Ketika mereka keluar dari kamar karena Evan benar-benar sudah kelaparan, Ajeng harus menahan diri untuk tidak berlari dan bersembunyi ketika melihat Ansel di ruang keluarga bersama sang ibu dan Sander.Godaan dan sindiran Sander mengenai aktivitas ranjang mereka yang tidak tahu malu bahkan tidak membuat Ajeng merasa rileks. Justru dia ingin segera pergi, karena Ansel menatapnya tajam. Terlihat marah."Mas, kita makan di kamar aja ya," ucapnya lirih."Hah? Kenapa?" Evan menatapnya heran."Mau ke mana? Ayo makan bareng. Udah mau magrib kan ini. Kalian ini masuk kamar kok ya nggak keluar-keluar. Memangnya ketiduran?" tanya Sekar sambil mendorong bahu Ajeng dan Evan untuk menuju ke ruang makan."Eh, aku nggak enak badan, Bu. Nggak nafsu makan juga," jawabnya memberi alasan.Tangannya mencengkeram lengan Evan ketika Ansel mendekat dan duduk tepat di hadapannya, sementara Sander duduk di sebelah pria itu."Yang, kita makan di sini aja. Nggak enak sama ibu," gumam Evan dengan mata memperinga
"Jelaskan maksud kamu, Sel," perintah Mark dengan wajah memerah."Ayah, dia asal ngomong. Kejadiannya nggak gitu!" kata Ajeng meyakinkan.Dia melirik Ansel tak suka dengan mata melotot. Sepupunya itu makin lama makin menjadi-jadi setelah tingkah kurang ajarnya tadi. Entah kenapa mendadak timbul rasa benci di hatinya."Sebelum pulang ke sini, Kak Ajeng nangis-nangis setelah Mas Evan pergi. Setelah aku tanya, ternyata Mas Ansel malah pergi ke rumah istri pertamanya. Padahal waktu itu Kak Ajeng kan lagi hamil muda. Eh, malah suaminya pergi gitu aja. Ya udah, kami pulang ke sini akhirnya. Ternyata, setelah kami keluar dari rumah itu, rumahnya dibom.""Ansel, kamu jangan sembarangan ngomong ya!" hardik Ajeng.Evan yang sudah menyelesaikan makannya langsung menatap Ansel dengan kening berkerut."Kelihatannya sih kayak disengaja gitu, Pakde. Masa nunggu Mas Evan keluar dulu baru rumahnya di bom," lanjut Ansel sambil melirik Evan. Sudut bibirnya sedikit terangkat. "Apa jangan-jangan memang Ma
"Mas, jangan terlalu keras pada Ajeng dan menantu kita. Bagaimanapun juga, operasi kamu nggak akan terlaksana tanpa bantuan dari Evan," bujuk Sekar sambil memegang tangan Mark dengan lembut.Awalnya, Mark sangat bersyukur karena akhirnya bisa menjalani operasi transplantasi jantung. Istrinya bilang, Ella yang meminjamkan uang itu pada mereka. Meskipun hal itu terasa aneh dan janggal.Sebaik apapun seorang sahabat, tidak mungkin meminjamkan uang sebesar 21 milyar dalam waktu singkat. Jangankan 21 milyar, meminjamkan 100 juta pun pastilah ada rasa tidak rela, karena hutang bisa memutuskan tali persahabatan dan persaudaraan.Tapi ketika dia sudah terbaring di salah satu rumah sakit di Singapura, bersiap untuk menjalani pemeriksaan sebelum dilakukan operasi, putrinya memberikan kabar yang sangat menghancurkan hatinya.Putri kesayangannya harus menjadi istri kedua dari suami Ella, sebagai balasan atas uang 21 milyar itu. Ajeng tidak tahu, Mark pingsan dan kondisi jantungnya langsung drop s
