Evan tahu, Ajeng pandai menyembunyikan emosinya. Tapi dia bisa merasakan bahwa istrinya menyimpan sesuatu. Hal yang lebih dari sekedar kangen pada sang ayah yang kini terlihat sehat dan bisa tertawa dengan bebas bersama putri bungsunya."Jeng, kamu ini gimana sih? Suami kamu bajunya basah begini, kok malah nggak diurus," tegur Sekar dengan kening berkerut."Eh, nggak apa-apa kok, Bu. Biarkan Ajeng melepaskan rindu pada ayahnya," sahut Evan sambil tersenyum tak enak.Sekar berdecak. Wanita itu menekan punggungnya agar berdiri, menyuruhnya untuk mendekat pada Ajeng."Sana, anterin suami kamu ke kamar dulu terus mandi. Nanti bisa masuk angin dan kena gejala flu," perintah Sekar dengan tegas."Aku masih kangen sama ayah, Bu," rengek Ajeng."Biarkan ayahmu beristirahat dulu. Kalian juga. Jangan sampai sakit. Bukannya kalian harus segera kembali ke Jakarta?"Ajeng tidak bisa membantah ibunya. Satu hal yang Evan baru tahu dari istrinya. Meskipun wanita itu terlihat membantah orangtua, tapi i
Ketika mereka keluar dari kamar karena Evan benar-benar sudah kelaparan, Ajeng harus menahan diri untuk tidak berlari dan bersembunyi ketika melihat Ansel di ruang keluarga bersama sang ibu dan Sander.Godaan dan sindiran Sander mengenai aktivitas ranjang mereka yang tidak tahu malu bahkan tidak membuat Ajeng merasa rileks. Justru dia ingin segera pergi, karena Ansel menatapnya tajam. Terlihat marah."Mas, kita makan di kamar aja ya," ucapnya lirih."Hah? Kenapa?" Evan menatapnya heran."Mau ke mana? Ayo makan bareng. Udah mau magrib kan ini. Kalian ini masuk kamar kok ya nggak keluar-keluar. Memangnya ketiduran?" tanya Sekar sambil mendorong bahu Ajeng dan Evan untuk menuju ke ruang makan."Eh, aku nggak enak badan, Bu. Nggak nafsu makan juga," jawabnya memberi alasan.Tangannya mencengkeram lengan Evan ketika Ansel mendekat dan duduk tepat di hadapannya, sementara Sander duduk di sebelah pria itu."Yang, kita makan di sini aja. Nggak enak sama ibu," gumam Evan dengan mata memperinga
"Jelaskan maksud kamu, Sel," perintah Mark dengan wajah memerah."Ayah, dia asal ngomong. Kejadiannya nggak gitu!" kata Ajeng meyakinkan.Dia melirik Ansel tak suka dengan mata melotot. Sepupunya itu makin lama makin menjadi-jadi setelah tingkah kurang ajarnya tadi. Entah kenapa mendadak timbul rasa benci di hatinya."Sebelum pulang ke sini, Kak Ajeng nangis-nangis setelah Mas Evan pergi. Setelah aku tanya, ternyata Mas Ansel malah pergi ke rumah istri pertamanya. Padahal waktu itu Kak Ajeng kan lagi hamil muda. Eh, malah suaminya pergi gitu aja. Ya udah, kami pulang ke sini akhirnya. Ternyata, setelah kami keluar dari rumah itu, rumahnya dibom.""Ansel, kamu jangan sembarangan ngomong ya!" hardik Ajeng.Evan yang sudah menyelesaikan makannya langsung menatap Ansel dengan kening berkerut."Kelihatannya sih kayak disengaja gitu, Pakde. Masa nunggu Mas Evan keluar dulu baru rumahnya di bom," lanjut Ansel sambil melirik Evan. Sudut bibirnya sedikit terangkat. "Apa jangan-jangan memang Ma
"Mas, jangan terlalu keras pada Ajeng dan menantu kita. Bagaimanapun juga, operasi kamu nggak akan terlaksana tanpa bantuan dari Evan," bujuk Sekar sambil memegang tangan Mark dengan lembut.Awalnya, Mark sangat bersyukur karena akhirnya bisa menjalani operasi transplantasi jantung. Istrinya bilang, Ella yang meminjamkan uang itu pada mereka. Meskipun hal itu terasa aneh dan janggal.Sebaik apapun seorang sahabat, tidak mungkin meminjamkan uang sebesar 21 milyar dalam waktu singkat. Jangankan 21 milyar, meminjamkan 100 juta pun pastilah ada rasa tidak rela, karena hutang bisa memutuskan tali persahabatan dan persaudaraan.Tapi ketika dia sudah terbaring di salah satu rumah sakit di Singapura, bersiap untuk menjalani pemeriksaan sebelum dilakukan operasi, putrinya memberikan kabar yang sangat menghancurkan hatinya.Putri kesayangannya harus menjadi istri kedua dari suami Ella, sebagai balasan atas uang 21 milyar itu. Ajeng tidak tahu, Mark pingsan dan kondisi jantungnya langsung drop s
