“Kenapa kamu malah nyalahin Maura? Kamu!” seru Gani dengan tunjuk mengarah ke Sarah dan suaranya dia redam karena teringat ucapan Maura tadi.“Mas, udah ....”Suara Maura begitu lembut sehingga tidak bisa lagi dibantah oleh Gani. Akhirnya dia mengalah dan kemudian menatap kembali wajah Wulan yang terlihat pucat dan menahan rasa sakit.“Sayang, kamu tunggu dan jagain mama sebentar, ya. Aku akan mengurus semuanya supaya mama cepat ditangani sama dokter,” ucap Gani dan menyentuh lengan Maura dengan lembut.“Iya, Mas. Aku jagain mama di sini sama mba Sarah. Kamu cepat urus administrasi mama, ya.” Maura menjawab dengan lembut dan mengulas senyuman.Gani mengangguk dan kemudian keluar dari bilik yang hanya dibatasi dengan gorden kiri dan kanannya itu. Tinggal Maura dan Sarah yang kini menemani Wulan di sana. Sarah tentu saja memandang Maura dengan tatapan penuh kebencian.“Mesra banget yang baru pulang bulan madu. Udah dipanggil sayang sama suami orang,” sindir Sarah dengan nada sinis.“Kit
Maura sampai di rumah dengan perasaan sedih dan pikiran yang kalut. Namun, dia mencoba untuk tetap tenang dan santai. Dia tak ingin hal itu membuat dirinya terlihat egois karena terlalu banyak menuntut Gani. Terlebih lagi, hubungan mereka yang baik baru saja dimulai.Maura: Mas, aku udah sampai di rumah.Tidak lupa Maura mengirim pesan itu kepada Gani saat dia baru saja sampai di teras rumah dan hendak membuka pintu.Gani: Perjalanan pulang aman kan, Sayang?Balasan dari Gani pun masuk dan dibaca dengan hati senang oleh Maura. Gani masih memperhatikan dirinya dengan sangat baik meski mereka sedang terpisah jarak.Maura: Alhamdulillah aman, Mas. Aku baru aja mau masuk ke rumah.Gani: Oke, Sayang. Ini mama baru sadar dan sekarang lagi ditangani untuk pindah ke ruang rawat inap dulu.Maura: Mama nggak jadi dioperasi, Mas?Gani: Jadi. Tapi, kata dokter harus observasi dulu. Nanti baru puasa sebelum operasi. Kemungkinan, operasinya besok pagi, Sayang.Gani menjelaskan tentang keadaan Wulan
Sarah memilih diam dan tidak menjawab ucapan Wulan yang menyakitkan hatinya itu. Bagi Sarah, saat ini dia harus mundur satu langkah agar posisinya kembali kuat. Dia harus bisa membuat Gani kembali ke dalam pelukannya.“Kenapa kamu diam aja, Sarah? Kamu nggak terima dengan yang Mama bilang barusan?” tanya Wulan heran karena Sarah tidak merespon ucapannya tadi.“Aku nggak jawab salah, kalau tadi aku jawab pasti salah juga. Saat ini, aku akan selalu salah di mata Mama,” jawab Sarah dengan senyuman hambar.Wulan terdiam mendengar ucapan Sarah. Di relung hatinya yang terdalam tetap saja Wulan merasa iba pada Sarah. Dia juga wanita dan Wulan sedikit banyak tahu bagaimana perasaan Sarah saat ini.“Sayang, kamu udah makan?” tanya Gani dengan lembut menghibur Sarah.“Belum, Mas. Dari siang aku di sini anterin dan nemenin mama. Aku nggak kepikiran buat makan,” jawab Sarah yang mengambil kesempatan mencuri simpatik Gani.“Ya ampun, Sayang. Kok kamu nggak bilang sama aku sih? Maafin aku, ya. Kamu
“Kamu udah nolong Mama dan sebagai balasannya, rekaman itu udah kamu hapus. Kita impas dan nggak ada lagi hutang budi satu sama yang lain,” ungkap Wulan kepada Sarah.“Oke, deal!” sahut Sarah dengan senyum penuh kemenangan.Setelah mencapai kesepakatan itu, Sarah dan Wulan saling beradu diam. Mereka seperti larut dalam pikiran masing-masing.“Aku masih punya salinannya kalau kamu macam-macam sama aku dan Maura suatu saat nanti, Sarah. Aku tau kamu nggak akan semudah itu menyerah ataupun mengalah,” batin Wulan berkata.Sarah duduk menyilangkan kakinya dan berselancar di ponsel canggihnya. Matanya berbinar saat melihat ada sepatu dan tas keluaran terbaru dari merek branded. Namun, saat dia teringat pertengkaran terakhir kali dengan Gani, senyum itu pun surut.Wulan tidak ingin ambil pusing dengan yang dilakukan Sarah saat ini. Dia ingin menanyakan tentang Maura, tapi tidak pada Sarah.Setelah menunggu setengah jam, akhirnya Gani pun datang dengan dua kantong belanjaan. Ada minuman dingi