Sander sebenarnya heran kenapa adiknya tiba-tiba berubah ketika Ansel datang? Tidak, lebih tepatnya Ajeng berubah setelah dia dan Evan menjemput orangtua mereka di bandara. Dia sangat tahu bagaimana tabiat adiknya itu. Tidak mungkin tiba-tiba membenci seseorang tanpa alasan yang jelas, apalagi meledak-ledak sampai berbuat kekerasan.Ajeng adalah definisi wanita kalem dan tidak pernah neko-neko. Marah pun hanya sedikit menaikkan suara dengan alis berkerut tidak suka, setelah itu menangis.Pasti ada sesuatu yang terjadi."Biar aku ambilkan aja ya, Mas," kata Ansel setelah mereka tiba di CV milik orangtua mereka."Biar aku aja. Kamu urus aja keperluan kamu. Katanya mau ada pengiriman ke perusahaannya Bayu besok lusa?" jawabnya sambil turun dari mobilnya.Mereka memang naik mobil sendiri-sendiri agar tidak saling merepotkan. Sebelum Ansel berlalu dari hadapannya, dia mencekal lengan adik sepupunya itu."Maafin Ajeng. Mbakmu itu sedang hamil muda, jadi hormonnya gampang berubah-ubah. Begi
Sudah menjadi hal yang wajar ketika manusia begitu percaya pada orang terdekatnya, apalagi yang berstatus saudara. Mereka cenderung percaya buta tanpa pernah memiliki pikiran negatif, karena merasa yakin bahwa saudara tidak akan berbuat buruk pada saudaranya yang lain.Tapi pada kenyataannya, Sander adalah satu dari sekian banyak orang yang harus menelan pil pahit saat tahu bahwa musuh terdekatnya adalah orang yang berstatus sebagai sepupunya.Dia dan Ajeng begitu percaya pada Ansel. Menganggap pria itu adalah adik mereka. Satu-satunya keluarga yang tersisa dari pihak paman. Menganggap bahwa darah lebih kental daripada air. Tanpa sadar bahwa darah itu justru mengandung penyakit yang bisa merusak keluarga mereka.Tok tok tok!Dadanya masih bergemuruh. Berbagai pikiran mengenai interaksinya dengan Ansel berkelebat di kepalanya. Mencari bagian mana yang salah. Bagian mana yang mencurigakan."Buka pintunya!" teriaknya tak sabar.Apakah ada tanda-tanda Ansel memiliki perasaan lebih pada Aj
Ajeng tidak tahu apa yang tengah terjadi sampai Sander terlihat begitu marah luar biasa. Wajah sang kakak bahkan terlalu merah begitu menginjak 4 benda kecil bulat berwarna hitam yang didapatkan dari kamar mandi.Yang dia tahu, kini dirinya tengah berada dalam perjalanan menuju ke bandara Juanda di jam 7 malam. Alasan Evan yang harus segera kembali karena ada masalah di perusahaan membuat orangtua Ajeng tidak curiga. Padahal sebenarnya Evan bisa memantau perusahaan dari cabang di Surabaya."Kenapa kita nggak berangkat dari bandara Abdulrachman Saleh aja sih? Padahal sama aja bisa nyampe ke Jakarta," tanyanya heran.Bukan bermaksud untuk mengeluh, karena jujur dia senang-senang saja melakukan perjalanan dengan mobil karena seperti diayun-ayun hingga membuatnya mengantuk. Hanya saja, kedua pria itu terlihat tidak efisien."Kamu nikmati aja perjalanan ini. Tidur aja biar kamu nggak capek," jawab Sander sambil terus fokus pada jalanan di depan mereka.Ajeng menguap dan mulai mengantuk. Ti
Sudah tiga hari sejak pesan menakutkan dari Ansel, Evan masih belum mengijinkan dia untuk keluar dari rumah sang mertua dengan alasan belum ada bodyguard yang mengawalnya. Ketika dia menanyakan tentang Raka, sang suami mengatakan bahwa pria itu sangat sibuk. Ternyata Raka sebenarnya adalah asisten pribadi Evan, namun keberadaannya lebih sering tidak diketahui oleh karyawan karena tugas lainnya."Kamu kenapa, Sayang?"Ajeng menggigiti kukunya ketika ibu mertuanya menghampiri. "Kamu bosan di rumah terus? Mau jalan-jalan? Atau kamu pengen makan sesuatu?" tawar Dahlia."Ajeng pengen ketemu Mas Evan, Mi. Kok rasanya jantung saya berdegup nggak karuan ya? Nggak nyaman di perut," keluh Ajeng.Dahlia berdecak sebelum tersenyum menggoda. Sejak Ajeng kembali dengan perut yang sudah terlihat menonjol, Dahlia memang langsung heboh dan bersikap protektif pada Ajeng. Setelah kecewa dengan Ella yang ternyata mengandung anak dari pria lain, Dahlia langsung membenci wanita itu dan bersyukur karena