Sander sebenarnya heran kenapa adiknya tiba-tiba berubah ketika Ansel datang? Tidak, lebih tepatnya Ajeng berubah setelah dia dan Evan menjemput orangtua mereka di bandara. Dia sangat tahu bagaimana tabiat adiknya itu. Tidak mungkin tiba-tiba membenci seseorang tanpa alasan yang jelas, apalagi meledak-ledak sampai berbuat kekerasan.Ajeng adalah definisi wanita kalem dan tidak pernah neko-neko. Marah pun hanya sedikit menaikkan suara dengan alis berkerut tidak suka, setelah itu menangis.Pasti ada sesuatu yang terjadi."Biar aku ambilkan aja ya, Mas," kata Ansel setelah mereka tiba di CV milik orangtua mereka."Biar aku aja. Kamu urus aja keperluan kamu. Katanya mau ada pengiriman ke perusahaannya Bayu besok lusa?" jawabnya sambil turun dari mobilnya.Mereka memang naik mobil sendiri-sendiri agar tidak saling merepotkan. Sebelum Ansel berlalu dari hadapannya, dia mencekal lengan adik sepupunya itu."Maafin Ajeng. Mbakmu itu sedang hamil muda, jadi hormonnya gampang berubah-ubah. Begi
Sudah menjadi hal yang wajar ketika manusia begitu percaya pada orang terdekatnya, apalagi yang berstatus saudara. Mereka cenderung percaya buta tanpa pernah memiliki pikiran negatif, karena merasa yakin bahwa saudara tidak akan berbuat buruk pada saudaranya yang lain.Tapi pada kenyataannya, Sander adalah satu dari sekian banyak orang yang harus menelan pil pahit saat tahu bahwa musuh terdekatnya adalah orang yang berstatus sebagai sepupunya.Dia dan Ajeng begitu percaya pada Ansel. Menganggap pria itu adalah adik mereka. Satu-satunya keluarga yang tersisa dari pihak paman. Menganggap bahwa darah lebih kental daripada air. Tanpa sadar bahwa darah itu justru mengandung penyakit yang bisa merusak keluarga mereka.Tok tok tok!Dadanya masih bergemuruh. Berbagai pikiran mengenai interaksinya dengan Ansel berkelebat di kepalanya. Mencari bagian mana yang salah. Bagian mana yang mencurigakan."Buka pintunya!" teriaknya tak sabar.Apakah ada tanda-tanda Ansel memiliki perasaan lebih pada Aj
Ajeng tidak tahu apa yang tengah terjadi sampai Sander terlihat begitu marah luar biasa. Wajah sang kakak bahkan terlalu merah begitu menginjak 4 benda kecil bulat berwarna hitam yang didapatkan dari kamar mandi.Yang dia tahu, kini dirinya tengah berada dalam perjalanan menuju ke bandara Juanda di jam 7 malam. Alasan Evan yang harus segera kembali karena ada masalah di perusahaan membuat orangtua Ajeng tidak curiga. Padahal sebenarnya Evan bisa memantau perusahaan dari cabang di Surabaya."Kenapa kita nggak berangkat dari bandara Abdulrachman Saleh aja sih? Padahal sama aja bisa nyampe ke Jakarta," tanyanya heran.Bukan bermaksud untuk mengeluh, karena jujur dia senang-senang saja melakukan perjalanan dengan mobil karena seperti diayun-ayun hingga membuatnya mengantuk. Hanya saja, kedua pria itu terlihat tidak efisien."Kamu nikmati aja perjalanan ini. Tidur aja biar kamu nggak capek," jawab Sander sambil terus fokus pada jalanan di depan mereka.Ajeng menguap dan mulai mengantuk. Ti
Sudah tiga hari sejak pesan menakutkan dari Ansel, Evan masih belum mengijinkan dia untuk keluar dari rumah sang mertua dengan alasan belum ada bodyguard yang mengawalnya. Ketika dia menanyakan tentang Raka, sang suami mengatakan bahwa pria itu sangat sibuk. Ternyata Raka sebenarnya adalah asisten pribadi Evan, namun keberadaannya lebih sering tidak diketahui oleh karyawan karena tugas lainnya."Kamu kenapa, Sayang?"Ajeng menggigiti kukunya ketika ibu mertuanya menghampiri. "Kamu bosan di rumah terus? Mau jalan-jalan? Atau kamu pengen makan sesuatu?" tawar Dahlia."Ajeng pengen ketemu Mas Evan, Mi. Kok rasanya jantung saya berdegup nggak karuan ya? Nggak nyaman di perut," keluh Ajeng.Dahlia berdecak sebelum tersenyum menggoda. Sejak Ajeng kembali dengan perut yang sudah terlihat menonjol, Dahlia memang langsung heboh dan bersikap protektif pada Ajeng. Setelah kecewa dengan Ella yang ternyata mengandung anak dari pria lain, Dahlia langsung membenci wanita itu dan bersyukur karena