“Nak! Selesaikan masalah keluarga kalian berdua, jangan di depan Mama. Mama nggak mau nanti menjadi penyebab masalah kalian,” kata Wulan pelan.“Bukannya Mama udah jadi penyebab keretakan rumah tangga kami? Mama yang menghadirkan Maura dalam kehidupan aku dan mas Gani. Mama yang membuat aku menderita dan menjadi istri yang tersisihkan saat ini!” ungkap Sarah dengan derai air matanya.Tidak lagi bisa dibedakan, apakah itu air mata buaya atau air mata deritanya. Sarah sudah terlalu sering berakting seperti itu dan sulit untuk orang mengerti kebenarannya.Wulan tersentak mendengan ucapan Sarah yang tentu saja ada benarnya. Memang dialah yang menghadirkan Maura dalam pernikahan Gani dan Sarah. Namun, tidak pernah terbesit dalam benak Wulan untuk membuat rumah tangga mereka menjadi hancur.Sebagai orang tua, dia hanya ingin mencoba cara yang masih bisa dia coba. Wulan takut tidak punya waktu lama lagi dan tak bisa menimang cucu penerus keluarga dan keturunannya. Hanya Gani satu-satunya ana
Malam itu akhirnya Gani memilih untuk mengikuti saran dan kemauan Wulan. Dia tidak bisa terlalu membantah kemauan ibunya yang sedang sakit itu.“Oke, Ma. Aku bentar lagi pulang, Mama tidur aja dulu.” Gani berkata.“Iya, Nak. Mama juga udah ngantuk banget,” balas Wulan dan menguap sambil meringis menahan rasa sakit yang mulai terasa di bagian tangan melepuh itu.“Sayang, kamu juga tidur gih di ranjang yang di sana. Aku tungguin di sini, biar nanti kalau kamu dan mama udah tidur, aku baru bisa pulang dengan tenang,” ucap Gani pula kepada Sarah.“Iya, Mas. Besok pagi kamu langsung datang ke sini lagi kan, Mas? Aku soalnya mau pulang dan mandi, gerah banget.”“Iya. Kamu tenang aja. Atau besok pas Maura ke sini titip bawain baju ganti aja? Mau mandi di sini sebelum pulang atau gimana?” tanya Gani menawarkan hal itu.“Nggak usah, Mas. A-aku pulang aja, mandi di rumah aja deh,” tolak Sarah dengan cepat dan terdengar sangat gugup sekali.Gani mengerutkan keningnya seperti sedang mencurigai se
“Aamiin. Semoga jadi kenyataan secepatnya.”“Mas memang serius pengen aku hamil?”“Serius, dong Sayang. Kalau nggak serius, masa aku kerjain kamu terus siang malam pas bulan madu.”“Ih, Mas! Bahasanya itu loh!”“Kenapa, Sayang?”Gani dan Maura masih berdebat di atas ranjang dan saat ini posisi Maura sudah bersandar di depan tubuh Gani. Gani memeluk istrinya dari belakang dan mereka bersenda gurau.Setelah puas bercengkrama, Maura tahu bahwa Gani benar-benar tak sabar ingin punya anak. Baik itu dari dirinya ataupun dari Sarah. Bagi Gani itu sama saja, selagi dua wanita itu adalah istrinya.“Udah siap, Sayang?” tanya Maura kepada Gani.“Duh, senengnya kalau dipanggil sayang sama istri sendiri.” Gani berkata dengan senyum cerah dan mengancingkan jaket bulunya yang tebal.“Gitu baru bener, Mas. Jangan seneng dipanggil sayang sama perempuan lain, ya!”“Memangnya kenapa? Kamu bakalan cemburu kan?”“Nggak cemburu sih! Tapi, kalau pria beristri seneng dipanggil sayang sama perempuan lain, itu
“Kamu sama siapa, Mau?” tanya pria yang tak lain adalah Rama – sahabat Maura sejak masih kuliah.“Sama mas Gani.” Maura menjawab singkat.“Suami kamu di sini?” tanya Rama lagi.“Iya. Itu masih di dalam mobil.”“Jadi, kamu yang disuruh buat beli sate sendiri dan dia nunggu di mobil doang?”“Nggak kok. Aku sama suamiku memang mau makan di sini. Aku tadi buru-buru turun dan sengaja ninggalin mas Gani di mobil.”Maura tidak menyangka kalau dia akan bertemu dengan Rama tengah malam seperti ini. Apalagi di tempat makan yang dulu memang sering mereka datangi saat kuliah dan bekerja. Di satu sisi Maura juga merasa tidak nyaman dengan pertemuan tidak sengaja itu. Dia takut Gani akan berpikir macam-macam tentang hal ini.“Kenapa kamu jadi gugup banget? Kamu nggak nyaman ketemu sama aku?” tanya Rama dan menyentuh tangan Maura dengan lembut.“Bu-bukan gitu. Aku nggak nyangka aja ketemu kamu di sini.” Maura menjawab dan menepis tangan Rama dengan perlahan dari lengannya itu. Tentu saja Maura tidak