"Mau sampai kapan kamu duduk di dalam mobil begini? Mami yakin Evan nggak akan berbuat macam-macam apalagi selingkuh." Perkataan Dahlia membuat emosi Ajeng tak karuan.Dia menoleh ke arah ibu mertuanya dan menatap wanita itu nyalang. Setelah itu kembali menatap ke arah restoran bintang 5 di mana sang suami dan seorang perempuan cantik berwajah bule masih belum juga keluar sejak 20 menit yang lalu."Tapi Mas Evan menyukai Ajeng waktu sudah bersama Ella. Menikahi saya ketika masih berstatus sebagai suami Ella. Bukan nggak mungkin kalau dia pun akan mengulanginya lagi begitu melihat perempuan lain yang lebih cantik," ucapnya dengan suara bergetar."Hush! Kamu ini ngomong sembarangan. Lagi hamil itu ngomongnya hati-hati. Janin kamu bisa mendengar suara kamu," tegur Dahlia dengan kening berkerut, terlihat sekali tidak suka dengan ucapan Ajeng.Air mata mulai keluar dan membasahi wajah Ajeng tanpa bisa ditahan lagi. Posisinya hanyalah sebagai istri kedua. Dia hanyalah orang ketiga dalam rum
H-1 sebelum pesta dilaksanakan di sebuah kapal pesiar mewah, Siska mengetuk pintu kamar Ajeng untuk menanyakan tentang kepastian acara besok. Dia lupa pesta diadakan jam berapa, karena betapa banyaknya pekerjaan di kantor yang harus dia selesaikan sebelum akhirnya naik ke kapal pesiar demi menghadiri pesta pernikahan sang sahabat."Jeng, kamu lagi sibuk nggak?" teriaknya setelah mengetuk pintu beberapa kali.Dia tadi melihat Evan bersama Dana sedang bercengkerama dengan bos besar dan nyonya besar Braun, jadi dia pikir Ajeng mungkin sedang berada di kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu."Jeng?"Tidak ada jawaban. Dia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci."Aku buka ya. Maaf kalau aku mengganggu," ucapnya sambil tersenyum. Tidak sabar untuk bergosip ria dengan Ajeng. "Besok pestanya jam bera...pa..."Siska langsung menganga dengan mata membelalak ketika melihat tubuh yang hanya dibalut dengan handuk di bagian bawah pinggul. Dia terengah kaget dan hal itu membuat sang pemilik
Siska menatap mantan calon mertuanya tak percaya sekaligus geram. Padahal selama dia menjalin hubungan dengan Bayu, wanita itu begitu baik padanya. "Apa selama ini Tante hanya berpura-pura baik di depan saya? Kalau memang Bayu sudah bertunangan sejak kuliah, kenapa Tante menerima saya sebagai calon menantu?" tuntutnya.Ibu Bayu langsung gelagapan ketika Meliana mengerutkan kening, lalu menatap wanita itu curiga."Eh, ng-nggak kok Mel. Nggak usah percaya sama dia. Mama nggak kenal siapa dia. Bayu selalu setia sama kamu kok," kata ibu Bayu cepat-cepat.Hati Siska sakit sekali mendengarnya. Seandainya saja pernikahan itu sudah terlanjur terjadi, apakah dia akan ditindas oleh wanita itu? Dia jadi teringat dengan nasib Ajeng ketika menikah dengan Dimas. "Ck, ternyata memang bener ya. Orang jahat itu manipulatif dan pinter berpura-pura. Untung saya nggak jadi menikah sama Bayu. Nggak kebayang saya menjadi perempuan yang dibodohi oleh suami dan keluarganya."Siska beralih menatap Meliana.
