan putrinya – Melody, Sarah juga melahirkan seorang bayi perempuan dengan operasi ceasar. Sarah sebenarnya bisa melahirkan normal, akan tetapi dia tidak ingin menahan rasa sakit. Jadi, dia meminta operasi kepada dokter untuk proses persalinan pertamanya.“Syukurlah, Dok. Bagaimana dengan istri saya, Dok?” tanya Gani setelah menatap putrinya sekilas, seperti tak ada rasa dan ikatan batin.“Bu Sarah masih dalam pengaruh bius. Akan kita pindahkan sebentar lagi ke ruang rawat inap. Biasanya akan bangun satu jam ke depan, Pak.” Dokter itu menjelaskan kepada Gani.“Oke, Dok. Kalau gitu, saya nunggu di luar aja. Ibu saya masih duduk menunggu di luar.”“Baik, Pak Gani.”Gani segera keluar dari ruangan operasi itu dengan perasaan yang seperti tak tenang. Ketika menemani Sarah
Hari-hari berlalu dengan cepat dan saat ini adalah ulang tahun pertama Kesya – putri yang dilahirkan oleh Sarah satu tahun lalu. Rumah itu penuh dengan orang-orang yang sibuk menghias rumah. Sarah memutuskan untuk membuat perayaan besar untuk ulang tahun pertama putrinya itu.“Ma, mas Gani di mana?” tanya Sarah yang sejak tadi sudah wara wiri di ruangan depan rumah mereka dan juga taman yang luas.“Di kantor. Katanya ada meeting penting siang ini,” jawab Wulan singkat sambil mempersiapkan yang bisa dia persiapkan.“Ya ampun! Padahal udah dibilang jangan ke mana-mana. Aku tuh butuh dia di sini buat nanti siang. Ulang tahun Kesya sebentar lagi dan mas Gani malah pergi ke kantor,” gerutu Sarah dengan nada kesal dan wajahnya yang sudah petak persegi bulat lonjong atau apalah itu.“Kamu telpon aja dia. Minta dia jangan sampai telat datang siang ini, kan bisa!”“Jadi, dia datang pas acara mau dimulai doang gitu, Ma? Lalu, apa bedanya dia sama tamu yang lain? Tamu aja datangnya sebelum acara