Siska terus menangis entah sudah berapa lama. Dadanya sesak sekali dan rasanya dia ingin menghilang dari dunia ini. Cintanya pada Bayu begitu besar. Dia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada pria itu karena berpikir bahwa Bayu adalah belahan jiwanya."Kenapa pria yang terlihat baik dan setia seperti Bayu ternyata bajingan?" tanyanya setelah tangisnya reda, namun masih sesenggukan."Biasanya kan memang begitu," jawab Raka dengan santai.Siska langsung melotot pada pria yang telah bertahun-tahun menjadi rekan kerjanya menjadi orang kepercayaan Evan. Raka langsung mengangkat kedua tangannya."Biasanya memang begitu. Pria yang terlihat kalem dan nggak neko-neko tuh justru menyimpan banyak rahasia. Coba lihat Mr. Evan. Dia itu dingin, kelihatan nggak peduli sama perempuan. Eh tahu-tahu istrinya dua kan? Tapi kasusnya kan beda. Diam-diam dia bucin akut sama Ajeng."Siska menyeka air mata di wajahnya, tak peduli dengan make-up yang ikut luntur."Rasanya sakit banget, Ka. Kenapa aku nggak ja
"Semua dokumen sudah lengkap?""Sudah, Mr.," jawab Siska dengan antusias. Jantungnya berdegup kencang karena sebentar lagi akan bertemu dengan tunangannya. Kesibukannya sebagai sekretaris CEO di perusahaan multinasional membuatnya begitu sibuk dan sering pulang malam, sehingga waktu untuk bertemu dengan tunangannya sangat sedikit."Semangat banget yang mau ketemu tunangan," goda Raka ketika mereka sampai di lobi perusahaan.Siska hanya tersenyum, namun debar dalam dadanya semakin kencang. Padahal mereka sebentar lagi menikah, tapi Siska merasa seperti baru saja jadian dengan sang tunangan.Mereka masuk ke dalam mobil dinas khusus CEO yang disediakan oleh perusahaan. Mobil mewah keluaran terbaru yang anti peluru, karena keselamatan Evan Braun sangatlah penting."Gimana liburannya di Malang, Pak?" tanya Raka membuka percakapan sambil fokus melihat jalanan di depannya."Menyenangkan. Istri saya pintar memilih tempat liburan yang bagus," jawab Evan sambil tersenyum.Siska yang duduk di s
Dari sekian banyak orang yang mengenalnya, kenapa justru wanita itu yang datang menjenguknya? Bahkan orangtuanya sudah tidak peduli lagi, apalagi kekasihnya."Maaf ya baru bisa menjenguk kamu. Nih, aku bawain makanan kesukaan kamu," kata Ajeng sambil tersenyum."Kenapa?"Wanita itu mendongak. Gerakan tangannya meletakkan dua kotak makanan dan satu gelas minuman terhenti."Aku pengen bawain kamu makanan yang enak. Nggak aku kasih racun kok, udah diperiksa juga sama petugas," jawab Ajeng."Kenapa kamu mau repot-repot datang?" jelasnya.Ajeng menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat lebih bercahaya dan tetap awet muda, persis seperti ketika dia pertama kali dikenalkan pada wanita itu oleh Ella dulu.Hanya Ajeng yang tidak pernah mengusiknya, meskipun tahu bahwa dia membawa pengaruh buruk pada sahabat wanita itu. Jadi ketika Ella ikut terjerumus ke dalam sekte sesat demi bisa menghancurkan Ajeng, Johan tidak mendukung Ella sama sekali.Baginya, Ajeng itu seperti kertas putih yang sayan
"Kamu juga harus mati, Johan. Enak saja kamu masih hidup dengan tenang, sedangkan aku harus menjadi bulan-bulanan mereka."Johan membelalak ketika melihat Nadia mendekatinya dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali dia melihat wanita itu. Rambut panjang Nadia acak-acakan. Perut wanita itu berlubang dan mengeluarkan banyak darah. Lalu di tangan kanan wanita itu....Janin merah yang tiba-tiba saja melihat ke arahnya dengan mata melotot. Bibir janin itu tertarik membentuk senyuman dengan gigi-gigi runcing yang terlihat tajam."Ayah."Johan menjerit ketakutan. Dia langsung berlari dengan sekuat tenaga. Nadia sudah mati, dia yakin itu. Dia sendiri yang mengatakan pada Ansel di mana keberadaan Nadia sebelum kabur ke Australia. Belum jauh dia berlari, kakinya tersandung. Membuatnya jatuh dengan keras. Dua orang berjubah hitam dan bertudung menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri. "Nggak! Nggak lepasin aku! Aku udah bukan bagian dari kalian lagi!""Siapapun yang menjadi pengkhi
Pesta pernikahan Ajeng dan Evan diadakan di kapal pesiar yang mewah. Seluruh karyawan Deca di kantor pusat dan karyawan Ajeng di Otten Supermarket turut hadir dalam pesta.Banyak yang takjub dengan pesta mereka, apalagi Evan benar-benar maksimal dalam menjamu tamu. Mereka semua menikmati makanan mewah dan mahal yang biasanya hanya bisa dinikmati oleh kalangan atas."Ternyata Mr. Evan lebih bahagia bersama Ajeng ya," ucap salah satu karyawan Deca yang dulu satu divisi dengan Ajeng."Iya bener. Waktu sama Bu Ella dulu, dia nggak pernah tersenyum. Kaku banget kayak kanebo kering. Pestanya juga biasa aja nggak semewah ini," sahut yang lain."Pantesan Bu Marta langsung dipecat dan dijebloskan ke penjara begitu mencelakai Ajeng. Secinta itu orangnya sama Ajeng. Lihat aja deh, senyumnya nggak pernah luntur tuh. Benar-benar bucin akut.""Aku sih mendukung Ajeng. Dia emang baik orangnya. Bahkan meskipun sekarang udah menjadi istri konglomerat, dia nggak pernah lupa sama kita-kita.""Eh iya ben
"Sudah tahu punya anak bayi, kenapa malah nggak pulang-pulang? Lihat nih, Dana sampai nangis ngejer kayak gini. Mbok ya diajak kalau jalan-jalan. Benar-benar nggak kasihan sama anak," omel Sekar begitu Ajeng dan Evan baru pulang setelah Maghrib.Ajeng langsung meraih Dana yang menangis sesenggukan sampai suaranya serak dan buru-buru menepuk-nepuk punggung bayi itu."Cup...cup...maaf ya mama baru pulang. Dana nyariin mama ya?" ucapnya dengan wajah bersalah.Dia langsung duduk di depan televisi dan menyusui bayi itu yang langsung diam. Perasaan bersalah kembali menyerangnya. Seharusnya mereka mengajak Dana. Siapa yang tahu bahwa anak itu mencari-carinya, padahal tadi Dana kelihatan senang ketika diajak oleh neneknya."Kalian ini kalau masih punya anak bayi, jangan sering ditinggal. Dia masih butuh perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Bayi itu peka. Jangan sampai dia merasa diabaikan," omel Sekar lagi.Kalau biasanya Ajeng menjawab, maka kali ini dia hanya diam saja. Dia jarang m
"Sudah?" Evan langsung berdiri begitu melihat Ajeng keluar dari ruang kunjungan. "Kenapa kamu kelihatan sedih?"Ajeng hanya tersenyum tipis. Mendadak dia merasa energinya tersedot habis setelah melihat kondisi Ansel. Bagaimanapun juga, pria itu adalah adik sepupunya. Dulu, sebelum dia mengenal Ella, dia dan Ansel sudah seperti adik kakak. Mereka begitu akrab dan hangat, sampai-sampai Ajeng tidak sadar bahwa timbul rasa lain di hati Ansel.Secara agama, memang Ansel itu bukanlah mahramnya. Jadi ketika pria itu menaruh hati padanya, tidak ada yang salah, karena memang mereka halal untuk menikah. Tapi tetap saja, Ajeng merasa itu saru (tidak pantas)."Kita ke Selecta ya, Mas. Aku pengen ngadem. Pikiranku suntuk banget," pinta Ajeng sambil menggandeng lengan suaminya.Dana dititipkan ke kakek dan neneknya, dan tentu saja Sekar sangat senang sekali. Apalagi Dana tipe bayi yang tidak gampang rewel. Kecuali jika anak itu tidak suka pada seseorang yang juga tidak menyukainya. "Siap. Mas jug